Aku melirik arlojiku untuk kesekian kali sambil menguap. Bunda yang duduk
di sebelahku kontan menyuruhku untuk menutup mulutku.
“Kamu nih, jadi anak gadis kok sembrono. Kalo nguap ditutup dong mulutnya,
nggak malu apa diliat banyak orang?”, Bunda mencubit pipiku pelan.
“Mereka mana sih Bun? Katanya lagi on
the way?”, tanyaku sambil celingukan mengamati sekeliling restoran.
“Bentar lagi juga datang, sabar dong.”
Aku menghela napas pendek. Agak nyesal juga kenapa tadi aku menuruti Bunda
yang minta ditemani belanja bulanan kalau ujung-ujungnya malah begini. Siapa
sangka kalau akhirnya aku bakal dipertemukan sama orang yang katanya mau
dijodohkan dengan aku itu. Bundaku ini ada-ada aja deh, hari gini masih pake
acara perjodohan? Dikira masih jaman Siti Nurbaya kali.
“Anaknya Tante Rani sekarang jadi ganteng lho, Net. Kemaren Bunda ketemu
dia sampai pangling ngeliatnya, beda banget sama waktu dia masih kecil.”, ucap
Bunda dengan mata berbinar. “Ganteng banget deh, kayak si Fahri.”
“Fahri? Fahri siapa Bun?”
“Fahri itu yang di film apa itu lho yang punya istri bercadar, yang
poligami.”
“Oohh, maksud Bunda film Ayat-Ayat Cinta?”,
“Naahhh, itu dia.”
Aku tercenung. Maksudnya ganteng kayak Fedi Nuril? Iya sih Fedi Nuril emang
aktor yang tampan menurut aku, tapi masa iya si Affandy-cowok yang katanya mau
dijodohkan denganku itu gantengnya kayak dia? Aku memang udah lama tidak
bertemu Affandy, tapi aku masih sedikit ingat tampang dia waktu masih kecil.
Mukanya polos banget, nyaris keliatan cupu dengan kacamatanya. Kalau memang dia
akhirnya berubah jadi ganteng setelah dewasa, agak terdengar aneh juga. Kayak
di ftv aja, pas kecilnya cupu eh pas udah dewasa jadi ganteng dan berwibawa.
Nah, nyatanya kami kan nggak lagi main ftv.
“Arnetta..”, Bunda membuyarkan lamunanku.
“Bunda tau kamu mungkin nggak nyaman dengan cara Bunda yang main
jodoh-jodohin begini. Tapi Bunda begini kan karena Bunda peduli sama Netta,
Bunda mau kasih yang terbaik buat Netta, Bunda nggak mau kalau anak Bunda
sampai salah pilih orang. Lagian kan si Affandy ini teman masa kecil kamu, dia
bukan orang baru di kehidupan kamu, Net.”. ucap Bunda sambil memandangku
lembut.
“Iya Netta tau kok. Netta Cuma ngerasa aneh aja Bun, kenapa tiba-tiba sikap
Bunda jadi ngotot ngejodohin Netta begini? Emangnya Bunda ngga percaya kalau
Netta bisa nyari laki-laki yang terbaik buat Netta sendiri?”, tanyaku.
Bukannya menjawab, Bunda malah balik bertanya, “Umur kamu berapa sekarang
coba?”,
“Hampir 21 tahun.”
“Coba kamu ingat, selama 21 tahun kamu hidup pernah nggak kamu ngenalin
cowok kamu ke Bunda sama Ayah?”
Aku menggeleng kaku. Iya juga ya, aku kok baru sadar kalau aku memang tidak
pernah mengenalkan siapa teman dekat atau pacarku. Bukan karena malu atau apa,
tapi karena aku memang tidak pernah punya pacar.
“Net, Bunda sama Ayah tuh selama ini memperhatikan kamu, lho. Waktu kamu
masih SMP sih Bunda ngga terlalu peduli soal siapa teman dekat kamu. Tapi
begitu masuk SMA, Bunda ngeliat banyak teman-teman Bunda yang suka cerita
tentang anak mereka, tentang gaya pacaran anak mereka, bahkan ada yang berani
mengenalkan secara langsung ke orangtuanya ‘ini lho, pacar aku’. Jujur aja Bunda iri mendengarnya, soalnya
Bunda nggak punya apapun yang bisa Bunda ceritakan sama mereka. Karena selama
ini Bunda sama Ayah nggak pernah sekalipun ngelihat kamu jalan sama cowok atau
Cuma sekedar diapelin kerumah. Cowok yang Bunda sama Ayah kenal selama ini
paling teman-teman kuliah kamu, dan itupun kayaknya nggak ada yang terlihat
dekat sama kamu.”
Aku diam, bingung mau merespon apa. Semua yang dikatakan Bunda barusan
terdengar begitu menusuk dan membuat aku tersadar kalau aku memang tidak pernah
memperhatikan masalah asmara. Disaat teman-temanku yang lain asyik pacaran, aku
malah sibuk dengan target kuliah yang harus aku selesaikan dalam waktu 3 tahun.
Disaat teman-temanku ramai memperkenalkan pacar mereka dan umbar kemesraan, aku
malah larut dengan pekerjaanku. Aku seperti orang yang tidak punya waktu untuk
memikirkan soal ‘siapa pacarku?’, ‘kenapa aku belum punya pacar sampai detik ini?’.
Aku benar-benar tidak pernah terpikir soal itu sama sekali sampai di umurku
yang menginjak 21 tahun ini. Sama sekali.
Aku menghela napas panjang. “Netta memang nggak pernah kepikiran soal itu
Bun.”
“Itulah makanya Bunda merencanakan ini buat kamu, Net. Bunda pengen sekali
ngelihat kamu dekat dengan cowok, Bunda pengin sekali ngeliat wajah kamu
berseri-seri karena jatuh cinta. Yang selama ini Bunda lihat malah wajahmu yang
serius dan sibuk dengan laptopmu itu.”, ucap Bunda setengah mengeluh. “Net, Bunda
sebenarnya nggak memaksakan ini ke kamu, tapi Bunda pengin kamu mencobanya. Toh
tidak ada salahnya juga kan selama anaknya baik ke kamu, sopan dan bertanggung
jawab?”
Aku mengangguk pelan.
“Lagipula..”, lanjut Bunda. “Kakakmu dulu diumur segini malah sudah
beberapa kali pacaran, banyak cowok yang dia kenalkan ke Bunda dan Ayah sampai
akhirnya dia ketemu sama kakak iparmu dan menikah di umur 23 tahun. Bunda juga
ingin lihat kamu begitu Net, jangan sampai kamu melupakan kodrat kamu sebagai
perempuan; menjadi seorang istri. Apalagi umurmu ini sebenarnya sudah pantas
lho buat menikah.”
Aku memandang Bunda sambil tersenyum tipis, seketika ada perasaan malu yang
mengganggu. Ya, harusnya aku tidak terlalu larut dengan dunia kerjaku, harusnya
aku meluangkan waktu sejenak untuk mencari siapa tambatan hatiku.
Aku melirik Bunda yang tengah meneguk tehnya. Seketika otakku mengingat
selama ini kedua orangtuaku tidak pernah memaksakan aku untuk menjadi apa yang
mereka inginkan. Mereka tidak pernah menuntutku untuk menjadi sukses dengan
cara mereka. Mereka membebaskanku dalam memilih apapun yang menjadi tujuanku
untuk sukses dengan caraku sendiri. Ayah dan Bunda hanya mengarahkan dan
membimbingku tanpa sekalipun ikut campur atau memaksaku untuk mengikuti
kehendak mereka.
Tapi kali ini Bunda bersikap lain. Beliau sedikit menuntutku agar mau
mengikuti keinginannya yang mau menjodohkanku dengan anak temannya. Dan kurasa
sekarang sudah saatnya aku menuruti apa kata Bundaku. Toh ini bukan sesuatu
yang salah, lagipula kan untuk kebaikanku juga.
“Nah itu dia Tante Rani sama Affandy.”, pekik Bunda pelan sambil memegang
tanganku lantas berdiri menyambut kedua orang itu. Aku terkesiap.
Kontan saja Bunda dan Tante Rani saling menyapa dan bercipika-cipiki
layaknya sahabat karib. Sedangkan mataku mengamati sosok Affandy yang tampil
rapi dengan kemeja batiknya. Aku agak bingung melihatnya, ini orang dari tempat
kondangan kali ya?
“Waahh Arnetta sekarang sudah dewasa dan tambah cantik ya. Dulu waktu kecil
imut-imut banget, masih suka Tante cubitin pipinya. Eh sekarang udah berubah
jadi gadis cantik. Nggak nyangka, lho.” Puji Tante Rani, aku Cuma bisa tersipu
sambil mengucapkan terimakasih.
“Nah ini dia Affandy-nya. Gimana Net, gantengnya kayak Fahri kan?”, Bunda
melirikku dengan sedikit menggoda. Affandy terlihat tersipu malu.
Aku mengamati wajahnya lagi. Dan setelah diamati memang agak-agak mirip
Fedi Nuril sih, apalagi waktu dia tersenyum. Ternyata penilaian Bunda benar
juga, aku kira Bunda Cuma mengada-ada.
“Hei, lama nggak ketemu. Terakhir kali waktu kita baru mau masuk SD itu
kan?”, sapaku sambil mengulurkan tangan. Affandy balas uluran tanganku.
“Iya, udah lama juga ya.”, ucapnya sambil mengulum senyum.
Dan disitulah garis start masa pendekatanku dengan Affandy dimulai.
***
Aku menemui Affandy yang menungguku di ruang tamu. Dengan tampang sedikit
kaget dia memandangku dari kepala sampai ujung kaki. Aku yang merasa diamati
spontan melihat penampilanku sendiri, apanya yang salah dari ini? Kami kan Cuma
mau jalan ke mall, sah-sah aja kan
Cuma pakai kaus dan celana jeans?
“Kamu rapi bener? Mau kondangan kemana?”, tanyaku dengan nada meledek
sesaat melihat penampilannya yang rapi dengan kemeja khas dia. Batik.
Agak lucu juga sih melihat cowok yang terbilang masih muda suka pakai kemeja
batik kemana-mana. Ya meskipun dipadukan dengan celana jeans dan sepatu kets, tapi tetep aja terlihat lucu. Jarang-jarang
kan nemuin cowok macam begini. Penampilannya sekilas seperti ingin ‘menuakan
diri sendiri.’ Dan mungkin orang yang ngga kenal bakal mikir dia ini berumuran
30 tahunan, padahal sih baru 22 tahun.
“Kamu sendiri kenapa Cuma pake kaos begitu?”, Affandy balik bertanya.
“Cuma ke mall doang kan? Cuek aja
kali.”, jawabku seadanya.
“Tapi keliatan jadi nggak serasi gitu deh, Net. Kamu ganti baju dulu
sana!”, ujar Bunda dari ruang tengah.
“Ah, Bundaaa.”
“Ngga perlu, Tante. Nggak apa-apa kok. Mungkin itu udah jadi style-nya Netta.”, Affandy membelaku.
“Affan suka kok.”
“Ya udah ah yuk berangkat.”, ucapku seraya berpamitan dengan orangtuaku.
“Jangan lupa ya pulangnya beliin Bunda sama Ayah martabak telor! Telornya
telor bebek lho!”, seru Bunda masih dari ruang tengah.
Aku mendengus. “Yaelaahhhh Bundaaaa.”
Affandy terlihat tertawa pelan.
Mobil Affandy pun melaju pelan menuju mall
yang akan kami datangi.
Malam ini adalah pertemuanku dengannya yang ke tujuh selama satu bulan ini.
Lucunya, setiap pertemuan kami selalu dan selalu saja dirancang oleh Bundaku
atau Tante Rani, Maminya Affan. Kami tidak pernah sekalipun merencakan sendiri
akan bertemu atau tidak. Segalanya seperti sudah diatur oleh Ibu kami sendiri.
Dan lucunya lagi, tidak pernah sekalipun juga ada konflik seperti yang sempat
aku bayangkan sebelumnya. Seperti penolakan tegas dari Affandy yang enggan
dipertemukan denganku, atau keluhan yang dia lontarkan karena rencana
perjodohan ini. Sama sekali tidak ada hal semacam itu. Padahal aku sering
menonton di ftv yang bercerita tentang perjodohan, pasti ada salah satu atau
keduanya sama-sama menolak dijodohkan lantaran berbagai alasan ini dan itu.
Yang sering terjadi di ftv biasanya kedua tokoh enggan dijodohkan karena telah
mempunyai pasangan masing-masing, dan mereka kompak berusaha menggagalkan
perjodohan itu. Tapi yang terjadi di kenyataannya adalah, tidak seperti yang dicritakan dalam ftv. Affandy terlihat tidak
pernah memberontak dengan keadaan ini, dia seperti oke oke saja menjalaninya.
Seperti tidak pernah ada beban atau konflik batin dalam dirinya. Yang selama ini aku lihat dan perhatikan dia
nyaman-nyaman saja dengan apa yang ada. Dia selalu terlihat tenang, santai,
dan.. selalu menuruti apa kata Maminya.
Melihatnya nurut begitu, akupun seolah ikut menurut juga. Aneh, akupun
tidak merasa harus memberontak atau menolak bila Bunda atau Tante Rani
merancang pertemuanku dengan Affandy. Selama kami bertemupun tidak pernah
muncul kalimat seperti ‘ngapain sih Mami gue pake niat ngejodohin gue sama
lo?!’ atau ‘dih males banget gue dijodohin gini, kayak nggak bisa nyari sendiri
aja!’. Sama sekali tidak pernah ada kalimat semacam itu.
Semuanya berjalan sangat mulus, namun sebenernya menimbulkan rasa penasaran
bagi aku. Ya, sebenarnya memang seperti inikah sifatnya Affandy? Atau diam-diam
dia sebenarnya tidak nyaman dengan keadaan ini?
“Kamu mikirin apa, Net?”, celetuk Affandy membuyarkan lamunanku. Sepertinya
dari tadi dia memperhatikanku yang tidak mengajaknya ngobrol selama
diperjalanan.
Aku menoleh padanya yang lebih tinggi dariku. “Ah, engga. Gak ada apa-apa.”
Kami pun berjalan memasuki mall.
“Langsung ke lantai tiga aja ya.”, ajaknya sambil menekan tombol lift.
“Ngapain?”, tanyaku bingung.
“Lho, Bundamu nggak bilang kalau kita disuruhh pesan cincin?”
Aku tercengang. “Cincin?”
“Iya,”, Affandy mengangguk. “Tadi Mami aku bilang kita suruh pesan cincin
tunangan di tempat langganan keluarga kami.”, ucap Affandy enteng bersamaan
terbukanya pintu lift.
Aku masih terbengong karena kaget. Hah? Cincin tunangan?! Secepat ini?!
“Netta, ngga mau masuk lift?”
Aku tersentak kemudian buru-buru masuk ke dalam lift yang membawa kami ke lantai 3.
Aku memandangi etalase yang di dalamnya berjajar rapi berbagai jenis model
cincin emas putih yang berkilauan dengan tampang dungu. Yang benar saja nih,
baru sebulan masa sudah disuruh tunangan? Mendadak kepalaku gatal tanpa sebab.
“Makanya kalau mandi tuh keramas pakai shampo.”, celetuk Affandy dengan
nada meledek. Aku mendengus.
“Tiap hari juga keramas kali. Enak aja.”
Affandy tersenyum simpul. “Gak usah bingung gitu, lah. Mami kan Cuma nyuruh
kita pesan cincin, bukan nyuruh kita tunangan besok.”
“Tapi tetap aja menurut aku ini terlalu cepat.”
“Bukannya lebih cepat lebih baik ya?”
“Kamu nggak masalah dengan keadaan ini?”
“Kenapa harus ngerasa ada masalah?”
“Jadi kamu nyaman?”
“Nyaman.”
“Are you sure?”
“No doubt.”
Aku menghela napas pendek. “Terserah lah. Ngeliat kamu nurut banget begitu
aku jadi bingung mau gimana lagi selain ikut nurut juga.”
“Maunya kamu aku ngga nurut, gitu?”
“Bukan gitu juga.”
“Kamu mau kita gagalin rencana perjodohan ini?”
Aku tersentak. Darimana datangnya kalimat itu? apa barusan jatuh dari
langit?
“Me-menurutmu?”
Belum sempat Affandy menjawab, seorang laki-laki setengah baya menghampiri
kami sambil menunjukkan sample cincin yang rencananya akan kami pesan.
“Ini model yang sempat Mami kamu pesan buat nikahan kakakmu, Fan. Tapi
nggak jadi karena kakakmu milih model lain. Tapi keren kan?”
Affandy mengangguk setuju sambil memandangi cincin itu. “Boleh juga yang
ini.”
“Mau kasih ukiran nama nggak?”, tawar orang itu sambil menoleh padaku.
“Kalo saya sih terserah Affan aja, Om.”, jawabku seadanya.
“Wah, Fan. Calonmu ini nggak kalah cantik ya sama kakak iparmu itu? Kamu
pintar juga ya pilih cewek?”
Affandy tertawa renyah. “Ah, Om Wisnu bisa aja.”
Aku yang mendengarnya bingung mau merespon apa. Tiba-tiba canggung.
**
“Makan dulu yuk!”, ajaknya setelah kami keluar dari toko cincin itu dan
berjalan menuju basement.
“Boleh. Dimana?”
“Suka bebek nggak?”
“Lumayan.”
“Makan bebek bakar aja yuk, ada langgananku tuh nggak jauh dari sini.”
Aku mengangguk setuju seraya membuka pintu mobil Affandy.
“Kamu suka cincinnya?”, tanya Affandy tiba-tiba ditengah perjalanan.
“Ha? Oh, suka kok. Suka.”.
“Dari tadi mikirin apa sih? Kok suntuk gitu mukanya?”. Rupanya Affandy
mengamatiku.
“Aku kepikiran soal temanku.”, jawabku.
“Temanmu kenapa?”
“Dia baru-baru ini putus sama pacarnya. Alasannya karena orangtuanya ngga
setuju sama hubungan mereka, beda agama sih.”
“Terus?”
“Temenku ini na manya Gisha dan pacarnya Gathan. Nah orangtuanya si Gathan ini
disisi lain malah udah jodohin dia sama cewek lain yang satu agama sama dia.
Jadi mau nggak mau mereka putus deh, padahal mereka masih saling sayang
banget.”
“Ya itu kan resikonya pacaran sama orang yang beda agama, wajar kan kalo
orangtua ngga setuju.”
“Iya sih, Cuma yang bikin aku kepikiran sih bukan ke Gisha atau Gathan-nya.
Tapi aku mikirin posisi si cewek yang mau dijodohin sama Gathan itu.”
Affandy terlihat bingung.
“Ya, aku bayangin kalau akulah cewek yang ada di posisi itu. Bakalan gimana
ya rasanya jadi orang ketiga yang muncul tiba-tiba dengan alasan perjodohan?”
“Maksud kamu sebenarnya gimana sih, Net? Aku kok nggak paham ya?”
Aku mendengus. “Aku tuh lagi ngomongin kita Fan, Kita!”
“Kita?”
“Iya, kita. Yang mau aku tanyain itu sebenernya, kamu dijodohin begini
dalam keadaan jomblo atau masih punya pacar sih?”. Affandy tersentak, tapi dia
berusaha tenang sambil terus mengendalikan setir.
“Ohh, aku ngerti sekarang. Jadi kamu takut gitu kalau jadi orang ketiga?”
Aku mengangguk pelan. “Selama ini sikap kamu nunjukin kalau kamu oke oke
aja dengan keadaan ini, kamu kayak nggak pernah ada masalah dengan perjodohan
ini. Tapi itu bikin aku jadi penasaran Fan, kamu sebenarnya memang nggak
apa-apa atau sebenarnya ada yang kamu sembunyikan?”. Pertanyaan yang selama ini
aku pendam entah kenapa keluar dengan sendirinya.
Affandy tidak menjawab, dia malah mengajakku turun dari mobil karena telah
sampai di tempat tujuan. Sebuah tempat makan kaki lima yang menyajikan makanan
serba ‘panggang’. Mulai dari ayam, bebek, sampai makanan laut.
Kami berdua pun duduk di satu-satunya meja kosong di tempat itu. Beruntung
juga masih dapat meja ditengah keramaian begini.
“Aku banyak dengar tentang kamu dari Mami kamu lho.”, celetukku sesaat
Affandy memesan pesanan kami pada pelayan.
“Oh ya? Mami aku cerita apa aja?”
“Banyak. Tapi yang sering diceritakan ya tentang prestasimu dari kecil
sampai segede ini. Tentang kamu yang dari dulu nggak pernah menentang apa kata
orangtua. Dan disitu aku baru tau kalau kamu anaknya penurut banget ya sama
orangtua. Jarang loh aku nemuin cowok yang segitu penurutnya, seolah percaya
sama kutukan Malin Kundang aja.”
Affan tersenyum simpul. “Loh? Justru bagus kan kalau jadi anak penurut?”
“Penurut sih penurut, tapi yang selama ini aku dengar kamu tuh kesannya
kayak dikendalikan gitu ya sama Mami kamu. Seolah kamu punya antena dan Mami
kamu pegang remote controlnya. Kamu
kayak nggak punya daya buat ngelawan atau ngebantah semua tuntutan orangtua
kamu, terutama Mamimu itu.”
“Kenapa kamu bisa mikir begitu?”
“Coba aku tanya, kamu kuliah Ekonomi atas kemauan siapa? Mamimu atau
kemauan kamu sendiri? Kamu kerja di Perusahaan keluargamu atas kemauan siapa?”
“Mami sih.”
“Tuh, salah satunya. Kamu kayak ngga bisa nentuin sendiri mau jadi apa kamu
nantinya. Segalanya serba tuntutan dari orang tua. Emang nggak bisa ya kalau
kamu ngelawan sedikit aja atau paling nggak bilang kek ke Mami kamu tentang apa
yang selama ini kamu inginkan, tentang apa yang paling ingin kamu kejar.”, aku
memandang Affandy lekat-lekat. “Itu satu, kedua tentang perjodohan ini. Lihat
kamu, kayak nuruuuut aja apa kata Mamimu. Disuruh ini, disuruh itu, nurut aja
kayak nggak ada beban. Kamu emang begitu sifatnya apa gimana sih? Oke, aku
emang agak kurang setuju sama perjodohan ini dari awal, tapi berhubung ini
tuntutan pertama dari Bunda aku, makanya aku nurut. Tapi aku penasaran sama
sikap kamu ini, Fan. Apa ngga ada rasa tertekan atau semacamnya gitu?”
“Gini, Netta..”, Affandy menarik napas panjang, “Jujur aja kuliah ekonomi,
kerja di perusahaan keluarga, semua itu bukan kemauan dari diri aku sendiri.
Semua itu aku lakukan semata-mata ingin membuat orangtuaku bangga, terutama
Mamiku. Sejak aku kecil aku memang selalu dituntut buat jadi anak yang pandai,
yang berprestasi, yang rajin juga mandiri. Tapi bukan berarti Mami mengekang
aku dari segala hal yang aku suka. Contohnya saat aku bilang ingin
mempelajari musik, beliau mengijinkan
aku les musik meskipun beliau nggak mendukung penuh. Mami bilang, musik itu
bukan untuk ditekuni, tapi cukup untuk dijadikan hobi pengusir kebosanan. Aku
rasa Mami benar, dan aku nggak pernah merasa ada masalah sama itu, aku berpikir
kalau apa yang orangtua bilang ‘baik’ pastilah yang terbaik untuk anaknya.
Untuk masalah ‘mau jadi apa aku nanti’ versi caraku ya adalah dengan membuat
orangtuaku bangga dengan apa yang aku lakukan buat mereka. Melihat mereka
tersenyum bangga sama aku itu udah sangat membahagiakan, aku nggak perlu
lakukan apa-apa lagi.”
“Emangnya kamu nggak merasa tertuntut dan tertekan atas segala kemauan dari
Mami kamu, apa? Emangnya kamu nggak punya impian sendiri yang pengin kamu kejar
dengan cara kamu sendiri? Emang segala tuntutan orangtua kamu selama ini memang yang jadi impian kamu? Aku rasa
engga, lah. Tiap orang punya mimpi dan keinginan masing-masing, dan mereka
bakal mewujudkannya dengan cara mereka sendiri. Mereka punya cara tersendiri
untuk bisa sukses dengan cara mereka, bisa membuat orangtua bangga dengan cara
mereka. Dengan menjadi diri mereka, bukan karena tuntutan siapapun.”
“Jadi kamu mau bilang kalau aku bukanlah aku yang sebenarnya? Dimata kamu aku ini Cuma bonekanya Mami? Duh,
Arnetta, kayaknya kamu terlalu banyak nonton sinetron.”
“Fan, maaf ya bukannya mengejek cara didik Mami kamu atau gimana, aku Cuma
mau membandingkan sedikit dengan Bunda aku. Bunda aku dari dulu sama sekali
nggak pernah menuntut apapun dari aku. Apapun. Baik itu soal prestasi
disekolah, masuk fakultas apa saat kuliah sampai mau kerja apa nanti selepas
kuliah. Bunda dan Ayahku nggak pernah memintaku untuk menjadi ini dan itu.
mereka membebaskan aku untuk pilih jalan aku sendiri, membiarkan aku menjadi
diri aku sendiri. Dan dengan caraku ini yang tanpa turun tangan mereka buktinya
aku bisa membuat Bunda dan Ayah bangga. Mereka bangga walau anaknya Cuma kerja
bikin artikel di website doang. Aku ngga perlu kuliah ekonomi atau kedokteran
dulu biar bisa membuat mereka bangga. Aku ngga perlu nyalon jadi caleg atau
daftar PNS biar bisa menjunjung tinggi martabat keluarga. Dengan hanya melihat
aku mandiri saja, aku bisa membuat mereka bangga.”
“Ya kamu benar, ngga perlu jadi orang penting buat bikin orangtua bangga,
cukup untuk jadi diri kamu sendiri. Tapi
yang harus kamu pahami, Net, aku nggak pernah sekalipun merasa tertekan atau
semacamnya. Karena impian aku adalah melihat orangtuaku bangga dan tidak merasa
sia-sia membesarkan anaknya sampai sekarang. Menuruti apa kemauan orang tua
yang selama itu baik dan aku mampu buat menjalaninya, pasti aku jalanin. Kita
ini sebagai anak ngga akan bisa membalas segala kasih sayang orangtua yang
mereka kasih buat kita, Net. Cuma dengan menurut dan membuat mereka bangga lah
yang bisa kita lakukan. Dan sebenarnya aku pun suka dengan ekonomi kok, aku
suka kerja di bidang bisnis, terdengar menantang, elegan dan keren. Iya nggak
sih?”
“Jadi, yang aku lihat sekarang ini memanglah sifat kamu yang sebenarnya?”
“Iyalah, buat apa juga aku tutup-tutupi? Inilah aku apa adanya, Netta. Mau
nggak mau ya kamu harus nerima.”
“Termasuk style nyeleneh kamu
itu?”, kataku sambil menunjuk kemeja batiknya.
“Oh, ini? Ini namanya cinta Indonesia, Net. Kita kan orang Indonesia, ya
wajib cinta sama budaya sendiri lah. Bukan nyeleneh dong namanya.”
“Lalu gimana sama masalah perjodohan ini?”
“Kamu ada masalah?”
Aku mendadak diam.
“Net, kalau kamu nggak setuju dengan perjodohan ini ya bilang terus terang
aja. Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman kita bicarakan baik-baik, kalau
perlu kita bicarakan langsung sama orangtua kita.”
“Tadi kamu belum jawab pertanyaanku lho, Fan.”
“Yang mana? Yang aku udah punya pacar atau belum?”, aku mengangguk cepat.
Affan tersenyum malu, “Aku sama sekali belum pernah punya pacar, Net.
Jangankan pacaran, dekat sama cewekpun aku nggak pernah.”, aku Affan.
Aku kontan melongo kaget. Kok nasib kita sama?
“Jadi kamu nggak perlu khawatir, kamu ngga bakalan jadi orang ketiga kok.
Mau jadi orang ketiga gimana, orang keduanya aja ngga ada.”, Affan tertawa
renyah.
Aku ikut tertawa kecil. “Gitu ya? Syukur deh.”
“Kamu sendiri emang nggak punya pacar?”
Aku menggeleng kaku. “Enggak. Selama ini aku juga belum pernah pacaran.”
Gantian Affandy yang melongo kaget.
“Sama sekali belum pernah pacaran? Kalau jatuh cinta atau Cuma sekedar suka
sama orang, gimana?”
“Emmm, kayaknya nggak pernah juga deh. Emang kamu pernah jatuh cinta sama
seseorang?”
Affan mengangguk pelan. “Pernah sih, satu kali. Itupun udah lama banget.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Eh kita tuh aneh ya, udah lumayan sering ketemu tapi baru kali ini kita
ngobrolin soal ini.”, ujarku yang diiyakan Affan.
“Jujur aja kemarin-kemarin aku terlalu grogi dan bingung mau ngobrolin apa
sama kamu. Tapi untungnya kamu selalu punya topik obrolan, jadi aku ngerasa
aman.”
“Aku sih sebenarnya udah mendam banyak pertanyaan ke kamu, dan baru sempat
terjawab sekarang.”
Affan tersenyum simpul. Wajah ‘Fahri’-nya terlihat sangat jelas. Eh, loh?
Kok aku jadi ketularan Bunda gini sih?
“Jadi berarti kamu nggak ada masalah sama perjodohan ini?”, tanyaku lagi.
Affan mengangguk pelan.
“Tau nggak sih, sebenarnya ini bukan semuanya karena tuntutan Mami aku,
lho.”
“Oh ya?”
“Ya, aku ngejalanin ini ya karena ada kemauan dari diri aku sendiri. Aku
bahkan sangat setuju dengan adanya perjodohan ini.”
Aku diam, bingung mau merespon apa. Mendadak suasana menjadi canggung lagi.
Pelayan menyelamatkanku dari suasana canggung, dia datang membawakan
pesanan kami. Bebek panggang dengan aroma khas yang menggugah selera.
Glek! Aku menelan ludahku.
“Awas itu ilernya netes.”, goda Affan sambil melemparkan tissue ke arahku.
Aku melengos menahan malu.
***
“Kita beli martabak dulu ya buat Bunda.”, kataku sambil membuka pintu mobil
Affan. Cowok itu mengangguk.
“Gimana, enak kan bebek bakarnya?”, tanya Affan saat mobil mulai melaju
pelan.
“Bukan enak lagi, Fan. Tapi luar biasa dahsyat kelezatannya!”, jawabku
dengan ekspresi heboh. Affan tertawa pelan.
“Hiperbola, ah!”
Aku terkekeh. Dan saat itu mataku menangkap sesuatu di depan kemudi mobil
Affan. Seperti sebuah CD atau semacamnya.
“Itu apaan, Fan? Aku kok baru merhatiin ada ini ya?”, tanyaku sambil
mengambil benda yang beruba CD itu.
“Ohh, itu isinya lagu-lagu kompilasi gitu. Yang nyanyiin teman-temanku,
tapi lagunya hasil ciptaanku sendiri sih.”
“Waah, kamu bisa nyiptain lagu?”, tanyaku sedikit takjub. “Eh tapi bukannya
kamu bilang kalau kamu nggak mendalami musik ya, katanya Cuma buat hobi?”
“Ya memang, itu lagu-lagu juga buat iseng-isengan doang. Ada sih teman yang
minta dibikinin lagu buat nembak cewek yang dia suka.”
“Oh yaa? Ah, kamu kan ngga pernah deket sama cewek, masa bisa bikin lagu
bertema cinta?”, cibirku.
“Yeehh, jangan meremehkan bakat seseorang dong. Di dengerin dulu, baru
boleh komentar.”
“Emangnya isi berapa lagu nih?”
“Ada 15 lagu kayaknya.”
“Sadaaappp! Lagu paling bagus yang mana nih?”
“Track nomor 3, itu lagu aku sendiri yang nyanyiin lho. Judulnya ‘Ketika
aku melihatmu.’”.
“Dih, narsis beneeerr!” Affan terkekeh.
“Ya udah ini CD aku bawa pulang ya, biar aku dengerin di rumah.”
Aku membolak balik tempat CD itu, dan ada secarik kertas berisi sebait
tulisan.
Ketika aku melihatmu,
pandanganku terpaku mulutku membisu
Tak bisa sedetikpun
melewatkan saat memandangmu
Ketika aku
melihatmu, kuyakin engkaulah duniaku
Tak mampu lagi berpaling
lagi, dirimulah yang aku cari..
“Itu sepenggal lirik lagu ciptaan aku yang tadi aku bilang, Net.”, ucap
Affan tanpa kutanya. Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Gak jelek lah untuk ukuran orang yang belom pernah pacaran.”, ujarku
setengah mengejek.
Affan balas mencibirku. “Seenggaknya aku pernah ngerasain yang namanya
jatuh cinta..”
**
“Netta..”, panggil Affan lirih saat mobilnya telah terparkir di halaman
rumahku. Aku yang bersiap masuk ke dalam rumah dengan menenteng satu kantong
martabak, langsung menoleh.
“Hm?”
“Aku mau jujur satu hal sama kamu.”
“Tentang apa?”
“Tentang cewek yang udah bikin aku jatuh cinta itu...”
“Dia kenapa?”
“Dia itu.. kamu.”
Aku tersentak kaget luar biasa sampai bingung harus merespon apa. Spontan
aku membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan apa-apa lagi
pada Affandy. Aku merasa grogi luar dalam. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba
masuk ke dalam diri ini.
Dan saat itu aku menyadari, itu adalah untuk pertama kalinya aku merasa
jantungku berdebar dengan hebatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar