Rabu, 13 Agustus 2014

Dia, Kamu Dan Aku 2



Entah darimana datangnya energi besar itu, yang aku tau dan sadari sekarang aku sudah berada di depan kelas Yudhi dan baru saja menamparnya keras.
Yudhi memegang pipi kanannya, memandangku dengan bingung bercampur sakit.
“Kamu kenapa sih? Kenapa tiba-tiba aku ditampar begini? Salah aku apa?!”
Aku mendengus. “Masih nggak ngerti juga? Pengecut kamu!”, tukasku keras di depan wajahnya.
“A-apa? Maksud kamu tu...”
“Kamu putusin Vivian Cuma gara-gara dia nggak mau ajak jalan berdua doang sama kamu? Cuma karena itu? Kekanakan tau nggak!”, aku mendorong bahunya.
“Eh, bentar-bentar. Kamu ngelabrak aku dan nampar aku Cuma karena aku putus sama Vivian? Sekarang aku tanya, yang kekanakan sebenarnya siapa, hah?”, volume suara Yudhi mulai meninggi. “Kamu pikir baik-baik ya Weny, jangan mentang-mentang kamu sahabatnya Vivian terus seenaknya aja main tampar gara-gara aku putusin dia. Lagian alasan aku mutusin dia juga kuat kok.”
“Alasan kuat apaan, itu tuh alasan nggak mutu tau nggak!”
“Terserah lah, Wen. Aku nggak mau ribut sama kamu karena hal gini doang.”
Yudhi masuk ke kelasnya tanpa menolehku lagi.  Sedangkan aku masih ditempat dengan menahan emosi yang masih menggebu.
Sebenarnya aku sendiri juga bingung kenapa aku begitu kesal pada Yudhi. Entah kesalku ini karena dia memutuskan hubungannya dengan Vivian sembarangan atau karena ada hal lain. Karena jujur saja beberapa hari belakangan aku merasa ada sesuatu yang datang ketika aku sedang bersama Yudhi. Ada yang merasuk diam-diam, yang membuatku sering bertanya sendiri, apakah aku memiliki rasa yang besar untuknya? Entahlah.

Vivian menghampiriku seraya merangkul pundakku. “Kamu tuh nggak perlu repot-repot ngelakuin itu buat aku Wen. Lagian aku ikhlas kok dengan keputusan dia. Ini semua juga kesalahan aku, bukan dia. Aku masih dalam keadaan belum siap buat pacaran, harusnya dari awal aku nggak nerima dia.”
Aku menghela napas pendek. “Ya udahlah Vi, jangan dipikirin lagi. Tadi aku Cuma kesal aja sama dia, kenapa dia seenaknya aja gitu mutusin kamu. Padahal yang nembak kan juga dia.”
“Kamu nenangin diri dulu gih, baru nanti kamu nyusulin aku sama yang lain di kantin. Oke?”, ucap Vivian sambil beranjak dari bangku lalu meninggalkan kelas.
Aku memandang Vivian yang berjalan menjauh. Heran. Kenapa hatinya begitu lembut begitu? Apa dia sama sekali tidak merasa sakit hati karena putus?
Kalau aku ada dalam posisi dia, aku pasti sudah bergalau-ria berminggu-minggu.
*
Seminggu setelah kejadian itu, tepat di acara Pensi..
Aku dan kelima temanku duduk berderetan menyaksikan berbagai penampilan yang disuguhkan panitia Pensi taun ini. Yang pertama kali tampil adalah band dari anak-anak kelas 2, disusul pertunjukan tari dari anak-anak ekskul tari. Oiya, aku dan teman-temanku adalah murid kelas 3 yang sebentar lagi mengikuti ujian. Untuk pensi taun ini, anak kelas 3 tidak terlalu banyak berpatisipasi dalam pertunjukan, hanya sebagian yang ikut jadi panitia. Termasuk Yudhi yang juga jadi anggota OSIS.
Tunggu. Kenapa dikepalaku yang terlintas hanya nama Yudhi? Kenapa dengan kepalaku ini?
“Bentar lagi Yudhi cs bakalan tampil tuh.”, Alin membuyarkan lamunanku.
“Masa? Kata siapa?”, tanyaku bingung.
“Lah, kamu emang nggak dengar tadi MC-nya ngomong apaan?”, Tia menunjuk kearah panggung. Aku Cuma menggeleng pelan.
“Kamu lagi mikirin apa sih, Wen? Kok kayaknya ngelamun mulu dari tadi?”, Disha si cewek kacamata sepertinya memperhatikanku dari tadi.
“Ah enggak, nggak mikirin apa-apa.”
“Kamu kok aneh gitu sih gelagatnya. Mencurigakan tau nggak.”, Alin memandangku dengan tatapan penuh selidik. Aku menoyor hidungnya yang mancung.
“Apaan sih Lin, ah!”
Dan di detik itu mataku menangkap sosok Yudhi berada diatas panggung sambil membenarkan posisi stand mic yang akan digunakannya. Dia tampan sekali. Eh, loh?!
“Aku kok baru tau ya kalo Yudhi bisa main gitar juga.”, celetuk Vivian.
“Emang dia nggak pernah cerita ke kamu, Vi?”, tanya Disha. Vivian menggeleng.
“Ngga pernah, aku Cuma tau kalau dia suka nyanyi. Gitu doang.”
Secara spontan mataku langsung menatap Yudhi berdiri di belakang stand mic lengkap dengan gitarnya. Aku langsung dibuat terkesima begitu dia mulai memetik senar gitarnya dan melantunkan sebuah lagu, yang ternyata...
“LAGU KESUKAAN AKU!”, seruku spontan. Otomatis membuat orang disekelilingku menolehku dengan tatapan terkejut juga heran.
“Weny apaan sih? Lebay deh.”, tangan Alin reflek menepuk pipiku pelan.
“Iya, nggak biasanya kamu gitu deh. Sik heboh deh.”, timpal Tia. Aku Cuma menahan maluku sendiri.
Kenapa aku bisa bertingkah aneh begini?!

“Weny!”, panggil seseorang yang kukenali suaranya. Yudhi.
“Ada apa?”, tanyaku dengan wajah jutek.
“Ya ampun, masih marah juga sama aku? Udahan napa marahnya, Wen.”
Aku mendengus. “Siapa juga yang marah? Biasa aja kali.”
“Yaelah pake bohong segala. Itu muka kamu nggak bisa mbohongin aku kali.” Yudhi tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih.
Aku terhenyak. Ada apa dengan senyuman itu? Mendadak ada perasaan ‘seerrr’ yang membuat degupan jantungku tak menentu.
“Besok nonton pertandingan basket aku mau nggak? Ajak temen-temen kamu sekalian nggak apa-apa.”
“Kayaknya nggak bisa deh, aku ada les matematika. Maaf ya.”, kataku sambil melengos meninggalkan dia, namun tangannya mencegahku.
“Tapi kalau Sabtu malam besok aku ajak keluar, bisa dong?”
Aku tercengang. Yudhi, yang notabene mantan kekasih teman baikku, mengajakku keluar? Berdua? Apa yang harus aku lakukan? Di satu sisi aku ingin menerima tawarannya, tapi disisi lain aku masih memikirkan Vivian. Aku merasa tidak enak sendiri.
“Duh, liat besok aja deh.”
“Kok gitu sih jawabannya?”, Yudhi terlihat tidak puas.
“Nanti aku kabarin deh, aku SMS.”, ujarku sambil berlari kecil meninggalkannya yang termangu. Menahan perasaan yang entah darimana datangnya, mengganggu sistem otak dan hatiku ini.
*
Aku merasa tengah menjadi tokoh utama dalam sebuah drama romantis gagal tayang. Ya, seperti dalam sebuah sinetron masa kini, semenjak aku menerima tawaran pergi Yudhi, dia makin intensif menghubungiku. Dan tak Cuma mengirimi pesan, mengajak pergi, dia mulai menunjukkan perhatiannya kepadaku. Aku merasa diperlakukan spesial oleh Yudhi, meski nyatanya kami tak ada ikatan apapun selain pertemanan.
Ada yang aneh, jika kami Cuma berteman, tapi mengapa aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari itu?

Aku berjalan tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit, perasaanku makin tak tenang. Setengah jam yang lalu aku dikabari bahwa Yudhi baru saja melakukan operasi usus buntu. Aku langsung panik dan buru-buru pergi ke rumah sakit ditemani Disha.
“Duh, semoga dia nggak apa-apa.”, kataku berharap sambil terus berjalan cepat menuju ruang inap Yudhi.
“Ini Cuma operasi usus buntu, Wen. Panik amat sih?”, timpal Disha.
Namun begitu sampai di depan ruang 212, kamar tempat Yudhi dirawat, mataku menangkap sosok Vivian ada disana. Vivian duduk di samping tempat tidur Yudhi sambil memegang tangannya.
Aku melihat pemandangan itu dengan mata nanar. Dan aku sadar betul bahwa sebentar lagi air mata di pelupuk mataku akan tumpah.
Disha mengamati ekspresi wajahku. “Kamu sayang sama Yudhi?”
Aku terhenyak. Kenapa mendadak Disha bisa bertanya seperti itu? Terdengar begitu menusuk.
“Aku udah merhatiin kamu lama lho, Wen. Kamu tuh kayak punya sesuatu yang lebih buat Yudhi, tapi mungkin kamu ngga mau mengakuinya karena dia mantan Vivian. Iya kan?”
Disha benar-benar bisa menebak isi hatiku. Aku bingung hendak merespon apa.
“Wen, jawab aku. Kamu sayang sama Yudhi?”, tanya Disha lagi.
Tepat saat itu air mataku menetes. “Aku nggak tau, Di. Tapi aku ngerasa sakit ngelihat mereka. Sakit banget.”, aku mengusap pipi kananku. “Tolong kamu rahasiakan ini sama teman-teman yang lain ya, terutama Vivian.”
Disha Cuma mengangguk pelan seraya merangkulku, dan memutuskan untuk tidak jadi membesuk Yudhi. Dia tidak ingin aku menumpahkan banyak air mata lagi.
*
Tak lama sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk tidak mau lagi peduli soal Yudhi. Dia hanya membuat perasaanku tidak menentu. Kedekatanku dengan Yudhi memang sudah cukup lama, namun diantara kami tidak ada kepastian hubungan yang jelas. Apakah kami Cuma teman, atau lebih dari itu? Ah aku pusing. Aku pun memutuskan untuk konsen pada sekolah saja karena tak lama lagi kami akan ujian.
Namun di sela-sela konsentrasi belajarku, tiba-tiba Alin mengenalkan aku dengan seseorang yang ternyata masih saudaranya. Namanya Ervan.
Dimataku setelah beberapa hari kenal dengannya, Ervan adalah sosok yang cukup religius. Dia rajin sholat dan mengaji. Bahkan sering menceritakanku tentang kisah para nabi. Dan aku merasa teduh ketika berbincang dengannya. Ervan seperti oase di padang gersang, menyejukkan hatiku yang kering karena cinta yang tak jelas kemana arahnya.
Saat bersama Ervan aku jadi lupa pada Yudhi. Aku tak pernah lagi memikirkannya, sekalipun dia masih saja menghubungiku lewat pesan singkat, dan beberapa kali mencoba menemuiku di kelas. Sikap Yudhi makin membuatku tak menentu, apakah aku harus terus menghindarinya begini? Atau aku bicara baik-baik dengannya untuk menyelesaikan apa yang belum selesai?
Karena kurasa kini ada masalah baru. Bukan lagi tentang aku, Yudhi dan Vivian. Tapi aku, Yudhi dan Ervan.

Aku terkejut begitu melihat ada Yudhi sudah berdiri di depan gerbang rumahku. Mau apa dia?
“Kenapa kamu begini sama aku sih? Kenapa kamu menghindari aku?”, tanya Yudhi dengan nada lantang, tanpa basa-basi.
Aku tersentak kaget. “Kenapa kamu nanyanya gitu sih? Pelan pelan bisa kali.”
“Kenapa sih kamu nggak pernah mau balas semua SMS aku? dan kenapa kalau aku sapa di sekolah kamu selalu aja cuek?”
Aku mendengus. “Kamu ada hak apa marah sama aku karena semua itu?”
“Aku jelas punya hak lah, Wen.”
“Kamu pikir kamu itu siapa? Selama ini kita nggak ada hubungan apa-apa kan? Status kita apa emangnya, ha? Pacar? Bukan kan? Terus kenapa kamu mesti marah begitu sama aku karena aku nyuekin kamu?”
“Karena aku sayang sama kamu, Wen!”
Aku terhenyak. Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik. Aku tidak tau harus merespon apa.
Suara klakson motor membuyarkan lamunanku. Seseorang turun dari motor itu dan menghampiriku, lalu memandang Yudhi dengan tatapan ‘siapa dia?’ padaku.
“Kamu mendingan pulang aja deh, Yud.”, kataku akhirnya setelah sekian menit Cuma bergeming.
“Kenapa? Masalah kita belum selesai.”
“Aku anggap udah selesai, Yud. Karena aku udah punya pacar sekarang.”, kataku lantang sambil melingkarkan tanganku di lengan Ervan, si pengendara motor.
Yudhi tersentak kaget. Entah apa yang dia pikirkan dan rasakan saat ini. Aku hanya merasa lega pada diriku sendiri, karena setidaknya aku sudah mengungkapkan apa yang menjadi uneg-unegku terhadap Yudhi selama ini. aku menggertaknya dengan pertanyaan ‘status kita apa?’ yang akhirnya membuatku tau, ternyata selama ini Yudhi juga memendam perasaan yang sama.
Namun apa boleh dikata, semuanya sudah terlambat. Karena pada akhirnya aku memilih Ervan yang jelas-jelas menyayangiku dan tidak menggantungkan hubungan kami dengan ketidakjelasan seperti Yudhi. Aku benar-benar lega.
*
Beberapa bulan kemudian..
Sebuah pesan singkat muncul di layar handphone aku. Nomor asing. Siapa ya?

‘Apa kabar, Wen? Aku harap kamu baik-baik aja. Aku kangen sama kamu. Yudhi.’

Itu adalah pesan yang dikirimkan Yudhi padaku kesebelasan kalinya selama satu bulan ini. Anehnya dia sering menggunakan nomor asing untuk menghubungiku. Dan selama dia mengirimiku pesan, tak pernah sekalipun aku menggubrisnya.
Aku tau, dia hanya akan datang lalu pergi. Seperti saat bulan lalu, ketika akhirnya aku berpisah dengan Ervan lantaran jarak yang memaksa kami untuk menyudahi hubungan. Dan disaat itu Yudhi datang menemuiku lagi, mencoba mendekatiku lagi. Namun kemudian yang terjadi, dia pergi menghilang tanpa kabar.
Dan sekarang ini dia kembali datang, dan tentunya dia hanya akan singgah sebentar kemudian menghilang lagi. Aku tidak mengerti seperti apa pikirannya sebenarnya, tapi aku pun tak mau merepotkan perasaanku sendiri hanya karena sikapnya. Aku hanya perlu mengabaikannya dan tidak lagi memikirkannya.
Hanya itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar