Kamis, 07 Agustus 2014

60 Minutes



Minggu siangku terusik dengan kedatangan temanku yang satu ini, Tori. Cewek dengan rambut ikal dan kulit sawo matangnya yang kalau dilihat menyerupai bule. Bule Afrika tepatnya.
Menyebalkan, disaat harusnya aku bersantai-santai dirumah menikmati weekend malah dia tiba-tiba muncul dan menarikku dari tempat tidur seenak jidatnya. Tak Cuma itu, dia menyuruhku mandi dan berdandan. Mau apa bocah ini?
“Kita mau kemanaa??”, tanyaku dengan nada mengeluh. Tori Cuma nyengir lalu menyodorkan pakaian yang akan aku kenakan.
“Ngga usah banyak nanya deh. Udah sana pake terus dandan yang cakep ya. Jangan lupa pake parfum!”, selorohnya sambil keluar kamarku. Dahiku mengernyit. Mendadak ada perasaan curiga datang. Firasatku mengatakan ada yang tidak beres.
Dan ternyata benar.
“Tori, gue udah bilang berkali-kali ya sama elo kalo gue ngga mau pake acara comblang-comblangan begini.”, sanggahku sedikit kesal setelah mendengar maksud dia mengajakku keluar.
Ya, dia berencana mengenalkanku dengan teman cowoknya. Lagi.
“Ayolah Diraa, ini kesempatan emas buat lo. Gue yakin kali ini lo pasti ngga bakalan nyesel sama cowok pilihan gue.”, ujarnya yakin. Aku mencibir.
“Kali ini? Lo dari dulu selalu bilang ‘kali ini’ tapi nyatanya, zonk! Ah udah ah, mendingan pulang aja yuk!”, ajakku. Tori seperti nggak peduli, matanya masih menjelajahi seisi kafe dengan seksama mencari sosok cowok yang katanya mau dikenalkan padaku itu.
“Tori!”, seruku sedikit kesal. “Ayok pulang ah!”
“Dir, bisa ngga lo diem dulu. Jangan ganggu konsentrasi gue deh. Itu anak mana sih kok belom nongol juga. Heran, cowok dimana-mana sukanya ngaret ya!”, celotehnya sambil matanya tak lepas dari arah pintu masuk kafe.
“Udah deh, mendingan kita pulang aja. Keliatan jelas kalo cowok yang mau lo kenalin itu bukan tipe idaman gue: suka ngaret.”
“Hust!”, Tori menyuruhku diam. Aku Cuma menghela napas pelan.
Dan tepat di detik itu, mataku menangkap sesuatu yang tak terduga. Pandanganku mendadak terpaku pada sosok yang berdiri disana. Sosok yang tak asing lagi bagiku. Davi.
Ada rasa aneh yang kemudian timbul sesaat setelah aku melihatnya. Hati ini bergetar hebat. Namun seperti ada tusukan kecil diantara getaran itu. Apa ini? Tiba-tiba dadaku sesak. Tapi mataku tak bisa lepas memandangnya yang tengah menggenggam tangan seorang gadis. Pemandangan indah yang menyayat sekali.
Rupanya Davi sudah berhasil move on. Baguslah. Dengan begitu tak perlu lagi aku untuk merasa bersalah padanya.
“Dir, itu bukannya Davi ya?”, Tori sepertinya juga menangkap bayangan itu. aku mengangguk pelan.
“Lo lihat sendiri kan, dia aja udah punya gandengan baru sekarang. Sedangkan lo? Lo dikenalin sama cowok selalu ngga enak responsnya. Gimana lo mau move?”, Tori mulai mengomel seperti biasa.
“Ya baguslah kalo begitu. Gue ikutan seneng.”, ucapku datar sambil tetap memandang sosoknya yang kemudian hilang terhalang dinding.
“Sekarang lo yang harus move Dir.”
Aku mengangguk lagi. “Gue tau.”

“Hei, temannya Victoria ya?”, aku menoleh. Kemudian mengamati cowok itu. sepertinya aku pernah ketemu orang ini. Tapi dimana?
“Ohh iya iya.”, kataku sambil bangkit dari tempat dudukku.
“Dewa.” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
Otakku langsung merenspons cepat. Dewa?! Ah, aku ingat sekarang.
“T-tunggu. Lo dulu bukannya temen SMA gue ya?”.
Dewa kelihatan bingung. “Temen SMA? Masa sih?.”
“Lo Dewa si playboy cap gajah nungging kan? Bukannya lo dulu pernah jadian juga sama Gisha temen sekelas gue ya. Terus terakhir lo pacaran sama Biru kan?”, ucapku membabi buta. Apa-apaan si bule Afrika itu, ngapain juga aku dikenalin sama buaya darat macam Dewa ini.
Cowok itu masih keliatan bingung.
“Gue Eldira, anak IPA 2. Waktu kelas 1 juga kita sekelas. Udah inget?”
Dewa terdiam sebentar, matanya menerawang, lalu memandangiku penuh selidik, kemudian terkekeh pelan.
“Tunggu tunggu. Lo Eldira yang cupu itu? yang hobinya mojok sendirian di perpustakaan? Yang suka jadi bahan ejekan anak-anak cheers gara-gara ikut audisi cheers tapi gagal total? Itu lo? hahahahahaha.” Dewa terbahak tanpa henti. Aku Cuma diam memandanginya dengan kesal bercampur malu. Rasanya seperti disadarkan kalau masa SMAku buruk sekali setelah mendengar kalimat setengah ejekan itu. Ya, masa SMA yang suram dan menyebalkan.
“Udah selesai ngejeknya? Kalo udah, gue pulang sekarang deh ya.”, ucapku kesal lalu berbalik badan.
“Dir mau kemana?”, tanya Tori yang baru kembali dari toilet. Mau nggak mau aku menoleh lagi.
“Mau pulang. Bete.” Ucapku seadanya.
“Lo ngambek nih ceritanya?”, celetuk Dewa meledek.
“Tau ah.” Aku kembali berbalik badan, tapi ada sesuatu yang menarik tanganku. Dewa.
“Maaf maaf. Gue Cuma ngga nyangka aja kalo cewe cupu itu sekarang jadi cantik begini sekarang.” Katanya sambil tersenyum memandangku. Entah kenapa saat dia terseyum begitu, rasa kesalku sedikit menghilang. Mendadak ada hening yang cukup panjang.
Tori berdehem. “Cieee, kayaknya bakalan lancar nih. Gue balik duluan ya, kalian silahkan ngobrol-ngobrol deh.” Ucapnya terkekeh.
“Tori!”, seruku. Dia hanya melambaikan tangannya kemudian berlalu.
“Dadah Victoria!”, seru Dewa membalas lambaian tangan Tori.
Aku menghela napas. Apa memang harus begini? Kenapa pake acara ditinggal berdua kayak gini?
“Lo ngga mau duduk?”
“Kasih gue satu alasan kenapa gue harus duduk disitu.”
“Karena gue pengen ngobrol sama lo, pengen tau tentang lo.”
“Tapi gue ngga pengen ngobrol sama lo dan ngga pengen tau tentang lo.”
“Kenapa?”
“Lo playboy, buaya darat, mata keranjang. Apa harus gue percaya sama cowok macem begitu?”
Dewa mendengus. “Lo nilai gue begitu seolah lo kenal persis siapa gue ini.”
“Ngga perlu kenal juga udah keliatan kali.”
“Sok tau lo.”
“Gue mempercayai apa yang gue lihat sendiri.”
“Lo liat apa?”
“Gue liat lo hobi mainin perasaan cewek.”
Dewa terdiam, memandangku kaku. Tiba-tiba aku merasa tidak enak hati. Dan tanpa aku sadari aku telah duduk berhadapan dengannya.
“Maaf. Lo tersinggung ya?”, ucapku pelan.
“Kasih gue satu alasan kenapa gue harus tersinggung.”
“Gara-gara perkataan gue tadi.”
Dewa meringis. “Aneh ya.”
“Aneh kenapa? Apanya yang aneh?”, tanyaku.
“Aneh aja, orang yang ngga gue kenalin malah segitu gampangnya menilai gue ini itu. sedangkan teman akrab gue yang segalanya tau tentang gue, ngga pernah secablak itu menilai gue.”
“Apa bedanya sama lo yang tadi ngejekin gue? Bukannya situasinya sama aja ya”
“Bener juga. Jadi kita impas?” ujarnya sambil tersenyum. Aku mendadak bingung mau merespons apa. Aneh, setiap kali melihat dia tersenyum, kenapa jadi salah tingkah begini?
“Terserah apa kata lo deh.”, jawabku seadanya. Dewa tertawa kecil.

Aku dan Dewa sepakat untuk keluar dari kafe dan mencari tempat lain untuk berbincang. Kali ini suasanya tak menyebalkan seperti tadi. Mungkin karena kami sudah sama-sama rileks dan mungkin juga, ada chemistry yang muncul disana.
“Sebenarnya apa alasan lo mau dikenalin sama gue?”, tanyaku pada Dewa. Kali ini kami duduk bersebelahan, dan mata kami sama-sama tertuju pada hamparan laut yang luas.
“Victoria itu sepupu gue yang paling comel, bawel, berisik, dan setiap permintaannya harus dikabulin. Dan waktu dia maksa gue buat dikenalin sama temennya, sebenernya gue terpaksa.” Jawabnya sambil terkekeh. “Yang ngga gue sangka, ternyata temennya itu adalah Eldira cupu temen SMA gue. Hahahaha.”
Aku kembali pasang muka bete. “Diem ah. Lo ungkit itu terus gue balik nih!”
Dewa tertawa lepas. “Lo itu ya, udah jutek, tukang ngambek lagi. Nanti susah dapet jodoh loh.”
“Kata siapa susah? Bukannya ada elo..” aku reflek menutup mulutku. Sial, apa yang barusan tadi aku bilang?
Dewa tak menanggapiku. Dia masih asik memandang laut. Akupun bingung mau bilang apa lagi. Rasanya jadi canggung.
“Gue udah tau cerita lo.”, celetuknya setelah kami sama-sama diam dalam waktu yang cukup lama.
“Tau apaan?”
“Tentang lo dan Davi.”
Aku tersentak. Kenapa ada nama itu keluar dari mulutnya?
“Ada yang harus lo tau Dir. Sebenarnya gue udah tau lo dari lama. Maksud gue, gue tau Dira sebagai temennya Tori, bukan Dira temen SMA gue. Gue ngga tau kalo kedua Dira itu adalah orang yang sama”
Aku terdiam. Masih belum menangkap apa maksudnya.
“Gue tau lo dari seseorang yang pernah deket sama gue. Salah, dia sangat dekat sama gue. Tapi mendadak kami ngga bisa sedekat itu lagi karena satu hal.”, Dewa memandangku lekat-lekat.
“Perselingkuhan.”
Sampai menit ini aku masih belum bisa menangkap apa maksud dari ceritanya. Tapi aku tetap diam dan terus menyimak.
“Entah tadi di kafe lo merhatiin atau ngga kalau ada Davi disana sama seorang cewek.”
Lagi-lagi aku dibuat tersentak.
“Lo tau Dir, cewek yang sama Davi itu. Dia adalah cewek yang dulu pernah sangat dekat sama gue.” Ungkap Dewa.
“Maksud lo?”
“Dia cewek gue. Dan dia selingkuh sama Davi.”
Aku seperti mendapat petir di siang bolong. Aku terkejut dan ngga percaya. Rasa sesak yang kurasa tadi kian menjadi.
“Gue tau lo pasti kaget dan ngga nyangka kan? Sama, begitupun gue Dir. Gue kira awalnya mereka Cuma teman curhat. Waktu itu Davi lagi suka curhat soal hubungannya sama lo ke Tasya, cewek gue. Guepun jadi tau keluh kesahnya dia karena Tasya suka ceritain soal masalah Davi ke gue. Yang ngga gue sangka, ternyata diem-diem mereka suka jalan berdua. Dan saat itu gue tau kalo Davi baru putus dari lo. Dan..” Dewa memotong kalimatnya. Wajahnya berubah pilu. Terlihat guratan kecewa yang amat banyak disana.
“Dan gue ngerasa kalo gue ini lagi kena karma. Ya, karma. Karena sewaktu pacaran sama Biru, gue mutusin dia dengan cara yang sama seperti ini. Tuhan bener-bener maha adil ya?” dewa memaksakan diri untuk tertawa. Dia menghela napasnya yang berat.
aku mengangguk pelan. “Lo bener, itu karma yang paling tepat buat lo. Salah sendiri jadi peselingkuh.”
“Lo ngga ngerasa sakit denger cerita ini?”
“Kasih satu alasan kenapa gue harus ngerasa sakit?”
“Karena Davi.”
Aku menghela napas. Mencoba menjawab dengan tenang. “Davi kenapa? Dia deket sama cewek, eh maksud gue mantan cewek lo itu setelah putus sama gue kan? Jadi itu udah bukan urusan gue lagi buat tau siapa yang lagi deket sama dia, sapa yang lagi dia deketin. Gue ngga perlu tau dan ngga mau tau.” Ucapku cuek sambil sekuat tenaga aku menahan rasa sesak ini. Entah kenapa aku malah jadi sok tegar begini di depan Dewa, padahal nyatanya hatikupun tak menentu rasanya.
“Sekalipun dia deket sama cewek yang udah punya pacar? Lo ngga akan pernah mau peduli?”
Aku menelan ludahku yang terasa getir. “Buat apa gue peduliin Wa? Itu bukan urusan gue lagi.”
Dewa tersenyum lagi, dan kembali aku dibuat terdiam melihatnya.
“Kalo lo ada di posisi gue, lo bakalan ngapain?”
“Gue bakalan ... move on!”
“Lo pikir gampang?”
“Kenapa enggak?”
Aku tercengang dengan kalimatku sendiri. Aneh, kenapa semudah itu aku mengatakan move on? Padahal nyatanya aku selalu sulit untuk mengatakannya, lebih-lebih untuk melakukannya. Aku selalu menampik nasehat Tori yang selalu memintaku untuk move. Aku selalu ogah-ogahan saat Tori atau teman lainnya coba mengenalkanku dengan cowok. Aku selalu merasa kalau aku ini tak bisa move. Tapi kenapa kali ini .. berbeda sekali?
“Wa, lo tau kenapa gue mau dikenalin sama lo?” Dewa menggeleng pelan.
“Waktu gue liat ada Davi lagi gandeng cewek lain, gue ngerasa inilah saatnya gue untuk bener-bener move. Gue ngga bisa hidup dalam rasa penyesalan terus. Gue sadar banget udah ngecewain Davi, dan udah sepantasnya dia cari cewek yang lebih segalanya dari gue. Itulah kenapa gue mau move Wa. Bukan Cuma dia yang pengen punya pendamping yang terbaik, tapi gue juga. Begitupun lo.”
Dewa terdiam memandangku. Aku balas memandangnya.
“Entahlah Dir, kadang gue ngerasa takut kalau bakal ngecewain dan di kecewain lagi. Gue takut karma. Serem.”, ujarnya sambil tertawa kecil.
“Waktu di SMA apa lo pernah mikir begitu?”
“Jujur aja engga. Tapi sekarang gue udah sadar, gue udah insyaf. Gue udah tau rasanya dikecewain itu gimana.” ucapnya pelan. Matanya kembali memandang laut.
“Lo lembek Wa.” Celetukku tiba-tiba.
Dewa melotot memandangku. “Apa barusan lo bilang?”
“Lembek, kayak bubur bayi!”, ejekku sambil terkekeh.
“Tuh kan, lo mulai lagi.” Dewa pasang wajah cemberut.
“Lagian, lo baru dikecewain sekali aja udah begitu loyonya, kayak ngga punya semangat hidup banget. Strong dong! Lo kan cowo, masa kalah sama gue?”
Dewa mendengus. Kemudian mendorong bahuku pelan.
“Gue kan uda bilang, gue Cuma takut ngecewain dan dikecewain lagi. Mau hati-hati aja buat melangkah. Gue ngga mau sembrono kayak yang udah-udah.”
“Iya tapi ngga usah pake dorong dorong kali. Lo kira gue troli belanjaan?” candaku. Kami tertawa serempak.
“Gue coba deh.”, ucapnya setelah tawanya reda.
“Coba apaan?”
Dia kembali memandangku lekat-lekat. “Lo butuh berapa lama buat jatuh cinta sama orang?”
Aku tercenung. “Kenapa emangnya?”
“Udah jawab aja.”
“Emmmmm” gumamku sambil berpikir. “Ngga tentu juga sih. Tapi mungkin cukup satu sampe dua jam gue kenal sama dia. Tapi bisa lebih juga sih, tergantung orangnya lah.”
“Oke!” seru Dewa lantas berdiri, lalu membersihkan pasir-pasir yang menempel di celananya.
Aku melihatnya dengan tampang bingung.
“Kenapa lo?”
Dewa Cuma tersenyum lalu mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Tanpa disadari tanganku di genggamnya dengan erat. Lagi-lagi dia membuatku terkesima dengan senyumnya. Seperti dalam sinetron, seorang playboy selalu digambarkan punya senyum yang mematikan.
“Kalo gitu, kasih gua satu jam buat bikin lo ... jatuh cinta sama gue.”
Aku tersentak. Spontan kulepas genggaman tangannya. “Apa lo bilang?!”
“Kasih gue 60 menit aja, buat bikin lo jatuh cinta sama gue.”
Aku mendadak terdiam. Badanku kaku sekali rasanya. Hanya getaran hebat yang kurasakan. Kali ini tak ada tusukan kecil lagi diantara getaran itu. hanya perasaan getaran hati yang berbeda. Getaran yang cukup lama tak kurasakan.
Aku tersenyum memandangnya. Kurasa pintu hati yang lama aku gembok ini sudah bisa dibuka sekarang, karena aku telah menemukan kuncinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar