Senin, 18 Agustus 2014

Cerita Seorang Teman 2



Teman baikku yang satu itu memang punya segelintir cerita unik yang sesekali dia bagikan padaku juga pada teman yang lain. Namun yang anehnya, dia justru menceritakan beberapa pengalaman yang menurutku tidak terlalu penting untuk diceritakan. Seperti ketika dia tengah bermain futsal dan dia terjatuh hingga membuat sepatu kesayangannya rusak. Hal itu membuatnya galau menentukan akan membeli sepatu baru dengan merk yang sama seperti sebelumnya atau menggantinya dengan merk lain. Atau ketika dia bercerita tentang lalat yang nyaris masuk ke hidungnya ketika dia tengah bersin. Cerita-cerita seperti itulah yang dia sering kudengar dari dia, bukan cerita tentang bagaimana hubungan asmaranya, bagaimana cara dia mendekati perempuan, atau kapan dia akan mengakhiri masa lajang. Setelah kupikir, mungkin menurutnya tidak penting menceritakan kisah asmara dan mengumbarnya ke khalayak ramai. Dia lebih suka memendamnya sendiri tanpa perlu mengungkitnya di depan teman-temannya. Dia lebih nyaman bercerita hal lain yang menurutnya lebih pantas diceritakan meski selalu saja terdengar aneh dan terkadang membuat gelak tawa. Dan aku mengahargai itu.
Begitulah sosok Arjuna Wibowo, salah satu teman terbaikku selama ini. Meskipun sempat terpisah karena berbeda sekolah, namun hubungan kami tetap terjalin baik. Dan kini, setelah kurang lebih 4 tahun tak bertemu karena aku memutuskan untuk kuliah ke luar kota dan dia pun bekerja di kota lain, kami dipertemukan kembali di acara reuni SMP. Dan di reuni itulah, untuk pertamakalinya Arjuna mau membuka mulutnya untuk menceritakan tentang kisah asmara semasa SMPnya, yang sebenarnya juga aku ketahui. Namun akhirnya dia memilih tidak menyelesaikan ceritanya tanpa alasan, itu membuatku gemas saking penasarannya. Kurasa aku harus bertemu dengannya lagi.
Akhirnya hari ini aku janjian dengan Arjuna untuk ngopi-ngopi di sebuah kedai yang tak jauh dari kompleks rumahku. Dia pun datang sepuluh menit dari waktu yang telah kami janjikan.
“Aku mau nagih ceritamu yang masih menggantung itu, Jun.”, kataku setelah sempat berbasa-basi. Arjuna meneguk kopi hitamnya, memandangku sambil tersenyum tipis. Senyum khasnya yang misterius itu muncul kembali.
“Jun, ceritain gimana akhirnya kamu sama Adel? Lanjut nggak?”, tanyaku dengan sedikit gemas.
“Penasaran bener sih? Apa kisah sepeleku ini begitu menarik buat kamu, Ndi?”, Arjuna balik bertanya.
Aku sedikit terhenyak. “E-engg, nggak gitu juga. Aku Cuma pengin dengar kisah asmaramu itu aja, Jun. Kamu ini jangan terlalu introvert lah jadi orang, masa sama teman sendiri main rahasia-rahasiaan segala.”
“Tapi kisahku ini tidak seindah puisi WS Rendra, Ndi. Aku Cuma tidak ingin kamu jenuh mendengarnya, terlalu klise dan kekanakan.”, Arjuna beralasan.
“Aku tidak peduli dengan seberapa indah atau klise kisahmu itu, yang hanya ingin aku dengar adalah kisah asmaramu yang tidak pernah kamu ceritakan padaku selama ini. Aku Cuma ingin kamu sedikit lebih terbuka dengan urusan yang satu itu, Jun. Ayolah, untuk apa pula kamu rahasiakan segala?”
Arjuna diam sebentar, memandangku tanpa ekspresi. Kemudian meneguk kopinya kembali.
“Pada akhirnya, Adelia yang berbalik menggantungkan hubungan kami. Dia berpaling kepada yang lain tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal padaku. Miris ya?”
Aku membetulkan posisi dudukku, dan memasang telingaku baik-baik.
*
Arjuna Cuma bisa melengos begitu melihat sosok Adelia di kantin sekolah tengah duduk berdua dengan seorang siswa laki-laki yang dirasanya adalah adik kelas.
“Kamu nggak cemburu, Jun?”, Ahmad yang saat itu tepat disampingnya bertanya. Arjuna Cuma menggeleng pelan dan kembali ke kelasnya.
Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya ketika melihat pemandangan di kantin tadi. Arjuna mulai gelisah dan kesal terhadap dirinya sendiri. Dia sadar bahwa apa yang dilakukan Adelia itu wajar, karena selama ini dia sendiri tidak pernah ada niat untuk menemui gadis itu. Tidak masalah jika akhirnya Adelia memilih untuk jalan dengan laki-laki lain, sekalipun itu adik kelas.
Yang Arjuna sesali adalah sikapnya selama ini, dia terlalu bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Dia sama sekali tidak mengerti bagaimana menghadapi persoalan seperti ini. Arjuna merasa membuang waktunya, dan masa mudanya akan sia-sia jika dipenuhi masalah seperti ini. Dia pun bertekad tidak akan melakukan kesalahan yang sama.
Namun suatu ketika, dia menjumpai permasalahan serupa di bangku kelas 3 SMP. Semua berawal saat pelajaran Bahasa Indonesia.
“Arjuna, silahkan maju ke depan kelas dan ceritakan pengalaman pribadi kamu pada teman-teman kamu.”, tunjuk Bu Siti, Guru Bahasa Indonesia.
Arjuna pun bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan kelas dengan santai.
“Ini adalah pengalaman saya kemarin, yang sebenarnya saya private pada kalian. Tapi tidak apa, akan saya bagi dengan teman-teman agar kita semua bisa belajar dari pengalaman saya ini.”, kata Arjuna sedikit grogi akibat semua mata teman sekelasnya menatapnya tanpa berkedip.
Termasuk siswi perempuan itu, dia menatap Arjuna penuh antusias.
“Kemarin sore ketika saya bermain bola, saya berlari sampai kehabisan nafas. Saat itu tiba-tiba ada serangga kecil entah apa itu muncul melewati ruang diantara hidung dan bibir saya. Saya yang saat itu tengah mencoba mengatur nafas tidak berdaya ketika akhirnya serangga kecil itu masuk ke dalam lubang hidung saya!”
Suara gelak tawa memenuhi ruang kelas. Bu Siti pun tak mampu menahan tawanya.
“Lalu yang terjadi selanjutnya begini deh..”, Arjuna menggosok pelan hidungnya sambil bergaya seperti orang pilek.
Seisi kelas masih dipenuhi gelak tawa mendengar cerita konyol Arjuna. Namun yang tiba-tiba menarik perhatian Arjuna adalah sosok siswi perempuan cantik yang semenjak tadi begitu antusias mendengar ceritanya. Gadis itu bernama Kaefa.
“Cerita kamu lucu Jun. Lucu banget.”, katanya begitu Arjuna lewat di depan mejanya. Arjuna Cuma menanggapinya dengan senyum tipis.
Kaefa masih memandanginya begitu dia sampai di tempat duduknya. Matanya menunjukkan ketertarikan yang amat sangat pada Arjuna.
*
“Sumpah, Jun, cerita ‘pengalaman pribadi’mu itu bener-bener tidak bermutu.”, timpalku sambil menahan tawa. Arjuna tertawa pelan.
“Aku nggak punya cerita lain selain itu, Ndi.”
Aku meneguk kopi mocha ku. “Lalu gimana sama si Kaefa itu? Kamu bilang dia seperti menunjukkan ketertarikan padamu.”, tanyaku.
Arjuna mengangguk. “Aku pikir sih begitu, melihat gelagatnya yang agak mencurigakan aku jadi teringat Adelia. Mungkin saja hal ‘itu’ akan terjadi lagi.”
Aku tercenung, “Hal ‘itu’?”
Arjuna mengangguk, kembali memasang senyum misteriusnya.
*
“Hei, Juna. PR Matematika udah kelar belum?”, sapa seorang gadis yang akhir-akhir ini sering menyapanya. Kaefa.
Arjuna mengangguk pelan. “Udah kok.”
Kaefa pun tersenyum kemudian kembali ke tempat duduknya.
Ahmad, teman sebangku Arjuna menepuk bahunya. “Ciye, kayaknya disamperin Kaefa mulu nih.”
“Terus kenapa?”, Arjuna menaikkan alisnya.
“Kamu nggak ngeh selama ini sering di perhatikan sama Kaefa? Matanya itu loh men, memandangmu tanpa berkedip.”
“Masa sih?”, Arjuna menoleh pada Kaefa yang duduk di baris sebelah kirinya. “Dia kan gadis top five seantero SMP. Kayaknya nggak mungkin lah dia suka sama aku, aku kan jelek, Mad.”, ucap Arjuna merendah.
Ahmad menggelengkan kepalanya sambil berdecak. “Payah kamu, Jun. Kamu ini udah dikasih peluang, harusnya cepat kamu sikat dong. Serius Jun, tembak dia deh.”
“Apaan sih? Nggak ah, aku nggak berani. Nanti yang ada aku bingung harus ngapain. Aku nggak ngerti sama beginian, Mad.”
“Ah elah, Juna. Payah banget sih!”, Ahmad meninju lengan Arjuna, gemas dengan sikap temannya itu.

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Baru saja Arjuna beranjak dari tempat duduknya, Kaefa memanggil.
“Ada apa, Fa?”, tanya Arjuna.
“Anu, Jun..”
“Ciye Junaa, Ciya Kaefaa..”, seru Ahmad, yang kontan menularkan nada serupa pada teman-teman yang lain.
“Mad! Apa sih?”, Arjuna mendorong bahu Ahmad, mengisyaratkan agar dia segera pergi. Ahmad pun melengos sambil tetap menyerukan nada yang menggoda Arjuna dan Kaefa.
“Eh, sorry ya. Ahmad emang suka rese. Kamu tadi mau bilang apa?”, Arjuna kembali pada Kaefa.
“Ah iya.  Kita kan udah mau SMA nih, minta nomor hp kamu boleh dong?”
Arjuna tersentak. Namun belum sempat menjawab, teman-teman yang lain ikut menimpali.
“Iya Jun. Kasih dong Jun, kasih dong!”
Tak lama kemudian Arjuna mengangguk pelan kemudian menyebutkan digit nomor handphonenya.
“Makasih ya, Jun.”, kata Kaefa lengkap dengan senyumnya yang manis.
Arjuna balas senyumnya, “Sama-sama.”
*
Arjuna mendapati sebuah pesan singkat dari nomor asing di handphonenya.

‘Hai, Juna. Ini Kaefa. Kamu lagi ngapain?’

Arjuna tersenyum tipis seraya membalas pesan itu. Dia mulai bisa menikmati tiap balasan demi balasan pesan yang diterimanya. Entah kenapa rasa aneh yang dia rasakan dulu terhadap Adelia tidak muncul kembali. Mungkin sudah mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, pikirnya.
Namun yang tidak disangkanya, semenjak dia memiliki nomor handphone Kaefa, secara kompak teman laki-lakinya meminta nomor Kaefa padanya. Wajar saja sih, Kaefa itu siswi top five kategori cantik seantero sekolah, tidak mengherankan kalau banyak yang ingin mendekatinya atau Cuma memiliki nomor handphonenya.
Namun pada akhirnya, Arjuna tidak memberikannya pada teman-teman yang lain, dia merasa tidak enak jika memberikan nomor gadis sembarangan.

Beberapa bulan kemudian, Arjuna meninggalkan bangku SMP dan kini duduk di bangku SMA. Hubungannya dengan Kaefa pun masih berjalan baik, sebagai teman. Ya, Arjuna memang menyadari Kaefa memiliki perasaan terhadapnya, namun seperti sebelumnya, Arjuna masih terlalu polos untuk menghadapi perasaanya sendiri. Dia masih terlalu bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Dia tidak pernah mencoba untuk berbicara masalah hubungan dengan Kaefa, dia hanya nyaman berbalas pesan dengan Kaefa sebagai teman biasa. Sempat terfikir bahwa dia juga memiliki ketertarikan pada Kaefa, namun dia ragu. Daripada dia harus kembali menggantungkan hubungan seperti yang dia lakukan terhadap Adelia, lebih baik tetap berteman biasa saja, pikirnya.

Namun yang terjadi malah Kaefa tiba-tiba menjauhinya setelah beberapa bulan kemudian. Arjuna tidak mengerti apa yang salah selama ini, karena yang dia tau semuanya berjalan baik-baik saja. Dia tidak pernah merasa memiliki permasalahan serius dengan Kaefa.
Suatu ketika, Satrio, sahabat Arjuna semasa SMA mencoba menganalisis apa yang terjadi pada Kaefa. Satrio mengetahui secara persis bagaimana Kaefa memberi perhatian lebih pada Arjuna baik itu lewat pesan maupun ketika mereka bertemu.
“Sederhana aja, Jun. Mungkin saja dia lelah.”, ucap Satrio dengan nada serius.
Arjuna menaikkan alisnya. “Lelah? Capek? Maksudnya capek SMSan sama aku? Kok bisa? Dia kan Cuma pijit pijit handphone.”
Satrio menepuk dahinya sendiri. “Kau itu ya, benar-benar keterlaluan. Kau sama sekali tidak mengerti perasaan wanita.”
“K-Kau?”, Arjuna tercengang mendengar ucapan Satrio yang dirasanya seperti dialog dalam drama korea.
Satrio berdecak pelan. “Heh, Jun. Apa kau itu homo?”
*
Aku tertawa geli sambil memegang perutku sendiri.
“Gila itu si Satrio. Kenapa bisa berpikiran kalau kamu itu homo? Hahaha, bener-bener gila!”
Arjuna menutup wajahnya menahan tawa. “Ya wajar aja sih, aku ini tidak pernah keliatan punya pacar. Aku tidak pernah ketauan lagi nembak cewek. Tapi pertanyaannya itu bikin shock juga sih, hahaha.”
“Lalu gimana nyatanya, Jun?”
“Hah? Nyatanya apa?”
“Kamu itu.. homo apa bukan?”
Arjuna tersedak. Aku tertawa lantang kembali.

Arjuna Wibowo memang teman paling unik yang pernah kukenal. Dia masih mempertahankan sisi polosnya hingga kini, setelah 8 tahun sejak aku berteman dengannya sewaktu SMP. Aku bahkan tidak bisa menebak, akan seperti apa jadinya bila dia benar-benar memiliki pasangan hidup. Apakah dia akan bersikap polos dan lugu bak anak kecil ini?
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan.

“Hei, Andi. Aku ini bukan pria homo, tau?”, Arjuna menepuk bahuku, sambil melototiku yang semenjak tadi tertawa tanpa henti.
“Lalu apa? Hobimu aja menggantukan perasaan perempuan, ya jelas aja membuat pikiran lain, Jun. Kamu gantungin Adelia tanpa kejelasan hubungan, dan kamu juga nggak menanggapi Kaefa yang menaruh perhatian lebih padamu. Hatimu dimana, Jun? Beralih pada laki-laki? Aku jadi takut, serius.”, spontan aku memegang tengkuk leherku. Sedikit merinding.
Arjuna merangkul pundakku. “Percaya Ndi, suatu hari nanti aku akan kenalkan kamu sama pasanganku. Tunggu saja.”, ucap Arjuna yakin.
Aku mencibir. “Emang kamu punya?”
Arjuna tidak menyahut, dia hanya memasang senyum misteriusnya. Seperti biasa.

Pada akhirnya aku masih akan terus dibuat penasaran olehnya, aku akan terus penasaran dengan kisah asmaranya. Dan aku masih akan menunggu ceritanya. Kalau dia tidak mau bercerita, biarlah aku sedikit memaksanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar