Entah darimana
datangnya energi besar itu, yang aku tau dan sadari sekarang aku sudah berada
di depan kelas Yudhi dan baru saja menamparnya keras.
Yudhi memegang
pipi kanannya, memandangku dengan bingung bercampur sakit.
“Kamu kenapa
sih? Kenapa tiba-tiba aku ditampar begini? Salah aku apa?!”
Aku mendengus.
“Masih nggak ngerti juga? Pengecut kamu!”, tukasku keras di depan wajahnya.
“A-apa? Maksud
kamu tu...”
“Kamu
putusin Vivian Cuma gara-gara dia nggak mau ajak jalan berdua doang sama kamu? Cuma
karena itu? Kekanakan tau nggak!”, aku mendorong bahunya.
“Eh,
bentar-bentar. Kamu ngelabrak aku dan nampar aku Cuma karena aku putus sama
Vivian? Sekarang aku tanya, yang kekanakan sebenarnya siapa, hah?”, volume
suara Yudhi mulai meninggi. “Kamu pikir baik-baik ya Weny, jangan
mentang-mentang kamu sahabatnya Vivian terus seenaknya aja main tampar
gara-gara aku putusin dia. Lagian alasan aku mutusin dia juga kuat kok.”
“Alasan kuat
apaan, itu tuh alasan nggak mutu tau nggak!”
“Terserah
lah, Wen. Aku nggak mau ribut sama kamu karena hal gini doang.”
Yudhi masuk
ke kelasnya tanpa menolehku lagi. Sedangkan
aku masih ditempat dengan menahan emosi yang masih menggebu.
Sebenarnya aku
sendiri juga bingung kenapa aku begitu kesal pada Yudhi. Entah kesalku ini
karena dia memutuskan hubungannya dengan Vivian sembarangan atau karena ada hal
lain. Karena jujur saja beberapa hari belakangan aku merasa ada sesuatu yang
datang ketika aku sedang bersama Yudhi. Ada yang merasuk diam-diam, yang
membuatku sering bertanya sendiri, apakah aku memiliki rasa yang besar
untuknya? Entahlah.
Vivian menghampiriku
seraya merangkul pundakku. “Kamu tuh nggak perlu repot-repot ngelakuin itu buat
aku Wen. Lagian aku ikhlas kok dengan keputusan dia. Ini semua juga kesalahan
aku, bukan dia. Aku masih dalam keadaan belum siap buat pacaran, harusnya dari
awal aku nggak nerima dia.”
Aku menghela
napas pendek. “Ya udahlah Vi, jangan dipikirin lagi. Tadi aku Cuma kesal aja
sama dia, kenapa dia seenaknya aja gitu mutusin kamu. Padahal yang nembak kan
juga dia.”
“Kamu nenangin
diri dulu gih, baru nanti kamu nyusulin aku sama yang lain di kantin. Oke?”,
ucap Vivian sambil beranjak dari bangku lalu meninggalkan kelas.
Aku memandang
Vivian yang berjalan menjauh. Heran. Kenapa hatinya begitu lembut begitu? Apa dia
sama sekali tidak merasa sakit hati karena putus?
Kalau aku
ada dalam posisi dia, aku pasti sudah bergalau-ria berminggu-minggu.
*
Seminggu setelah
kejadian itu, tepat di acara Pensi..
Aku dan
kelima temanku duduk berderetan menyaksikan berbagai penampilan yang disuguhkan
panitia Pensi taun ini. Yang pertama kali tampil adalah band dari anak-anak
kelas 2, disusul pertunjukan tari dari anak-anak ekskul tari. Oiya, aku dan
teman-temanku adalah murid kelas 3 yang sebentar lagi mengikuti ujian. Untuk pensi
taun ini, anak kelas 3 tidak terlalu banyak berpatisipasi dalam pertunjukan,
hanya sebagian yang ikut jadi panitia. Termasuk Yudhi yang juga jadi anggota
OSIS.
Tunggu. Kenapa
dikepalaku yang terlintas hanya nama Yudhi? Kenapa dengan kepalaku ini?
“Bentar lagi
Yudhi cs bakalan tampil tuh.”, Alin membuyarkan lamunanku.
“Masa? Kata siapa?”,
tanyaku bingung.
“Lah, kamu
emang nggak dengar tadi MC-nya ngomong apaan?”, Tia menunjuk kearah panggung. Aku
Cuma menggeleng pelan.
“Kamu lagi
mikirin apa sih, Wen? Kok kayaknya ngelamun mulu dari tadi?”, Disha si cewek
kacamata sepertinya memperhatikanku dari tadi.
“Ah enggak,
nggak mikirin apa-apa.”
“Kamu kok
aneh gitu sih gelagatnya. Mencurigakan tau nggak.”, Alin memandangku dengan
tatapan penuh selidik. Aku menoyor hidungnya yang mancung.
“Apaan sih
Lin, ah!”
Dan di detik
itu mataku menangkap sosok Yudhi berada diatas panggung sambil membenarkan
posisi stand mic yang akan digunakannya. Dia tampan sekali. Eh, loh?!
“Aku kok
baru tau ya kalo Yudhi bisa main gitar juga.”, celetuk Vivian.
“Emang dia
nggak pernah cerita ke kamu, Vi?”, tanya Disha. Vivian menggeleng.
“Ngga pernah,
aku Cuma tau kalau dia suka nyanyi. Gitu doang.”
Secara spontan
mataku langsung menatap Yudhi berdiri di belakang stand mic lengkap dengan
gitarnya. Aku langsung dibuat terkesima begitu dia mulai memetik senar gitarnya
dan melantunkan sebuah lagu, yang ternyata...
“LAGU
KESUKAAN AKU!”, seruku spontan. Otomatis membuat orang disekelilingku menolehku
dengan tatapan terkejut juga heran.
“Weny apaan
sih? Lebay deh.”, tangan Alin reflek menepuk pipiku pelan.
“Iya, nggak
biasanya kamu gitu deh. Sik heboh deh.”, timpal Tia. Aku Cuma menahan maluku
sendiri.
Kenapa aku
bisa bertingkah aneh begini?!
“Weny!”,
panggil seseorang yang kukenali suaranya. Yudhi.
“Ada apa?”,
tanyaku dengan wajah jutek.
“Ya ampun,
masih marah juga sama aku? Udahan napa marahnya, Wen.”
Aku mendengus.
“Siapa juga yang marah? Biasa aja kali.”
“Yaelah pake
bohong segala. Itu muka kamu nggak bisa mbohongin aku kali.” Yudhi tersenyum,
memamerkan deretan giginya yang putih.
Aku terhenyak.
Ada apa dengan senyuman itu? Mendadak ada perasaan ‘seerrr’ yang membuat
degupan jantungku tak menentu.
“Besok nonton
pertandingan basket aku mau nggak? Ajak temen-temen kamu sekalian nggak
apa-apa.”
“Kayaknya nggak
bisa deh, aku ada les matematika. Maaf ya.”, kataku sambil melengos
meninggalkan dia, namun tangannya mencegahku.
“Tapi kalau
Sabtu malam besok aku ajak keluar, bisa dong?”
Aku tercengang.
Yudhi, yang notabene mantan kekasih teman baikku, mengajakku keluar? Berdua? Apa
yang harus aku lakukan? Di satu sisi aku ingin menerima tawarannya, tapi disisi
lain aku masih memikirkan Vivian. Aku merasa tidak enak sendiri.
“Duh, liat
besok aja deh.”
“Kok gitu
sih jawabannya?”, Yudhi terlihat tidak puas.
“Nanti aku
kabarin deh, aku SMS.”, ujarku sambil berlari kecil meninggalkannya yang
termangu. Menahan perasaan yang entah darimana datangnya, mengganggu sistem
otak dan hatiku ini.
*
Aku merasa
tengah menjadi tokoh utama dalam sebuah drama romantis gagal tayang. Ya,
seperti dalam sebuah sinetron masa kini, semenjak aku menerima tawaran pergi
Yudhi, dia makin intensif menghubungiku. Dan tak Cuma mengirimi pesan, mengajak
pergi, dia mulai menunjukkan perhatiannya kepadaku. Aku merasa diperlakukan
spesial oleh Yudhi, meski nyatanya kami tak ada ikatan apapun selain
pertemanan.
Ada yang
aneh, jika kami Cuma berteman, tapi mengapa aku selalu merasa ada sesuatu yang
lebih dari itu?
Aku berjalan
tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit, perasaanku makin tak tenang. Setengah
jam yang lalu aku dikabari bahwa Yudhi baru saja melakukan operasi usus buntu. Aku
langsung panik dan buru-buru pergi ke rumah sakit ditemani Disha.
“Duh, semoga
dia nggak apa-apa.”, kataku berharap sambil terus berjalan cepat menuju ruang
inap Yudhi.
“Ini Cuma operasi
usus buntu, Wen. Panik amat sih?”, timpal Disha.
Namun begitu
sampai di depan ruang 212, kamar tempat Yudhi dirawat, mataku menangkap sosok
Vivian ada disana. Vivian duduk di samping tempat tidur Yudhi sambil memegang
tangannya.
Aku melihat
pemandangan itu dengan mata nanar. Dan aku sadar betul bahwa sebentar lagi air
mata di pelupuk mataku akan tumpah.
Disha mengamati
ekspresi wajahku. “Kamu sayang sama Yudhi?”
Aku terhenyak.
Kenapa mendadak Disha bisa bertanya seperti itu? Terdengar begitu menusuk.
“Aku udah
merhatiin kamu lama lho, Wen. Kamu tuh kayak punya sesuatu yang lebih buat
Yudhi, tapi mungkin kamu ngga mau mengakuinya karena dia mantan Vivian. Iya kan?”
Disha benar-benar
bisa menebak isi hatiku. Aku bingung hendak merespon apa.
“Wen, jawab
aku. Kamu sayang sama Yudhi?”, tanya Disha lagi.
Tepat saat
itu air mataku menetes. “Aku nggak tau, Di. Tapi aku ngerasa sakit ngelihat
mereka. Sakit banget.”, aku mengusap pipi kananku. “Tolong kamu rahasiakan ini
sama teman-teman yang lain ya, terutama Vivian.”
Disha Cuma mengangguk
pelan seraya merangkulku, dan memutuskan untuk tidak jadi membesuk Yudhi. Dia tidak
ingin aku menumpahkan banyak air mata lagi.
*
Tak lama
sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk tidak mau lagi peduli soal Yudhi. Dia hanya
membuat perasaanku tidak menentu. Kedekatanku dengan Yudhi memang sudah cukup
lama, namun diantara kami tidak ada kepastian hubungan yang jelas. Apakah kami Cuma
teman, atau lebih dari itu? Ah aku pusing. Aku pun memutuskan untuk konsen pada
sekolah saja karena tak lama lagi kami akan ujian.
Namun di
sela-sela konsentrasi belajarku, tiba-tiba Alin mengenalkan aku dengan seseorang
yang ternyata masih saudaranya. Namanya Ervan.
Dimataku
setelah beberapa hari kenal dengannya, Ervan adalah sosok yang cukup religius. Dia
rajin sholat dan mengaji. Bahkan sering menceritakanku tentang kisah para nabi.
Dan aku merasa teduh ketika berbincang dengannya. Ervan seperti oase di padang
gersang, menyejukkan hatiku yang kering karena cinta yang tak jelas kemana
arahnya.
Saat bersama
Ervan aku jadi lupa pada Yudhi. Aku tak pernah lagi memikirkannya, sekalipun
dia masih saja menghubungiku lewat pesan singkat, dan beberapa kali mencoba
menemuiku di kelas. Sikap Yudhi makin membuatku tak menentu, apakah aku harus
terus menghindarinya begini? Atau aku bicara baik-baik dengannya untuk
menyelesaikan apa yang belum selesai?
Karena kurasa
kini ada masalah baru. Bukan lagi tentang aku, Yudhi dan Vivian. Tapi aku, Yudhi
dan Ervan.
Aku terkejut
begitu melihat ada Yudhi sudah berdiri di depan gerbang rumahku. Mau apa dia?
“Kenapa kamu
begini sama aku sih? Kenapa kamu menghindari aku?”, tanya Yudhi dengan nada
lantang, tanpa basa-basi.
Aku tersentak
kaget. “Kenapa kamu nanyanya gitu sih? Pelan pelan bisa kali.”
“Kenapa sih
kamu nggak pernah mau balas semua SMS aku? dan kenapa kalau aku sapa di sekolah
kamu selalu aja cuek?”
Aku mendengus.
“Kamu ada hak apa marah sama aku karena semua itu?”
“Aku jelas
punya hak lah, Wen.”
“Kamu pikir
kamu itu siapa? Selama ini kita nggak ada hubungan apa-apa kan? Status kita apa
emangnya, ha? Pacar? Bukan kan? Terus kenapa kamu mesti marah begitu sama aku
karena aku nyuekin kamu?”
“Karena aku
sayang sama kamu, Wen!”
Aku terhenyak.
Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik. Aku tidak tau harus merespon
apa.
Suara klakson
motor membuyarkan lamunanku. Seseorang turun dari motor itu dan menghampiriku,
lalu memandang Yudhi dengan tatapan ‘siapa dia?’ padaku.
“Kamu
mendingan pulang aja deh, Yud.”, kataku akhirnya setelah sekian menit Cuma bergeming.
“Kenapa? Masalah
kita belum selesai.”
“Aku anggap
udah selesai, Yud. Karena aku udah punya pacar sekarang.”, kataku lantang
sambil melingkarkan tanganku di lengan Ervan, si pengendara motor.
Yudhi tersentak
kaget. Entah apa yang dia pikirkan dan rasakan saat ini. Aku hanya merasa lega
pada diriku sendiri, karena setidaknya aku sudah mengungkapkan apa yang menjadi
uneg-unegku terhadap Yudhi selama ini. aku menggertaknya dengan pertanyaan ‘status
kita apa?’ yang akhirnya membuatku tau, ternyata selama ini Yudhi juga memendam
perasaan yang sama.
Namun apa
boleh dikata, semuanya sudah terlambat. Karena pada akhirnya aku memilih Ervan
yang jelas-jelas menyayangiku dan tidak menggantungkan hubungan kami dengan
ketidakjelasan seperti Yudhi. Aku benar-benar lega.
*
Beberapa bulan
kemudian..
Sebuah pesan
singkat muncul di layar handphone aku. Nomor asing. Siapa ya?
‘Apa kabar,
Wen? Aku harap kamu baik-baik aja. Aku kangen sama kamu. Yudhi.’
Itu adalah
pesan yang dikirimkan Yudhi padaku kesebelasan kalinya selama satu bulan ini. Anehnya
dia sering menggunakan nomor asing untuk menghubungiku. Dan selama dia
mengirimiku pesan, tak pernah sekalipun aku menggubrisnya.
Aku tau, dia
hanya akan datang lalu pergi. Seperti saat bulan lalu, ketika akhirnya aku
berpisah dengan Ervan lantaran jarak yang memaksa kami untuk menyudahi hubungan.
Dan disaat itu Yudhi datang menemuiku lagi, mencoba mendekatiku lagi. Namun
kemudian yang terjadi, dia pergi menghilang tanpa kabar.
Dan sekarang
ini dia kembali datang, dan tentunya dia hanya akan singgah sebentar kemudian
menghilang lagi. Aku tidak mengerti seperti apa pikirannya sebenarnya, tapi aku
pun tak mau merepotkan perasaanku sendiri hanya karena sikapnya. Aku hanya
perlu mengabaikannya dan tidak lagi memikirkannya.
Hanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar