Kamis, 07 Agustus 2014

60 Minutes 2



Aku berjalan dengan langkah gontai menuju parkiran motor. Kenapa hari ini rasanya lemas sekali? Kepalaku terasa sangat berat, seperti ditimpa beban puluhan ton. Apa memang ada gajah betina nangkring diatas kepalaku sekarang? Ah. Aku mengacau.
Handphoneku berdering sesaat aku baru saja menstater motor maticku. Dewa. Oh iya, ini weekend, malam Minggu. Kurasa dia mau mengajakku jalan malam ini setelah minggu lalu dia sibuk dengan kegiatan klub basketnya dan bandnya yang acakadut itu. aku mengangkatnya dengan ekspresi sumringah.
“Halo Wa.”
“Dir, lo udah pulang ngampus?”, tanyanya diseberang sana.
“Udah, ini baru aja nyetater motor. Kenapa?”, aku balik bertanya sambil membatin dalam hati, ‘mungkin dia abis ini mau nanya kita enaknya jalan kemana ya malam ini?’
“Lo bawa motor? Oh ya baguslah, soalnya gue mau bilang kalau gue ngga bisa jemput lo. gue ada kelas tambahan.”, katanya. Aku sedikit kecele. Kenapa malah itu yang terucap dari mulutnya?
“Ya udah. Ngga sampe sore kan Wa?”
“Engga sih.”
“Berarti kita bisa jalan dong nanti?”, tanyaku penuh harap.
“Ah, ya ampun. Dir, maaf kayaknya ngga bisa deh. Gue ada meeting sama anak-anak Veloz, bulan depan kami ikutan festival band soalnya. Ya sekalian latian juga sih.”
Mendengar itu kepalaku mendadak pusing. Lagi-lagi dia lebih mementingkan urusannya dengan teman-temannya daripada sama pacarnya sendiri.
“Wa, emang ngga bisa ya ngurusin band lo itu lain kali aja? Kenapa sih lo ngga mau mentingin cewe lo dulu?”
“Lho, ngga mentingin lo gimana sih Dir? Gue selalu mentingin lo kok. Lagian kan gue udah bilang sama lo dari kemaren-kemaren kalo gue bakalan sibuk minggu ini. Banyak tugas, kelas tambahan, ada kegiatan klub...”
“Lo bilang begitu pas minggu lalu Wa! Gue udah maklumin lo yang minggu lalu sibuk ngurusin ini itu sampe ngga ngajakin gue jalan kemana-mana. Masa iya minggu ini lo nyuekin gue lagi?” nadaku mulai meninggi. “Atau lo emang sengaja nyari alasan biar ngga jalan sama gue? Iya?!”
“Maksudnya apaan sih? Alasan buat apa? Gue bilang apa adanya Dir, ini ngga mengada-ada. Udah beberapa kali gue mangkir dari latian karena lo, sekarang gantian lo yang ngertiin dong Dir. Jangan egois lah.”
“Segitu pentingnyakah band lo sampe lo ngeduain cewek lo ini? Lagian kan festivalnya bulan depan Wa, masih lama.”
“Tapi kami perlu mempersiapkan segala kperluanya dari sekarang Dir. Lo tolong ngertiin dong. Gue ngga ada waktu lain selain hari ini. Nyocokin waktu sama temen yang lain tuh ngga gampang, mereka juga banyak yg sibuk. Jadi maaf deh, hari ini kita ngga bisa jalan. Tapi kan kita bisa jalan di hari Minggunya.” Aku menghela napas pendek.
“Hari Minggunya? Yakin bisa? Lo inget ngga sih Wa kapan kita terakhir jalan di hari Minggu? Itu saat pertamakali kita ketemu doang. Bukannya lo yang bilang sendiri kalo Minggu itu hari buat malas-malasan dirumah?”, tanyaku sebal.
“Lo kenapa sih pake acara marah begitu? Maklumin gue dikit kali Dir.”
“Gue maklumin lo berkali-kali Wa, tapi lo yang ngga pernah mau balik ngertiin gue.”
“Keadaannya lagi ngga memungkinkan banget Yang!”
“Kenapa lo ngga bisa bikin jadi memungkinkan?”
“Kenapa lo jadi egois gini sih?”
“Gue ngga egois. gue Cuma cewek biasa yang minta diperhatiin sama pacarnya yang terlalu sibuk sama temen-temennya dan bla bla bla! Yang egois itu lo, Wa!”
Kepalaku makin terasa berat saja. Ah, kenapa disaat begini malah bertengkar dengannya?
“Dir, gue abis ini ada kelas tambahan, setelah itu ngerjain makalah dan malamnya latian band. Gue ngga mau ngabisin energi gue Cuma buat berantem di telpon begini sama lo ya. Maaf. Nanti gue hubungin lagi, dosen gue udah masuk.” Dewa mengakhiri pembicaraan secara sepihak.
Aku memandang handphoneku dengan kesal. Rasanya ingin kubanting sampai pecah. Tapi setelah kupikir lagi, sayang juga. Belinya mahal.

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya memaki-maki Dewa dalam hati. Marah ini sulit sekali untuk dikendalikan. Padahal sudah aku coba untuk tenang agar sakit kepala ini tidak makin menjadi. Tetap saja aku merasa marah dan kesal. Dasar Dewa!
Aku mengerem motorku di persimpangan Jln. Ahmad Dahlan, melirik plang kafe yang berada tepat di sebelah kiri jalan. Kafe yang jadi saksi bisu pertemuanku dengan Dewa.
Aku tercenung. Mendadak teringat dengan 60 menit yang dijanjikan Dewa untuk bisa membuatku jatuh cinta padanya.
Ya, dia memang berhasil membuatku jatuh cinta selama 60 menit itu. Padahal dia hanya mengajakku makan di warung tenda yang berjejer di sekitar pantai. Berbincang berbagai hal, mulai dari masalah kuliah, sampai yang rumit seperti politik. Apapun kami bincangkan. Dan cinta itu mengalir begitu saja, tidak mengerti bagaimana awalnya, yang aku tau hanya ada rasa nyaman. Seperti terkena hipnotis, aku menerima kecupan kecil di pipi dari Dewa. Kami sama-sama tersipu malu saat itu. Dengan gaya sedikit canggung Dewa menggenggam tanganku seraya berkata ‘Gue rasa strategi 60 menit gue berhasil. Berhasilnya bukan sama lo doang, tapi gue juga. Karena gue ngerasa jatuh cinta sekarang’.
Aku hanya tersenyum. Memandangnya dengan wajah memerah menahan haru juga malu. Ya, aku malu pada diriku sendiri yang pernah dengn angkuhnya menyepelekan masalah hati. Aku selalu merasa aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan luka karna putus cinta. Aku selalu berpikir kalau move on itu tidak semudah pengucapannya, karena teori selalu terlihat mudah daripada prakteknya.
Tapi pada akhirnya hatiku menyerah pada 60 menit yang dijanjikan Dewa untuk membuatku jatuh cinta padanya. dan setelah itu aku hanya perlu menjaga hubungan ini dengan sebaik mungkin. Begitupun dengan Dewa.
Tapi pada kenyatannya? Ya, praktek memang tak semudah teori. Meski cinta telah terucap, hati sudah terikat, aku dan Dewa masih perlu beradaptasi dan memahami pribadi masing-masing. dan ternyata itu tak mudah. Sudah satu bulan berjalan hubungan kami, sudah banyak hal yang terjadi, dan sudah banyak pertengkaran yang kami alami.
Dan hari ini, seperti sudah menjadi kegiatan rutin. Pertengkaran itu terjadi lagi.

Sesampainya dirumah, badanku makin terasa tidak beres. Lemas sekali, kepala juga makin sakit. Aku meminta pembantuku membuatkan teh hangat sebelum dia pulang kerumahnya. Aku memang memperkerjakan pembantu hanya setengah hari saja saat weekend. Alasannya, agar mereka bisa lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga mereka.
Teh hangat sudah diantar, pembantu rumah tanggaku pun pergi. Aku sendiri dirumah dengan keadaan kepala sakit dan lemas luar biasa. Bahkan kurasa kalau badanku mulai panas sekarang. Ditambah dengan adanya masalahku dengan Dewa yang makin membuat badan ini tak karuan. Oh ya ampun. Bad weekend.
Aku berusaha untuk tidur dan berharap saat aku bangun nanti rasa sakit ini sudah hilang. Saat akan memejamkan mata, aku melirik handphoneku yang tergeletak disampingku. Dengan sengaja aku menekan tombol off. Sudah menjadi kebiasaanku kalau tidur menonaktifkan handphoneku. Alasannya ya agar tidak ada yang mengganggu. Lalu bagaimana kalau nanti ada yang menelepon? Ah sudahlah, itu urusan belakangan. Yang penting sekarang tidur dulu.

Gerimis mengiringiku yang melaju terburu-buru. Pikiranku kalut juga semrawut. Aku bahkan sampai tak sempat melirik arlojiku, aku tak tau sekarang jam berapa, aku hanya tau sekarang sudah gelap. Tapi seperti tidak memperdulikan itu, motorku terus melaju kencang menuju tempat kos Dewa.
Saat terbangun tadi, aku mendapati limabelas pesan yang semua dikirimkan oleh Dewa.
‘Dir, marah ya? Maaf deh. Gimana kalo nanti gue ajak lo liat gue latian aja? Mau ya?’
‘Gue serius minta maaf nih. Bales kaliiii.’
‘Sayang, ngambek mulu. Gak capek?’
‘Dosen gue ngeliatin gue mulu tuh. Lo sih! Bales kek L
‘Gue kok dicuekin? Marah sih marah, tapi jangan lama-lama kali Yang.’
‘Mau eskrim gak? Gue lg di kosnya Aldo nih. Kesini aje kalo mau J
‘Diraaa, gue serius ini minta maafnya. Udahan dong marahnya Yang. Ntar liat gue sama anak-anak latian aja yuk!’
‘Gue kerumah lo aja kali ya. Jangan coba2 gembok gerbangnya! Awas lo!’
‘Gue beneran ke rumah lo sekarang Yang. Sambut gue ya.’
‘Kalo masih marah juga, gak gue kasih :* lho!’
‘Yang, bel rumah lo masih rusak? Gue udah di depan rumah nih!’
‘Diraaa buka pintunyaaa!’
‘Lagi ngapain sih lo? Nyari kunci pintu rumah... atau kunci pintu hati lo? L
‘Beneran lo nggak mau bukain? Boleh gue dobrak ini pintu?’
‘Ya udah, terserah lo. Capek ya ternyata merhatiin cewek egois. Marah aja terus sana, mau diem aja juga terserah lo. TERSERAH LO!’
Aku terus menerjang gerimis yang berubah menjadi hujan. Dipikiranku sekarang bukan ‘bagaimana nanti kalau aku tambah sakit?’, melainkan ‘bagaimana kalau Dewa ngga mau memaafkan aku?’.
Aku sampai di tempat kos Dewa dengan keadaan basah kuyup dan menggigil. Rasanya lemas sekali.
“Eh, elo Dir.”, sapa seseorang. Aku menoleh, ternyata Fandy, teman satu band Dewa. “Mau ketemu Dewa?”
Aku mengangguk. “Dewa ada di dalam kan?”
“Iya tuh, lagi suntuk dia. Dari tadi diem aja, padahal kan kita mau ngomongin soal festival bulan depan.”, ujar Fandy.
“Lo berantem ya sama Dewa? Buruan baikan gih, mood Dewa tuh jadi down kalo udah berurusan sama cewek. Kalo udah begitu, dia jadi ngga konsen ngapa-ngapain.”, timpal Anton yang berada di sebelahnya.
Aku hanya mengangguk lalu meninggalkan mereka, masuk ke kamar kos Dewa.
“Wa..”, panggilku saat kulihat dia hendak menutup pintu kamarnya. Dewa tidak menyahut juga tidak menolehku, dia malah berbalik badan lalu membereskan botol-botol bekas minuman yang berserakan dilantai.
“Tadi kerumah ya?”, tanyaku. Lagi-lagi dia tidak menyahut. Jangankan menyahut, menoleh padaku pun tidak. Aku menghela napas panjang kemudian mencoba menghampirinya.
“Maaf ya Wa, gue ngga tau tadi lo dateng kerumah. Gue lagi ngerasa ngga enak badan banget, makanya gue tidur. Lo kan tau sendiri kalo gue tidur handphonenya gue matiin.”, kataku dengan suara yang mendadak serak. Aku makin merasa kalau aku terkena flu sekarang.
“Maaf tadi waktu lo dateng ngga ada yang bukain pintu. Kan tau sendiri, pembantu gue Cuma kerja setengah hari doang. Bel dirumah juga belum sempet gue benerin. Kamar gue ada di belakang, jadi ya....” Dewa masih tak menanggapiku. Dia malah masuk ke kamarnya tanpa menoleh, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Apa seperti ini cara Dewa membalasku? Diam dibalas dengan diam? Tapi tadi itu kan karena aku tidak tau kalau ada pesan darinya. Lalu apakah aku yang salah dalam hal ini? Lalu apakah aku salah jika aku sakit?
Aku memegang dahiku sendiri. Panas. Dan tubuh ini makin tidak karuan rasanya. Kepala juga terasa makin berat saja. Kini mungkin bukan hanya ada gajah betina dewasa nangkring di kepalaku, mungkin juga ada kudanil dan badak jawa. Ah, aku mulai ngaco lagi.
“Dewa.. maafin gue. Gue beneran sakit Wa. Liat nih, badan gue panas banget. Mana kesini ujan-ujanan, nggak pake helm, ngga pake jaket. Tau ngga sih lo, boro-boro gue mikirin helm sama jaket, itu rumah juga lupa gue kunci atau engga. Ini semua karena lo. Udahan kali Wa marahannya. Gue kesini bela-belain biar lo ngga marah lagi sama gue. Gue juga udah nggak marah soal yang tadi siang kok.”
Tetap tidak ada respon.
“Yaang, gue minta maafnya serius ini. Udahan dong marahnya, masa ngga mau maafin gue sih?”, aku mulai terisak, air mataku jatuh perlahan.
“Oke, gue emang egois, gue yang ngga ngertiin keadaan lo. Gue sadar gue yang salah Yang. Maaf. Gue janji deh ngga bakal egois lagi, gue bakal berusaha untuk terus ngertiin lo. Begitupun lo juga mesti ngertiin gue. Kita harus sama-sama saling ngertiin ya Wa.”
Masih tetap tidak menyahut.
“Jangan kayak anak kecil dong Waaa. Kan gue udah minta maaf, tadi lo minta maaf aja gue maafin kok. Emang ini semua salah gue ya? Elo juga salah, kenapa bikin gue marah duluan tadi. Tapi sekarang udah dong Yang, gue beneran sakit nih, gue lemes ngomong mulu tapi ngga ditanggepin. Lo kan tadi Cuma ngirim SMS doang, kan ngga bikin badan lemes Wa. Jahat lo nyuekin gue!” aku makin terisak, tangisku nyaris pecah.
Kenapa harus seperti ini? Apa memang harus seperti ini? Aku malah tak mengerti apa permasalahan utama yang menyebabkan pertengkaran ini terjadi. Hanya karena masalah remeh dan sepele kurasa.
Lalu siapa yang pantas disalahkan atas pertengkaran ini? Ego kah yang pantas disalahkan? Apakah memang pertengkaran ini pantas untuk terjadi?
“Siapa yg nyuruh lo ngomong mulu sih?”, Dewa muncul dari kamarnya sambil membawa sebuah handuk. Aku memandangnya dengan nanar. Akhirnya dia bersuara juga.
“Itu karena lo diem aja dari tadi Wa.”
“Itu karena gue lagi nyari handuk kering tau. Tuh handuk gue basah, baru gue cuci soalnya.”
“Ya kenapa nggak sambil ngomong sesuatu kek, malah diem aja.”
“Biar dramatis sayaang.”
Dewa tersenyum simpul sambil mengusapkan handuk di kepalaku, menggosokannya di rambutku. Lalu mengusapkan ke wajahku, kemudian leherku. Aku diam saja menerima perlakuannya. Tapi saat menuju daerah dada, aku langsung melotot. Dewa terkekeh, menghentikan aksinya lalu mengalungkan handuknya di leherku.
“Jahat lo! tega!”, kupukul dadanya pelan. Dewa meringis kesakitan.
“Lo juga tega!”
“Mana gue tau kalo lo kerumah!”
“Salah siapa tidur handphonenya dimatiin?!”
“Salah siapa bikin gue marah?!”
Dewa mencibir. Aku balas cibirannya.
“Katanya mau latian band?” tanyaku
“Tadinya, tapi gue mendadak ngga mood.” Jawab Dewa seadanya.
“Kenapa ngga mood?”
Dewa tidak menjawab, tapi tangannya menyentuh dahiku kemudian pipiku. Dahinya mengernyit.
“Lo beneran panas. Gue kira...”
“Tau ah! Ngga percayaan banget lo!” tukasku kesal sambil menepis tangannya.
“Iya iya, maaf deh. Sekarang baikan ya” ucapnya lembut kemudian menariku kedalam pelukannya. Sungguh erat. Dan aku merasa hangat.
“Lo jangan marah lagi ya.”, pintaku sambil balas memeluknya.
“Sebenarnya gue ngga marah. Kesal aja sama lo, childish banget sih.”
“Maaf deh.”
“Iya, gue juga minta maaf ya Sayang.”
“Jadi serak nih suara gue. Lo sih!”
“Siapa suruh lo ngomong membabi buta gitu tadi?”
“Kalo gue tambah sakit, tanggung jawab loh!”
“Duh, ya udah ya udah. Nih gue kasih obatnya ya biar sembuh.” Lalu Dewa mencium keningku.
Aku tersenyum. Sebenarnya ini masalah yang harusnya tidak dihadapi dengan emosi. Harusnya kami bisa lebih saling pengertian. Karena Dewa dan aku bukan anak kecil lagi yang pantas bertengkar karna hal sepele. Ya, inilah pembelajaran untuk hubungan ini. Kadang banyak masalah sepele yg harusnya tidak perlu diributkan. Kedewasaan lah yang sangat diperlukan dalam hubungan ini.
Oh iya. Mungkin aku perlu mengingat 60 menit yang berharga itu setiap aku hampir bertengkar dengan Dewa. Dan Dewa juga mungkin harusnya lebih sering memberiku 60 menit yang berharga setiap harinya. Agar cinta ini tetap terus ada dan mengalir seterusnya. Ya, aku akan meminta itu nanti padanya.

Dewa yang kembali dari dapur sambil membawa dua cangkir teh hangat mendadak menjerit seperti anak alay.
“Diraaaaa !! kenapa lemari gue lo berantakiinnn?” matanya melotot melihat baju-bajunya yang berserakan dilantai gara-gara aku ambil satu persatu lalu kulempar begitu saja.
“Ya ampun Waaa! Lo nyuruh gue pake baju lo yang mana? Ini semua kegedean, mana warnanya item semua! Emang nggak ada kaos lo yang warnanya PINK gitu?!”



Ini hanya kisah cinta biasa dan masalah yang biasa pula.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar