Selasa, 26 Agustus 2014

Terbang.. Lalu Hilang



“Kamu tau rasanya seperti apa?”, tanya dia padaku. Aku memandangnya sambil menggeleng kaku.
“Kayak anak kecil yang kehilangan balonnya.”, jawabnya singkat. Ada sedikit nada sumbang yang terdengar. Nada suara yang tidak seperti biasanya; ceria.
“Maksudnya?”, tanyaku.
“Lihat deh anak kecil itu,” tunjuknya ke arah segerombolan anak kecil yang saling memperebutkan balon hingga membuat tukang balon itu kerepotan.
“Seperti mereka yang sangat menginginkan balon itu. Apapun akan mereka lakukan demi milikin balon itu. Setelah berhasil memilikinya, sebisa mungkin mereka akan menjaga balon agar tidak terlepas dari tangan, mereka pasti akan menggenggamnya dengan erat. Mereka akan menjaga balon itu agar tidak direbut anak lain, menjaganya agar tidak terkena benda tajam yang dapat membuatnya meledak. Tapi terkadang ada diantara mereka yang ceroboh, dan secara tidak sengaja melepaskan balon itu dari genggamannya. Dan ketika melihat balon itu terlepas hingga tidak dapat diraihnya lagi, mereka akan menangis sedih sambil melihat balon itu terbang. Yang kemudian menghilang.”
Tatapannya makin sendu. Namun tak ada tetesan sama sekali yang mengalir dari matanya. Hanya raut wajah yang memendam banyak rasa kecewa. Dia menghela napas berat.
“Sebenarnya bukan perpisahan ini yang aku sesali. Aku menyesali diriku sendiri yang tidak bisa menjaganya dengan cara yang baik. Aku malah terkesan mengikatnya dalam aturan-aturan yang aku buat sendiri tanpa memikirkan apa dia setuju dengan ini, atau apa dia suka dengan caraku yang seperti ini. Harusnya dari awal aku tau dan sadar, kalau justru yang seperti itulah yang membuatnya terlepas. Harusnya aku menggenggamnya dengan sedikit longgar.”
Aku meringis mendengarnya. “Seperti katamu, kamu keliatan kayak anak kecil yang menangisi balonnya yang terbang.”
Dia mengangguk. “Ya. Kalau aku ada diantara gerombolan anak kecil itu, mungkin akulah anak yang menangis paling kencang.”
“Kamu cowok yang kuat.”, kataku sambil menatapnya tajam. “Jangan buat hal ini jadi kendala yang melemahkan kamu.”
“Anak kecil yang kuat pun, kalau melihat sesuatu yang dia genggam dan jaga sepenuh hati, juga akan mendadak jadi lemah. Ini perasaan yang lumrah.”, timpalnya enteng. Matanya masih terlihat sendu itu memandangku dengan sedikit canggung.
“Lalu menurutmu aku harus apa? Aku tak bisa mengejar balonn yang sudah terbang menghilang.”
“Kamu bisa mencari balon yang baru.”, jawabku.
“Dan membiarkannya lepas lagi? Aku rasa tidak.”
“Kamu takut dengan kata ‘kehilangan’?”
“Sedikit.”
“Kenapa harus takut?”
“Karena melihat sesuatu yang mendadak terlepas, lalu hilang. Itu menyakitkan.”
Dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Tangannya terangkat ke langit, jarinya digerakan melingkar. Seperti anak kecil yg seolah sedang melukis awan. Terlihat lucu.
Sejenak kupikir. Mungkin selanjutnya, aku bisa menjadi balonnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar