Minggu, 10 Agustus 2014

When I Look At You

Aku melirik arlojiku untuk kesekian kali sambil menguap. Bunda yang duduk di sebelahku kontan menyuruhku untuk menutup mulutku.
“Kamu nih, jadi anak gadis kok sembrono. Kalo nguap ditutup dong mulutnya, nggak malu apa diliat banyak orang?”, Bunda mencubit pipiku pelan.
“Mereka mana sih Bun? Katanya lagi on the way?”, tanyaku sambil celingukan mengamati sekeliling restoran.
“Bentar lagi juga datang, sabar dong.”
Aku menghela napas pendek. Agak nyesal juga kenapa tadi aku menuruti Bunda yang minta ditemani belanja bulanan kalau ujung-ujungnya malah begini. Siapa sangka kalau akhirnya aku bakal dipertemukan sama orang yang katanya mau dijodohkan dengan aku itu. Bundaku ini ada-ada aja deh, hari gini masih pake acara perjodohan? Dikira masih jaman Siti Nurbaya kali.
“Anaknya Tante Rani sekarang jadi ganteng lho, Net. Kemaren Bunda ketemu dia sampai pangling ngeliatnya, beda banget sama waktu dia masih kecil.”, ucap Bunda dengan mata berbinar. “Ganteng banget deh, kayak si Fahri.”
“Fahri? Fahri siapa Bun?”
“Fahri itu yang di film apa itu lho yang punya istri bercadar, yang poligami.”
“Oohh, maksud Bunda film Ayat-Ayat Cinta?”,
“Naahhh, itu dia.”
Aku tercenung. Maksudnya ganteng kayak Fedi Nuril? Iya sih Fedi Nuril emang aktor yang tampan menurut aku, tapi masa iya si Affandy-cowok yang katanya mau dijodohkan denganku itu gantengnya kayak dia? Aku memang udah lama tidak bertemu Affandy, tapi aku masih sedikit ingat tampang dia waktu masih kecil. Mukanya polos banget, nyaris keliatan cupu dengan kacamatanya. Kalau memang dia akhirnya berubah jadi ganteng setelah dewasa, agak terdengar aneh juga. Kayak di ftv aja, pas kecilnya cupu eh pas udah dewasa jadi ganteng dan berwibawa. Nah, nyatanya kami kan nggak lagi main ftv.
“Arnetta..”, Bunda membuyarkan lamunanku.
“Bunda tau kamu mungkin nggak nyaman dengan cara Bunda yang main jodoh-jodohin begini. Tapi Bunda begini kan karena Bunda peduli sama Netta, Bunda mau kasih yang terbaik buat Netta, Bunda nggak mau kalau anak Bunda sampai salah pilih orang. Lagian kan si Affandy ini teman masa kecil kamu, dia bukan orang baru di kehidupan kamu, Net.”. ucap Bunda sambil memandangku lembut.
“Iya Netta tau kok. Netta Cuma ngerasa aneh aja Bun, kenapa tiba-tiba sikap Bunda jadi ngotot ngejodohin Netta begini? Emangnya Bunda ngga percaya kalau Netta bisa nyari laki-laki yang terbaik buat Netta sendiri?”, tanyaku.
Bukannya menjawab, Bunda malah balik bertanya, “Umur kamu berapa sekarang coba?”,
“Hampir 21 tahun.”
“Coba kamu ingat, selama 21 tahun kamu hidup pernah nggak kamu ngenalin cowok kamu ke Bunda sama Ayah?”
Aku menggeleng kaku. Iya juga ya, aku kok baru sadar kalau aku memang tidak pernah mengenalkan siapa teman dekat atau pacarku. Bukan karena malu atau apa, tapi karena aku memang  tidak pernah punya pacar.
“Net, Bunda sama Ayah tuh selama ini memperhatikan kamu, lho. Waktu kamu masih SMP sih Bunda ngga terlalu peduli soal siapa teman dekat kamu. Tapi begitu masuk SMA, Bunda ngeliat banyak teman-teman Bunda yang suka cerita tentang anak mereka, tentang gaya pacaran anak mereka, bahkan ada yang berani mengenalkan secara langsung ke orangtuanya ‘ini lho, pacar aku’.  Jujur aja Bunda iri mendengarnya, soalnya Bunda nggak punya apapun yang bisa Bunda ceritakan sama mereka. Karena selama ini Bunda sama Ayah nggak pernah sekalipun ngelihat kamu jalan sama cowok atau Cuma sekedar diapelin kerumah. Cowok yang Bunda sama Ayah kenal selama ini paling teman-teman kuliah kamu, dan itupun kayaknya nggak ada yang terlihat dekat sama kamu.”
Aku diam, bingung mau merespon apa. Semua yang dikatakan Bunda barusan terdengar begitu menusuk dan membuat aku tersadar kalau aku memang tidak pernah memperhatikan masalah asmara. Disaat teman-temanku yang lain asyik pacaran, aku malah sibuk dengan target kuliah yang harus aku selesaikan dalam waktu 3 tahun. Disaat teman-temanku ramai memperkenalkan pacar mereka dan umbar kemesraan, aku malah larut dengan pekerjaanku. Aku seperti orang yang tidak punya waktu untuk memikirkan soal ‘siapa pacarku?’, ‘kenapa aku belum punya pacar sampai detik ini?’. Aku benar-benar tidak pernah terpikir soal itu sama sekali sampai di umurku yang menginjak 21 tahun ini. Sama sekali.
Aku menghela napas panjang. “Netta memang nggak pernah kepikiran soal itu Bun.”
“Itulah makanya Bunda merencanakan ini buat kamu, Net. Bunda pengen sekali ngelihat kamu dekat dengan cowok, Bunda pengin sekali ngeliat wajah kamu berseri-seri karena jatuh cinta. Yang selama ini Bunda lihat malah wajahmu yang serius dan sibuk dengan laptopmu itu.”, ucap Bunda setengah mengeluh. “Net, Bunda sebenarnya nggak memaksakan ini ke kamu, tapi Bunda pengin kamu mencobanya. Toh tidak ada salahnya juga kan selama anaknya baik ke kamu, sopan dan bertanggung jawab?”
Aku mengangguk pelan.
“Lagipula..”, lanjut Bunda. “Kakakmu dulu diumur segini malah sudah beberapa kali pacaran, banyak cowok yang dia kenalkan ke Bunda dan Ayah sampai akhirnya dia ketemu sama kakak iparmu dan menikah di umur 23 tahun. Bunda juga ingin lihat kamu begitu Net, jangan sampai kamu melupakan kodrat kamu sebagai perempuan; menjadi seorang istri. Apalagi umurmu ini sebenarnya sudah pantas lho buat menikah.”
Aku memandang Bunda sambil tersenyum tipis, seketika ada perasaan malu yang mengganggu. Ya, harusnya aku tidak terlalu larut dengan dunia kerjaku, harusnya aku meluangkan waktu sejenak untuk mencari siapa tambatan hatiku.
Aku melirik Bunda yang tengah meneguk tehnya. Seketika otakku mengingat selama ini kedua orangtuaku tidak pernah memaksakan aku untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mereka tidak pernah menuntutku untuk menjadi sukses dengan cara mereka. Mereka membebaskanku dalam memilih apapun yang menjadi tujuanku untuk sukses dengan caraku sendiri. Ayah dan Bunda hanya mengarahkan dan membimbingku tanpa sekalipun ikut campur atau memaksaku untuk mengikuti kehendak mereka.
Tapi kali ini Bunda bersikap lain. Beliau sedikit menuntutku agar mau mengikuti keinginannya yang mau menjodohkanku dengan anak temannya. Dan kurasa sekarang sudah saatnya aku menuruti apa kata Bundaku. Toh ini bukan sesuatu yang salah, lagipula kan untuk kebaikanku juga.
“Nah itu dia Tante Rani sama Affandy.”, pekik Bunda pelan sambil memegang tanganku lantas berdiri menyambut kedua orang itu. Aku terkesiap.
Kontan saja Bunda dan Tante Rani saling menyapa dan bercipika-cipiki layaknya sahabat karib. Sedangkan mataku mengamati sosok Affandy yang tampil rapi dengan kemeja batiknya. Aku agak bingung melihatnya, ini orang dari tempat kondangan kali ya?
“Waahh Arnetta sekarang sudah dewasa dan tambah cantik ya. Dulu waktu kecil imut-imut banget, masih suka Tante cubitin pipinya. Eh sekarang udah berubah jadi gadis cantik. Nggak nyangka, lho.” Puji Tante Rani, aku Cuma bisa tersipu sambil mengucapkan terimakasih.
“Nah ini dia Affandy-nya. Gimana Net, gantengnya kayak Fahri kan?”, Bunda melirikku dengan sedikit menggoda. Affandy terlihat tersipu malu.
Aku mengamati wajahnya lagi. Dan setelah diamati memang agak-agak mirip Fedi Nuril sih, apalagi waktu dia tersenyum. Ternyata penilaian Bunda benar juga, aku kira Bunda Cuma mengada-ada.
“Hei, lama nggak ketemu. Terakhir kali waktu kita baru mau masuk SD itu kan?”, sapaku sambil mengulurkan tangan. Affandy balas uluran tanganku.
“Iya, udah lama juga ya.”, ucapnya sambil mengulum senyum.

Dan disitulah garis start masa pendekatanku dengan Affandy dimulai.

***
Aku menemui Affandy yang menungguku di ruang tamu. Dengan tampang sedikit kaget dia memandangku dari kepala sampai ujung kaki. Aku yang merasa diamati spontan melihat penampilanku sendiri, apanya yang salah dari ini? Kami kan Cuma mau jalan ke mall, sah-sah aja kan Cuma pakai kaus dan celana jeans?
“Kamu rapi bener? Mau kondangan kemana?”, tanyaku dengan nada meledek sesaat melihat penampilannya yang rapi dengan kemeja khas dia. Batik.
Agak lucu juga sih melihat cowok yang terbilang masih muda suka pakai kemeja batik kemana-mana. Ya meskipun dipadukan dengan celana jeans dan sepatu kets, tapi tetep aja terlihat lucu. Jarang-jarang kan nemuin cowok macam begini. Penampilannya sekilas seperti ingin ‘menuakan diri sendiri.’ Dan mungkin orang yang ngga kenal bakal mikir dia ini berumuran 30 tahunan, padahal sih baru 22 tahun.
“Kamu sendiri kenapa Cuma pake kaos begitu?”, Affandy balik bertanya.
“Cuma ke mall doang kan? Cuek aja kali.”, jawabku seadanya.
“Tapi keliatan jadi nggak serasi gitu deh, Net. Kamu ganti baju dulu sana!”, ujar Bunda dari ruang tengah.
“Ah, Bundaaa.”
“Ngga perlu, Tante. Nggak apa-apa kok. Mungkin itu udah jadi style­-nya Netta.”, Affandy membelaku. “Affan suka kok.”
“Ya udah ah yuk berangkat.”, ucapku seraya berpamitan dengan orangtuaku.
“Jangan lupa ya pulangnya beliin Bunda sama Ayah martabak telor! Telornya telor bebek lho!”, seru Bunda masih dari ruang tengah.
Aku mendengus. “Yaelaahhhh Bundaaaa.”
Affandy terlihat tertawa pelan.

Mobil Affandy pun melaju pelan menuju mall yang akan kami datangi.
Malam ini adalah pertemuanku dengannya yang ke tujuh selama satu bulan ini. Lucunya, setiap pertemuan kami selalu dan selalu saja dirancang oleh Bundaku atau Tante Rani, Maminya Affan. Kami tidak pernah sekalipun merencakan sendiri akan bertemu atau tidak. Segalanya seperti sudah diatur oleh Ibu kami sendiri. Dan lucunya lagi, tidak pernah sekalipun juga ada konflik seperti yang sempat aku bayangkan sebelumnya. Seperti penolakan tegas dari Affandy yang enggan dipertemukan denganku, atau keluhan yang dia lontarkan karena rencana perjodohan ini. Sama sekali tidak ada hal semacam itu. Padahal aku sering menonton di ftv yang bercerita tentang perjodohan, pasti ada salah satu atau keduanya sama-sama menolak dijodohkan lantaran berbagai alasan ini dan itu. Yang sering terjadi di ftv biasanya kedua tokoh enggan dijodohkan karena telah mempunyai pasangan masing-masing, dan mereka kompak berusaha menggagalkan perjodohan itu. Tapi yang terjadi di kenyataannya adalah, tidak seperti yang dicritakan dalam ftv. Affandy terlihat tidak pernah memberontak dengan keadaan ini, dia seperti oke oke saja menjalaninya. Seperti tidak pernah ada beban atau konflik batin dalam dirinya.  Yang selama ini aku lihat dan perhatikan dia nyaman-nyaman saja dengan apa yang ada. Dia selalu terlihat tenang, santai, dan.. selalu menuruti apa kata Maminya.
Melihatnya nurut begitu, akupun seolah ikut menurut juga. Aneh, akupun tidak merasa harus memberontak atau menolak bila Bunda atau Tante Rani merancang pertemuanku dengan Affandy. Selama kami bertemupun tidak pernah muncul kalimat seperti ‘ngapain sih Mami gue pake niat ngejodohin gue sama lo?!’ atau ‘dih males banget gue dijodohin gini, kayak nggak bisa nyari sendiri aja!’. Sama sekali tidak pernah ada kalimat semacam itu.
Semuanya berjalan sangat mulus, namun sebenernya menimbulkan rasa penasaran bagi aku. Ya, sebenarnya memang seperti inikah sifatnya Affandy? Atau diam-diam dia sebenarnya tidak nyaman dengan keadaan ini?
“Kamu mikirin apa, Net?”, celetuk Affandy membuyarkan lamunanku. Sepertinya dari tadi dia memperhatikanku yang tidak mengajaknya ngobrol selama diperjalanan.
Aku menoleh padanya yang lebih tinggi dariku. “Ah, engga. Gak ada apa-apa.”
Kami pun berjalan memasuki mall.
“Langsung ke lantai tiga aja ya.”, ajaknya sambil menekan tombol lift.
“Ngapain?”, tanyaku bingung.
“Lho, Bundamu nggak bilang kalau kita disuruhh pesan cincin?”
Aku tercengang. “Cincin?”
“Iya,”, Affandy mengangguk. “Tadi Mami aku bilang kita suruh pesan cincin tunangan di tempat langganan keluarga kami.”, ucap Affandy enteng bersamaan terbukanya pintu lift.
Aku masih terbengong karena kaget. Hah? Cincin tunangan?! Secepat ini?!
“Netta, ngga mau masuk lift?”
Aku tersentak kemudian buru-buru masuk ke dalam lift yang membawa kami ke lantai 3.

Aku memandangi etalase yang di dalamnya berjajar rapi berbagai jenis model cincin emas putih yang berkilauan dengan tampang dungu. Yang benar saja nih, baru sebulan masa sudah disuruh tunangan? Mendadak kepalaku gatal tanpa sebab.
“Makanya kalau mandi tuh keramas pakai shampo.”, celetuk Affandy dengan nada meledek. Aku mendengus.
“Tiap hari juga keramas kali. Enak aja.”
Affandy tersenyum simpul. “Gak usah bingung gitu, lah. Mami kan Cuma nyuruh kita pesan cincin, bukan nyuruh kita tunangan besok.”
“Tapi tetap aja menurut aku ini terlalu cepat.”
“Bukannya lebih cepat lebih baik ya?”
“Kamu nggak masalah dengan keadaan ini?”
“Kenapa harus ngerasa ada masalah?”
“Jadi kamu nyaman?”
“Nyaman.”
Are you sure?”
“No doubt.”
Aku menghela napas pendek. “Terserah lah. Ngeliat kamu nurut banget begitu aku jadi bingung mau gimana lagi selain ikut nurut juga.”
“Maunya kamu aku ngga nurut, gitu?”
“Bukan gitu juga.”
“Kamu mau kita gagalin rencana perjodohan ini?”
Aku tersentak. Darimana datangnya kalimat itu? apa barusan jatuh dari langit?
“Me-menurutmu?”
Belum sempat Affandy menjawab, seorang laki-laki setengah baya menghampiri kami sambil menunjukkan sample cincin yang rencananya akan kami pesan.
“Ini model yang sempat Mami kamu pesan buat nikahan kakakmu, Fan. Tapi nggak jadi karena kakakmu milih model lain. Tapi keren kan?”
Affandy mengangguk setuju sambil memandangi cincin itu. “Boleh juga yang ini.”
“Mau kasih ukiran nama nggak?”, tawar orang itu sambil menoleh padaku.
“Kalo saya sih terserah Affan aja, Om.”, jawabku seadanya.
“Wah, Fan. Calonmu ini nggak kalah cantik ya sama kakak iparmu itu? Kamu pintar juga ya pilih cewek?”
Affandy tertawa renyah. “Ah, Om Wisnu bisa aja.”
Aku yang mendengarnya bingung mau merespon apa. Tiba-tiba canggung.
**
“Makan dulu yuk!”, ajaknya setelah kami keluar dari toko cincin itu dan berjalan menuju basement.
“Boleh. Dimana?”
“Suka bebek nggak?”
“Lumayan.”
“Makan bebek bakar aja yuk, ada langgananku tuh nggak jauh dari sini.”
Aku mengangguk setuju seraya membuka pintu mobil Affandy.
“Kamu suka cincinnya?”, tanya Affandy tiba-tiba ditengah perjalanan.
“Ha? Oh, suka kok. Suka.”.
“Dari tadi mikirin apa sih? Kok suntuk gitu mukanya?”. Rupanya Affandy mengamatiku.
“Aku kepikiran soal temanku.”, jawabku.
“Temanmu kenapa?”
“Dia baru-baru ini putus sama pacarnya. Alasannya karena orangtuanya ngga setuju sama hubungan mereka, beda agama sih.”
“Terus?”
“Temenku ini na manya Gisha dan pacarnya Gathan. Nah orangtuanya si Gathan ini disisi lain malah udah jodohin dia sama cewek lain yang satu agama sama dia. Jadi mau nggak mau mereka putus deh, padahal mereka masih saling sayang banget.”
“Ya itu kan resikonya pacaran sama orang yang beda agama, wajar kan kalo orangtua ngga setuju.”
“Iya sih, Cuma yang bikin aku kepikiran sih bukan ke Gisha atau Gathan-nya. Tapi aku mikirin posisi si cewek yang mau dijodohin sama Gathan itu.”
Affandy terlihat bingung.
“Ya, aku bayangin kalau akulah cewek yang ada di posisi itu. Bakalan gimana ya rasanya jadi orang ketiga yang muncul tiba-tiba dengan alasan perjodohan?”
“Maksud kamu sebenarnya gimana sih, Net? Aku kok nggak paham ya?”
Aku mendengus. “Aku tuh lagi ngomongin kita Fan, Kita!”
“Kita?”
“Iya, kita. Yang mau aku tanyain itu sebenernya, kamu dijodohin begini dalam keadaan jomblo atau masih punya pacar sih?”. Affandy tersentak, tapi dia berusaha tenang sambil terus mengendalikan setir.
“Ohh, aku ngerti sekarang. Jadi kamu takut gitu kalau jadi orang ketiga?”
Aku mengangguk pelan. “Selama ini sikap kamu nunjukin kalau kamu oke oke aja dengan keadaan ini, kamu kayak nggak pernah ada masalah dengan perjodohan ini. Tapi itu bikin aku jadi penasaran Fan, kamu sebenarnya memang nggak apa-apa atau sebenarnya ada yang kamu sembunyikan?”. Pertanyaan yang selama ini aku pendam entah kenapa keluar dengan sendirinya.
Affandy tidak menjawab, dia malah mengajakku turun dari mobil karena telah sampai di tempat tujuan. Sebuah tempat makan kaki lima yang menyajikan makanan serba ‘panggang’. Mulai dari ayam, bebek, sampai makanan laut.
Kami berdua pun duduk di satu-satunya meja kosong di tempat itu. Beruntung juga masih dapat meja ditengah keramaian begini.
“Aku banyak dengar tentang kamu dari Mami kamu lho.”, celetukku sesaat Affandy memesan pesanan kami pada pelayan.
“Oh ya? Mami aku cerita apa aja?”
“Banyak. Tapi yang sering diceritakan ya tentang prestasimu dari kecil sampai segede ini. Tentang kamu yang dari dulu nggak pernah menentang apa kata orangtua. Dan disitu aku baru tau kalau kamu anaknya penurut banget ya sama orangtua. Jarang loh aku nemuin cowok yang segitu penurutnya, seolah percaya sama kutukan Malin Kundang aja.”
Affan tersenyum simpul. “Loh? Justru bagus kan kalau jadi anak penurut?”
“Penurut sih penurut, tapi yang selama ini aku dengar kamu tuh kesannya kayak dikendalikan gitu ya sama Mami kamu. Seolah kamu punya antena dan Mami kamu pegang remote controlnya. Kamu kayak nggak punya daya buat ngelawan atau ngebantah semua tuntutan orangtua kamu, terutama Mamimu itu.”
“Kenapa kamu bisa mikir begitu?”
“Coba aku tanya, kamu kuliah Ekonomi atas kemauan siapa? Mamimu atau kemauan kamu sendiri? Kamu kerja di Perusahaan keluargamu atas kemauan siapa?”
“Mami sih.”
“Tuh, salah satunya. Kamu kayak ngga bisa nentuin sendiri mau jadi apa kamu nantinya. Segalanya serba tuntutan dari orang tua. Emang nggak bisa ya kalau kamu ngelawan sedikit aja atau paling nggak bilang kek ke Mami kamu tentang apa yang selama ini kamu inginkan, tentang apa yang paling ingin kamu kejar.”, aku memandang Affandy lekat-lekat. “Itu satu, kedua tentang perjodohan ini. Lihat kamu, kayak nuruuuut aja apa kata Mamimu. Disuruh ini, disuruh itu, nurut aja kayak nggak ada beban. Kamu emang begitu sifatnya apa gimana sih? Oke, aku emang agak kurang setuju sama perjodohan ini dari awal, tapi berhubung ini tuntutan pertama dari Bunda aku, makanya aku nurut. Tapi aku penasaran sama sikap kamu ini, Fan. Apa ngga ada rasa tertekan atau semacamnya gitu?”
“Gini, Netta..”, Affandy menarik napas panjang, “Jujur aja kuliah ekonomi, kerja di perusahaan keluarga, semua itu bukan kemauan dari diri aku sendiri. Semua itu aku lakukan semata-mata ingin membuat orangtuaku bangga, terutama Mamiku. Sejak aku kecil aku memang selalu dituntut buat jadi anak yang pandai, yang berprestasi, yang rajin juga mandiri. Tapi bukan berarti Mami mengekang aku dari segala hal yang aku suka.  Contohnya saat aku bilang ingin mempelajari  musik, beliau mengijinkan aku les musik meskipun beliau nggak mendukung penuh. Mami bilang, musik itu bukan untuk ditekuni, tapi cukup untuk dijadikan hobi pengusir kebosanan. Aku rasa Mami benar, dan aku nggak pernah merasa ada masalah sama itu, aku berpikir kalau apa yang orangtua bilang ‘baik’ pastilah yang terbaik untuk anaknya. Untuk masalah ‘mau jadi apa aku nanti’ versi caraku ya adalah dengan membuat orangtuaku bangga dengan apa yang aku lakukan buat mereka. Melihat mereka tersenyum bangga sama aku itu udah sangat membahagiakan, aku nggak perlu lakukan apa-apa lagi.”
“Emangnya kamu nggak merasa tertuntut dan tertekan atas segala kemauan dari Mami kamu, apa? Emangnya kamu nggak punya impian sendiri yang pengin kamu kejar dengan cara kamu sendiri? Emang segala tuntutan orangtua kamu selama ini memang yang jadi impian kamu? Aku rasa engga, lah. Tiap orang punya mimpi dan keinginan masing-masing, dan mereka bakal mewujudkannya dengan cara mereka sendiri. Mereka punya cara tersendiri untuk bisa sukses dengan cara mereka, bisa membuat orangtua bangga dengan cara mereka. Dengan menjadi diri mereka, bukan karena tuntutan siapapun.”
“Jadi kamu mau bilang kalau aku bukanlah aku yang sebenarnya? Dimata kamu aku ini Cuma bonekanya Mami? Duh, Arnetta, kayaknya kamu terlalu banyak nonton sinetron.”
“Fan, maaf ya bukannya mengejek cara didik Mami kamu atau gimana, aku Cuma mau membandingkan sedikit dengan Bunda aku. Bunda aku dari dulu sama sekali nggak pernah menuntut apapun dari aku. Apapun. Baik itu soal prestasi disekolah, masuk fakultas apa saat kuliah sampai mau kerja apa nanti selepas kuliah. Bunda dan Ayahku nggak pernah memintaku untuk menjadi ini dan itu. mereka membebaskan aku untuk pilih jalan aku sendiri, membiarkan aku menjadi diri aku sendiri. Dan dengan caraku ini yang tanpa turun tangan mereka buktinya aku bisa membuat Bunda dan Ayah bangga. Mereka bangga walau anaknya Cuma kerja bikin artikel di website doang. Aku ngga perlu kuliah ekonomi atau kedokteran dulu biar bisa membuat mereka bangga. Aku ngga perlu nyalon jadi caleg atau daftar PNS biar bisa menjunjung tinggi martabat keluarga. Dengan hanya melihat aku mandiri saja, aku bisa membuat mereka bangga.”
“Ya kamu benar, ngga perlu jadi orang penting buat bikin orangtua bangga, cukup untuk jadi diri kamu sendiri. Tapi yang harus kamu pahami, Net, aku nggak pernah sekalipun merasa tertekan atau semacamnya. Karena impian aku adalah melihat orangtuaku bangga dan tidak merasa sia-sia membesarkan anaknya sampai sekarang. Menuruti apa kemauan orang tua yang selama itu baik dan aku mampu buat menjalaninya, pasti aku jalanin. Kita ini sebagai anak ngga akan bisa membalas segala kasih sayang orangtua yang mereka kasih buat kita, Net. Cuma dengan menurut dan membuat mereka bangga lah yang bisa kita lakukan. Dan sebenarnya aku pun suka dengan ekonomi kok, aku suka kerja di bidang bisnis, terdengar menantang, elegan dan keren. Iya nggak sih?”
“Jadi, yang aku lihat sekarang ini memanglah sifat kamu yang sebenarnya?”
“Iyalah, buat apa juga aku tutup-tutupi? Inilah aku apa adanya, Netta. Mau nggak mau ya kamu harus nerima.”
“Termasuk style nyeleneh kamu itu?”, kataku sambil menunjuk kemeja batiknya.
“Oh, ini? Ini namanya cinta Indonesia, Net. Kita kan orang Indonesia, ya wajib cinta sama budaya sendiri lah. Bukan nyeleneh dong namanya.”
“Lalu gimana sama masalah perjodohan ini?”
“Kamu ada masalah?”
Aku mendadak diam.
“Net, kalau kamu nggak setuju dengan perjodohan ini ya bilang terus terang aja. Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman kita bicarakan baik-baik, kalau perlu kita bicarakan langsung sama orangtua kita.”
“Tadi kamu belum jawab pertanyaanku lho, Fan.”
“Yang mana? Yang aku udah punya pacar atau belum?”, aku mengangguk cepat.
Affan tersenyum malu, “Aku sama sekali belum pernah punya pacar, Net. Jangankan pacaran, dekat sama cewekpun aku nggak pernah.”, aku Affan.
Aku kontan melongo kaget. Kok nasib kita sama?
“Jadi kamu nggak perlu khawatir, kamu ngga bakalan jadi orang ketiga kok. Mau jadi orang ketiga gimana, orang keduanya aja ngga ada.”, Affan tertawa renyah.
Aku ikut tertawa kecil. “Gitu ya? Syukur deh.”
“Kamu sendiri emang nggak punya pacar?”
Aku menggeleng kaku. “Enggak. Selama ini aku juga belum pernah pacaran.”
Gantian Affandy yang melongo kaget.
“Sama sekali belum pernah pacaran? Kalau jatuh cinta atau Cuma sekedar suka sama orang, gimana?”
“Emmm, kayaknya nggak pernah juga deh. Emang kamu pernah jatuh cinta sama seseorang?”
Affan mengangguk pelan. “Pernah sih, satu kali. Itupun udah lama banget.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Eh kita tuh aneh ya, udah lumayan sering ketemu tapi baru kali ini kita ngobrolin soal ini.”, ujarku yang diiyakan Affan.
“Jujur aja kemarin-kemarin aku terlalu grogi dan bingung mau ngobrolin apa sama kamu. Tapi untungnya kamu selalu punya topik obrolan, jadi aku ngerasa aman.”
“Aku sih sebenarnya udah mendam banyak pertanyaan ke kamu, dan baru sempat terjawab sekarang.”
Affan tersenyum simpul. Wajah ‘Fahri’-nya terlihat sangat jelas. Eh, loh? Kok aku jadi ketularan Bunda gini sih?
“Jadi berarti kamu nggak ada masalah sama perjodohan ini?”, tanyaku lagi. Affan mengangguk pelan.
“Tau nggak sih, sebenarnya ini bukan semuanya karena tuntutan Mami aku, lho.”
“Oh ya?”
“Ya, aku ngejalanin ini ya karena ada kemauan dari diri aku sendiri. Aku bahkan sangat setuju dengan adanya perjodohan ini.”
Aku diam, bingung mau merespon apa. Mendadak suasana menjadi canggung lagi.
Pelayan menyelamatkanku dari suasana canggung, dia datang membawakan pesanan kami. Bebek panggang dengan aroma khas yang menggugah selera.
Glek! Aku menelan ludahku.
“Awas itu ilernya netes.”, goda Affan sambil melemparkan tissue ke arahku. Aku melengos menahan malu.

***
“Kita beli martabak dulu ya buat Bunda.”, kataku sambil membuka pintu mobil Affan. Cowok itu mengangguk.
“Gimana, enak kan bebek bakarnya?”, tanya Affan saat mobil mulai melaju pelan.
“Bukan enak lagi, Fan. Tapi luar biasa dahsyat kelezatannya!”, jawabku dengan ekspresi heboh. Affan tertawa pelan.
“Hiperbola, ah!”
Aku terkekeh. Dan saat itu mataku menangkap sesuatu di depan kemudi mobil Affan. Seperti sebuah CD atau semacamnya.
“Itu apaan, Fan? Aku kok baru merhatiin ada ini ya?”, tanyaku sambil mengambil benda yang beruba CD itu.
“Ohh, itu isinya lagu-lagu kompilasi gitu. Yang nyanyiin teman-temanku, tapi lagunya hasil ciptaanku sendiri sih.”
“Waah, kamu bisa nyiptain lagu?”, tanyaku sedikit takjub. “Eh tapi bukannya kamu bilang kalau kamu nggak mendalami musik ya, katanya Cuma buat hobi?”
“Ya memang, itu lagu-lagu juga buat iseng-isengan doang. Ada sih teman yang minta dibikinin lagu buat nembak cewek yang dia suka.”
“Oh yaa? Ah, kamu kan ngga pernah deket sama cewek, masa bisa bikin lagu bertema cinta?”, cibirku.
“Yeehh, jangan meremehkan bakat seseorang dong. Di dengerin dulu, baru boleh komentar.”
“Emangnya isi berapa lagu nih?”
“Ada 15 lagu kayaknya.”
“Sadaaappp! Lagu paling bagus yang mana nih?”
“Track nomor 3, itu lagu aku sendiri yang nyanyiin lho. Judulnya ‘Ketika aku melihatmu.’”.
“Dih, narsis beneeerr!” Affan terkekeh.
“Ya udah ini CD aku bawa pulang ya, biar aku dengerin di rumah.”
Aku membolak balik tempat CD itu, dan ada secarik kertas berisi sebait tulisan.

Ketika aku melihatmu, pandanganku terpaku mulutku membisu
Tak bisa sedetikpun melewatkan saat memandangmu
Ketika aku melihatmu,  kuyakin engkaulah duniaku
Tak mampu lagi berpaling lagi, dirimulah yang aku cari..

“Itu sepenggal lirik lagu ciptaan aku yang tadi aku bilang, Net.”, ucap Affan tanpa kutanya. Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Gak jelek lah untuk ukuran orang yang belom pernah pacaran.”, ujarku setengah mengejek.
Affan balas mencibirku. “Seenggaknya aku pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta..”
**
“Netta..”, panggil Affan lirih saat mobilnya telah terparkir di halaman rumahku. Aku yang bersiap masuk ke dalam rumah dengan menenteng satu kantong martabak, langsung menoleh.
“Hm?”
“Aku mau jujur satu hal sama kamu.”
“Tentang apa?”
“Tentang cewek yang udah bikin aku jatuh cinta itu...”
“Dia kenapa?”
“Dia itu.. kamu.”
Aku tersentak kaget luar biasa sampai bingung harus merespon apa. Spontan aku membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Affandy. Aku merasa grogi luar dalam. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba masuk ke dalam diri ini.

Dan saat itu aku menyadari, itu adalah untuk pertama kalinya aku merasa jantungku berdebar dengan hebatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar