“Kamu tau rasanya seperti apa?”, tanya dia padaku. Aku
memandangnya sambil menggeleng kaku.
“Kayak anak kecil yang kehilangan balonnya.”, jawabnya
singkat. Ada sedikit nada sumbang yang terdengar. Nada suara yang tidak seperti
biasanya; ceria.
“Maksudnya?”, tanyaku.
“Lihat deh anak kecil itu,” tunjuknya ke arah
segerombolan anak kecil yang saling memperebutkan balon hingga membuat tukang
balon itu kerepotan.
“Seperti mereka yang sangat menginginkan balon itu. Apapun
akan mereka lakukan demi milikin balon itu. Setelah berhasil memilikinya,
sebisa mungkin mereka akan menjaga balon agar tidak terlepas dari tangan,
mereka pasti akan menggenggamnya dengan erat. Mereka akan menjaga balon itu
agar tidak direbut anak lain, menjaganya agar tidak terkena benda tajam yang
dapat membuatnya meledak. Tapi terkadang ada diantara mereka yang ceroboh, dan
secara tidak sengaja melepaskan balon itu dari genggamannya. Dan ketika melihat
balon itu terlepas hingga tidak dapat diraihnya lagi, mereka akan menangis
sedih sambil melihat balon itu terbang. Yang kemudian menghilang.”
Tatapannya makin sendu. Namun tak ada tetesan sama sekali
yang mengalir dari matanya. Hanya raut wajah yang memendam banyak rasa kecewa.
Dia menghela napas berat.
“Sebenarnya bukan perpisahan ini yang aku sesali. Aku
menyesali diriku sendiri yang tidak bisa menjaganya dengan cara yang baik. Aku
malah terkesan mengikatnya dalam aturan-aturan yang aku buat sendiri tanpa
memikirkan apa dia setuju dengan ini, atau apa dia suka dengan caraku yang
seperti ini. Harusnya dari awal aku tau dan sadar, kalau justru yang seperti
itulah yang membuatnya terlepas. Harusnya aku menggenggamnya dengan sedikit
longgar.”
Aku meringis mendengarnya. “Seperti katamu, kamu keliatan
kayak anak kecil yang menangisi balonnya yang terbang.”
Dia mengangguk. “Ya. Kalau aku ada diantara gerombolan
anak kecil itu, mungkin akulah anak yang menangis paling kencang.”
“Kamu cowok yang kuat.”, kataku sambil menatapnya tajam.
“Jangan buat hal ini jadi kendala yang melemahkan kamu.”
“Anak kecil yang kuat pun, kalau melihat sesuatu yang dia
genggam dan jaga sepenuh hati, juga akan mendadak jadi lemah. Ini perasaan yang
lumrah.”, timpalnya enteng. Matanya masih terlihat sendu itu memandangku dengan
sedikit canggung.
“Lalu menurutmu aku harus apa? Aku tak bisa mengejar
balonn yang sudah terbang menghilang.”
“Kamu bisa mencari balon yang baru.”, jawabku.
“Dan membiarkannya lepas lagi? Aku rasa tidak.”
“Kamu takut dengan kata ‘kehilangan’?”
“Sedikit.”
“Kenapa harus takut?”
“Karena
melihat sesuatu yang mendadak terlepas, lalu hilang. Itu menyakitkan.”
Dia
menyandarkan kepalanya dibahuku. Tangannya terangkat ke langit, jarinya
digerakan melingkar. Seperti anak kecil yg seolah sedang melukis awan. Terlihat
lucu.
Sejenak kupikir.
Mungkin selanjutnya, aku bisa menjadi balonnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar