Terkadang
aku tidak paham dengan apa yang dipikirkan oleh sahabatku, Alin. Dia orang yang
penuh kejutan dengan berbagai celetukannya yang terdengar begitu aneh. Apa yang
sudah dia putuskan sebelumnya, tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan
sekarang. Ketika awalnya dia mengatakan A, namun yang terjadi malah B. Dan dengan
polosnya dia mengakui sifat plinplannya.
“Setiap
orang kan bisa berubah pikiran sewaktu-waktu, Gi. Kemaren itu aku ngerasa udah
mantap putus sama Bobby, tapi nyatanya dia nunjukkin perhatiannya lagi sama
aku.”
“Tapi apa Cuma
dengan alasan itu doang kamu akhirnya nerima dia kembali setelah segala
kekecewaan yang dia kasih buat kamu, hah?”, tanyaku dengan nada kesal.
“Aku Cuma ngasih
kesempatan dia untuk memperbaiki hubungan kami. Salahnya dimana?”
“Salahnya? Kamu
ngasih kesempatan berkali-kali pada orang yang tidak menghargai apa arti diberi
kesempatan, Lin. Pikir baik-baik, berapa kali dia minta kesempatan yang sama
dan berapa kali dia ngecewakan kamu? Harusnya kamu nggak usah mempertahankannya
lagi, buat apa coba?”
Alin menghela
napas pelan. “Aku masih terlalu sayang sama Bobby, Gi.”
“Sayang?!”,
aku menggeleng keras, “Kamu masih bisa bilang sayang setelah apa yang dia
lakukan ke kamu selama ini? Buka mata kamu, Alin! Bobby mengkhianati kamu,
bukan Cuma satu kali Lin, tapi berkali-kali dan dengan orang yang sama! Dan
kamu masih bisa bilang sayang? Gila ya!”.
Aku benar-benar
tidak mengerti apa yang ada di otaknya itu. Apa memang cinta sebuta itu? Atau
logika yang terlalu lemah melawan hati? Terdengar begitu konyol.
“Kamu bisa bilang
begitu karena kamu nggak pernah ada di posisi aku, Gi. Coba kalau kamu
merasakannya sendiri, mungkin bakal seperti aku juga.”, ucap Alin pelan. Aku memperhatikan
matanya yang berkaca-kaca. Terlihat sedih namun dia tetap berusaha bertahan
dengan itu. Seolah tidak berani mencoba mencari bahagia dengan yang lain. Dia tetap
terpaku pada sosok Bobby yang sudah empat tahun menemaninya, juga mengkhianati
kepercayaannya.
“Kalau aku
mengalami masalah yang sama, aku nggak akan seperti kamu yang mudah dibodohi
dengan kata-kata manis, Lin. Nggak segampang itu ngasih kesempatan kedua untuk
orang yang udah jelas-jelas mengkhianati kita. Kita sebagai cewek harusnya
nggak selemah itu, kita harus pake logika kita baik-baik.”
Alin
meringis, “Dimana-mana tuh antara hati sama logika tetap hati yang menang, Gi. Logika
menang hanya sesaat, setelah itu yang ada malah penyesalan.”
“Hah? Siapa
yang menciptakan teori itu sih? Konyol tau nggak.”
“Kamu masih
ingat sama Dio?”
Aku tersentak.
Kenapa tiba-tiba Alin menyebutkan nama yang dengan susah payah aku enyahkan
itu?
“Apaan sih,
Lin? Jangan mengalihkan pembicaraan deh.”
“Tuh, kamu
masih ingat kan sama dia?”, Alin menunjuk wajahku sambil tertawa kecil. “Nggak
usah bohongin diri sendiri, Gi. Kamu masih sayang kan sama dia?”
Aku bergeming.
Kalimat terakhir Alin begitu menohokku.
Ya, tapi
benar sih. Aku memang masih terlalu sulit untuk melupakan seorang laki-laki bernama
Dio. Dia dan aku berpisah setahun yang lalu karena alasan jarak. Aku pikir
semuanya akan berjalan baik meski kami terpisah jarak jauh, namun ternyata
begitu kami jalani, tak semudah yang dibayangkan.
Akhirnya kami
berdua memutuskan mengakhiri hubungan tepat di bulan ketujuhbelas kami bersama.
Disaat itu kami berdua berjanji untuk tetap saling menjaga komunikasi, tetap
berteman baik, namun yang ada dia malah menghindariku. Dia selalu mengabaikan
pesan singkat yang kukirimkan, dia enggan menerima telpon dariku, bahkan ketika
dia kembali dari luar kota, dia tidak terpikir untuk menemuiku. Aku merasa
kacau atas itu semua. Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apa salahku
padanya? Apa yang membuatnya begitu tidak mengacuhkan aku? apa dia terlalu
kecewa dengan perpisahan ini? Namun bukankan dia juga mengakui bahwa hubungan
jarak jauh itu terlalu sulit?
Setelah dua
bulan kami berpisah, aku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi peduli apapun
tentangnya. Aku pikir, untuk apa mempedulikan orang yang tidak pernah menghargai
kepedulian dariku? Untuk apa masih tetap menyimpan rasa untuk orang yang
jelas-jelas mengabaikan aku? Tidak peduli seberapa banyak kenangan kami berdua,
tidak peduli dengan perasaan cinta yang ada, aku harus berpindah hati sesegera
mungkin.
Ya, namun
tetap saja, praktek tidak semudah teorinya. Sampai saat ini, setelah satu tahun
aku berpisah dengan Dio, aku masih saja belum bisa benar-benar lupa padanya.
Aku bahkan cenderung menutup hatiku pada laki-laki yang mencoba mendekati. Aku merasa
tidak yakin jika harus menjalin hubungan kembali dengan laki-laki lain. Aku masih
terlalu takut untuk merasa kecewa kembali.
Aku menghela
napas panjang. Mataku kembali memandang Alin.
“Terserah
lah kamu mau berbuat apa dengan hatimu itu. yang penting kalau Bobby
mengkhianati kamu lagi, kamu jangan nangis dan curhat sama aku. Oke?”
“Kok gitu
sih?”
“Aku malas
nanggapin orang yang bandel dan keras kepala kayak kamu, Lin. Mending kalau
keras kepalanya dalam hal baik, kamu ini keras kepala namun dalam hal yang
keliru.”
“Gia jangan
gitu kali, Gi.”, Alin menarik ujung kaosku sambil merengek.
“Bodo amat,
aku nggak mau peduli lagi. Udah ya, aku pulang. Urus masalah kamu sendiri.”,
aku beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Namun tiba-tiba tangan Alin
menarikku.
“Aku ngasih
kesempatan ke Bobby karena dia janji nggak akan ngulangin kesalahan yang sama
lagi. Dan aku percaya sama dia.”
Aku menepis
tangan Alin, “Terserah.”, tukasku kemudian berlalu.
*
Mataku menangkap
sosok laki-laki berdiri di depan gerbang tempat kosku. Entah kenapa aku langsung
merasa ada firasat buruk. Namun muncul seseorang dari tempat kosku, dan dia pun
pergi dengan laki-laki itu. Ah, mungkin dia pacar teman satu kosku.
Aku pun
melangkahkan kaki kembali, namun ketika hendak membuka gerbang aku merasa ada
suara motor melaju kearahku. Aku menoleh.
Dan tepat
disaat aku menoleh, si pengendara motor itu membuka helmnya. Aku tersentak.
“Hei. Aku kira
kamu udah pindah kos.”, sapanya dengan senyum lebar. Dio.
Entah kenapa
perasaanku jadi aneh ketika kembali bertatap muka dengannya setelah satu tahun
lebih tidak bertemu. Beberapa minggu yang lalu aku sempat melihatnya di sebuah
kafe, namun aku hanya melihatnya, rasanya enggan sekali menyapanya setelah apa
yang sudah dia lakukan padaku.
Namun kali
ini, suasananya sungguh berbeda. Apa karena cuaca hari ini cerah lalu berdampak
pada perasaanku terhadap dia? Kurasa bukan begitu.
Aku memaksakan
diri untuk tersenyum. “Ngapain pindah? Kos ini terlalu sayang untuk
ditinggalkan.”
“Gitu ya?”,
dia mengangguk pelan seraya menghampiriku.
“Kita
ngobrol di dalam aja ya.”, ajakku seraya membuka gerbang.
“Ternyata
nggak ada yang berubah ya? Kos kamu masih kayak dulu, mirip kapal pecah. Berantakan
bukan main.”, celetuk Dio begitu masuk ke kamar kos ku. Dia berjalan mengamati
setiap sudut ruangan sambil berdecak heran.
Aku mendengus.
Dia memang suka melebih-lebihkan kenyataan yang ada, karena nyatanya kamar
kosku tidak seberantakan yang dia bilang. Aku hanya terkadang malas menyapu dan
menata meja belajarku. Aku lebih suka membiarkan buku-buku tergeletak di sembarang
tempat, aku malas menaruh di rak karena aku akan kembali membacanya.
“Kamu kesini
Cuma mau ngomentarin kamar aku doang?”, tanyaku sambil memberikan satu kaleng
Cola dingin padanya.
Dio menggeleng
seraya menerima Cola dariku. “Jangan jutek gitu, lah.”
Aku memandang
Dio dengan seksama. Tidak ada yang berubah dari dirinya, dia masih terlihat
seperti satu tahun lalu. Tubuh kurus yang tidak terlalu tinggi, rambut ikal,
kulit cokelat, bibir tebal, sepatu converse, dan jaket merah itu, entah kenapa
dia suka sekali memakainya. Dulu aku sering meledeknya karena tidak pernah
mengganti jaket merahnya dengan yang lain.
“Apa kamu
nggak punya jaket selain ini?”, tunjukku pada jaket merahnya.
Dio tersenyum,
“Kalau udah jadi favorit itu susah untuk digantikan dengan yang lain. Meski banyak
jaket bagus diluar sana tapi tetap Cuma ini yang paling nyaman.”
“Padahal jaket
murahan.”, timpalku.
“Eh, masih
inget aja kamu.”
Ya jelas
saja aku ingat. Karena jaket itu adalah kado ulangtahun dariku ketika umurnya
genap 18 tahun. Aku membelinya di sebuah pasar malam tak jauh dari tempat kosku.
Saat itu aku tidak terpikir untuk memberikan Dio kado karena uang sakuku mulai
menipis ditanggal tua. Namun ketika melihat jaket merah itu, aku merasa yakin
Dio akan cocok jika memakainya. Dan tidak kusangka, jaket itu sekarang masih
saja dikenakannya.
“Lucu banget
pas aku buka kado dari kamu eh ternyata label harganya masih nyangkut. Pas aku
lihat ternyata harganya Cuma 30ribu.”, Dio terkekeh.
“Udah aku
bilang kalau aku buru-buru waktu bungkus itu, aku nggak merhatiiin masih ada
label harganya. Udahlah jangan ungkit itu lagi.”, kataku sedikit malu.
Dio mengangguk
pelan kemudian mengikutiku duduk di tepi tempat tidurku.
“Kamu baik-baik
aja kan, Gi?”, tanya Dio sambil memandangku.
“Kelihatannya
gimana?”, tanyaku balik.
Dio mengamati
wajahku dengan seksama. “Kalau dari yang aku lihat sih baik-baik aja. Malah aku
rasa kamu tambah cantik lho, Gi. Lagi jatuh cinta ya?”
Aku mendengus.
“Jatuh cinta? Boro-boro. Aku lagi nggak mikirin soal itu sekarang.”
“Kenapa?”
“Ya karena
lagi nggak pengin mikirin itu aja.”
Dio mengangguk
dan tidak bertanya lagi.
Aku memandangnya.
Kenapa dia harus datang kembali? Buat apa? Setelah sekian lama aku berusaha
mengenyahkan namanya dari hatiku, dia
justru datang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ini aneh. Perasaanku makin
tidak menentu sekarang.
“Gia..”,
ucap Dio setelah keheningan panjang.
“Kenapa?”
“Kamu masih
ingat saat kita mutusin untuk pisah? Kita bicara panjang lebar, berusaha
mencari jalan keluar dari permasalahan, namun pada akhirnya kita sampai di
titik perpisahan.”
Aku tercengang.
“Kenapa kamu tiba-tiba bicara soal itu?”
“Jujur aja
Gi, aku Cuma masih merasa keputusan kita dulu terlalu sulit untuk aku terima.
Bahkan sampai saat ini, aku masih berharap itu Cuma mimpi.”
“T-tunggu. Kamu
kok..”
“Maaf ya,
aku dulu banyak cuekin kamu, nggak menanggapi semua SMS ataupun telpon dari
kamu. Saat itu aku benar-benar lagi kacau.”
“Dio..”
“Kamu lihat
jaket ini, aku selalu memakainya kapanpun dimanapun. Aku nggak pernah mau lepas
dari dia. Aku punya banyak koleksi tapi Cuma ini yang paling nyaman buat aku.”,
Dio mengehela napas pendek. “Sama seperti kamu, Gi. Aku udah terlalu nyaman
sama kamu sampai aku merasa tidak bisa melepaskan kamu. Jujur aja aku menyesal
atas keputusan kita dulu, harusnya kita nggak pisah secepat itu.”
Lagi-lagi
aku tercengang. Apa maksudnya ini? Jadi selama ini Dio menyembunyikan
perasaannya yang sebenarnya? Jadi dia tidak benar-benar ingin mengabaikan aku?
“Tapi
kemudian aku berpikir mungkin apa yang kita putuskan adalah yang terbaik untuk
kita berdua. Mungkin jika tetap memaksakan keadaan yang ada malah akan
memperkeruh suasana. Pada akhirnya aku Cuma bisa berusaha untuk merelakan kamu,
Gi. Aku selalu berharap kamu bisa dapat yang lebih baik dari aku.”
“Yo..”, aku
menggigit bibir bawahku.
“Hm?”
“Kamu masih
punya perasaan yang sama seperti dulu sama aku?”tanyaku dengan suara yang
sedikit bergetar.
Dio tercengang
kaget.
“Apa kamu terpikir
kita bisa kembali seperti dulu? Apa segala yang kamu rasakan dulu masih ada
sampai sekarang?
“Itu.. aku
nggak yakin, Gi.”
“Kenapa?”
Belum sempat
Dio menjawab, terdengar dering handphone dari saku celana Dio.
“Aku angkat
ini dulu ya, Gi.”, Dio pun beranjak keluar kamar kosku.
Aku mengamatinya,
dan tiba-tiba ada perasaan aneh. Sekilas terlintas di kepalaku wajah Alin yang
polos ketika mengatakan dia kembali pada pacarnya. Namun aku juga merasakan
firasat buruk. Tunggu. Perasaan macam apa ini?
“Siapa yang
telpon, Yo?”, tanyaku begitu Dio masuk ke dalam kamarku lagi.
“Ah itu. Pacar
aku, Gi.”
Aku merasa
ada suara petir menggelegar tepat di belakang kepalaku.
*
Alin
menghampiriku di kafetaria kampus dengan wajah sumringah. Dan tanpa rasa
berdosa dia mengambil cokelat yang tengah aku makan.
“Wey! Ini anak!”,
aku kontan menepuk tangannya keras.
“Buat aku
aja ya coklatnya, kamu beli lagi aja. Oke, aku pulang dulu ya!”, aku buru-buru
menarik tangannya sebelum dia pergi.
“Eeehh! Udah
ngambil cokelat orang seenaknya, langsung ngacir aja. Buru-buru amat sih? Mau kemana?”
“Bobby
ngajak aku buat ketemu sama orangtuanya, Gi! Kamu percaya nggak?”
Aku tercengang.
“Hah? Seriusan?!”
“Sumpah
nggak bohong! Ya udah aku duluan ya Gia sayang!”, Alin pun berlalu dengan
meninggalkan sisa cokelat ditanganku.
Aku meringis.
Awalnya aku mengira kesempatan yang Alin beri pada pacarnya akan berakhir
sia-sia, namun kurasa aku salah. Sudah hampir satu bulan mereka kembali
berpacaran, dan selama itu Alin tidak pernah bercerita tentang kejelekan Bobby
seperti sebelumnya. Alin justru bercerita bahwa Bobby benar-benar berubah jauh
lebih baik dari sebelumnya. Bahkan kali ini dia berani membawa Alin pada
orangtuanya. Ya, baguslah. Aku ikut senang.
Tiba-tiba aku
teringat pertemuanku dengan Dio. Saat mendengar dia mengatakan bahwa dia
menyesal dengan keputusan kami dulu, aku merasa ada peluang untuk kami bisa
kembali. Namun pada akhirnya dia mematahkan harapku dengan mengatakan bahwa dia
telah memiliki kekasih lagi. Aku merasa kacau dan aneh pada diriku sendiri.
Mungkin aku
sedang dihukum karena sudah menyepelekan sikap Alin yang memberikan kesempatan
kembali pada pacarnya. Aku selalu berpikir bahwa apa yang sudah putus tidak
seharusnya disatukan lagi. Namun ketika kejadian serupa terjadi padaku, ketika
aku merasa harapan kembali itu ada, aku malah tidak mendapatkannya.
Apa yang
salah dari semua ini? Mungkin tidak ada. Hanya saja kali ini aku tidak
beruntung seperti sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar