Sabtu, 23 Agustus 2014

Tersenyum Saja



Awalnya aku diam dan enggan bercerita seperti yg baru saja mereka lakukan. Aku merasa tak pantas menceritakan hal yg kuanggap sensitif ini pada mereka. Ya, meski mereka teman-temanku sekalipun, aku tetap merasa sedikit tak pantas. Ini tema cerita yg harusnya jadi rahasiaku, tapi tatapan mereka yg mendesakku untuk buka suara terlalu menakutkan. Dan aku pun menyerah pada akhirnya.

Aku punya seseorang yg spesial. Dia sangat spesial. Dia memberiku banyak hal yg sangat berkesan. Kami membuat banyak kenangan untuk kami simpan di masa depan.
Aku dan dia punya sedikit kesamaan. Selera musik kami sama. Klub bola favorit kami sama. Dan sama-sama hobi merangkai kata. Semua hal sederhana itu memang terdengar biasa dan sepele, tapi bagiku itu mengesankan.
Oh iya, aku belum mendeskripsikan seperti apa rupa orang itu. Posturnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki dewasa, mungkin tinggi badannya cuma 165cm, tp dg tubuh kurusnya itu, posturnya terlihat ideal. Wajahnya bisa dibilang tampan dan menarik. Sorot matanya tajam, dan senyumnya mempesona. Dan ada satu hal yg paling menarik perhatianku; sebuah tahi lalat kecil yg berada di dekat mata kirinya membuat dia terlihat makin kharismatik.
Banyak hal yg kami lakukan berdua. Mulai dari hal kecil seperti jalan-jalan berdua, membuat kue berdua, lalu tertawa serempak karena kuenya hangus saat di panggang dalam oven. Menonton film berdua, dan dia mengejekku karena aku nyaris menghabiskan satu kotak tissue saat menonton adegan sedih. Juga bersorak-sorai bersama saat menonton tim sepak bola favorit kami memenangkan pertandingan. Saat itu dia akan tersenyum puas sambil memandangku, dan aku secara spontan memeluknya.
Aku dan dia tidak terlalu sering berkomunikasi lewat chatting, ataupun sms. Jika salah satu diantara kami merasa rindu, kami akan langsung bertemu tanpa ragu. Dan ketika bertemu banyak hal yg kami bicarakan. Mulai tentang sepakbola, tentang pekerjaan kami masing-masing, sampai tentang isu terhangat saat itu. Bercerita tentang 'perasaan'? Ah, tentu saja. Bahkan kami suka membayangkan bersama bagaimana jika suatu saat nanti kami benar-benar berjodoh. Membayangkan suatu pagi saat membuka mata, aku melihatnya tertidur di sampingku, lalu dia bangun seraya memberi 'ciuman selamat pagi'. Membayangkan kalau suatu hari kami berdua berbulan madu ke tempat romantis. Dia mengusulkan pergi ke Paris, aku lebih memilih Korea. Juga membayangkan jika suatu saat nanti ketika kami membuka pintu sebuah kamar, terdengar suara tangisan kencang. Kami akan menghampirinya dg tergopoh-gopoh, dan dia langsung menghentikan tangisnya begitu aku menggendongnya seraya memberinya sebotol susu hangat.
Dia hanya tertawa lantang mendengar semua cerita khayalanku. Dan aku berharap diam diam dia mengamini dalam hati.

Mereka begitu terkesan mendengar ceritaku, dan kompak bertanya tentang kelanjutan kisahku yg menurut mereka begitu manis ini. Aku tersenyum. Mereka masih antusias menunggu kelanjutan ceritaku. Tapi aku makin merasa malas untuk menceritakannya.
Meski pada akhirnya kuberanikan diri untuk mengatakannya.

Kubilang pada mereka bahwa semua yg baru saja kuceritakan hanyalah khayalanku saja. Semua itu adalah hal-hal yg selalu aku bayangkan sebelum tidur. Aku membuat ceritaku sendiri, membuat cerita yg berakhir bahagia. Ya. Berkhayal itu seolah kita bisa membuat takdir kita sendiri. Dan itu kulakukan setiap hari, setiap menjelang tidur.

Mereka terhenyak mendengar pengakuanku. Tatapan antusias mereka berubah menjadi tatapan aneh.

Kubilang lagi pada mereka bahwa kisahku yg sebenarnya terlalu pahit untuk diceritakan. Tak ada hal mengesankan yg perlu aku bagi dg mereka. Hanya ada rasa sakit yg amat luar biasa.

Kemudian mereka bertanya 'Kenapa?'

Aku menjawab 'Dia meninggalkanku, berpaling pada gadis yg menurutnya sempurna untuk dirinya'

Mereka melihatku dg tatapan iba.

Lalu aku harus apa?

Aku hanya perlu tersenyum saja.

***

Bone, pukul 20:23 WITA.
Ditulis ditengah rasa rindu yg amat sangat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar