Teman baikku
yang satu itu memang punya segelintir cerita unik yang sesekali dia bagikan
padaku juga pada teman yang lain. Namun yang anehnya, dia justru menceritakan
beberapa pengalaman yang menurutku tidak terlalu penting untuk diceritakan. Seperti
ketika dia tengah bermain futsal dan dia terjatuh hingga membuat sepatu kesayangannya
rusak. Hal itu membuatnya galau menentukan akan membeli sepatu baru dengan merk
yang sama seperti sebelumnya atau menggantinya dengan merk lain. Atau ketika
dia bercerita tentang lalat yang nyaris masuk ke hidungnya ketika dia tengah
bersin. Cerita-cerita seperti itulah yang dia sering kudengar dari dia, bukan
cerita tentang bagaimana hubungan asmaranya, bagaimana cara dia mendekati
perempuan, atau kapan dia akan mengakhiri masa lajang. Setelah kupikir, mungkin
menurutnya tidak penting menceritakan kisah asmara dan mengumbarnya ke khalayak
ramai. Dia lebih suka memendamnya sendiri tanpa perlu mengungkitnya di depan
teman-temannya. Dia lebih nyaman bercerita hal lain yang menurutnya lebih
pantas diceritakan meski selalu saja terdengar aneh dan terkadang membuat gelak
tawa. Dan aku mengahargai itu.
Begitulah sosok
Arjuna Wibowo, salah satu teman terbaikku selama ini. Meskipun sempat terpisah
karena berbeda sekolah, namun hubungan kami tetap terjalin baik. Dan kini,
setelah kurang lebih 4 tahun tak bertemu karena aku memutuskan untuk kuliah ke
luar kota dan dia pun bekerja di kota lain, kami dipertemukan kembali di acara
reuni SMP. Dan di reuni itulah, untuk pertamakalinya Arjuna mau membuka
mulutnya untuk menceritakan tentang kisah asmara semasa SMPnya, yang sebenarnya
juga aku ketahui. Namun akhirnya dia memilih tidak menyelesaikan ceritanya
tanpa alasan, itu membuatku gemas saking penasarannya. Kurasa aku harus bertemu
dengannya lagi.
Akhirnya hari
ini aku janjian dengan Arjuna untuk ngopi-ngopi di sebuah kedai yang tak jauh
dari kompleks rumahku. Dia pun datang sepuluh menit dari waktu yang telah kami
janjikan.
“Aku mau
nagih ceritamu yang masih menggantung itu, Jun.”, kataku setelah sempat
berbasa-basi. Arjuna meneguk kopi hitamnya, memandangku sambil tersenyum tipis.
Senyum khasnya yang misterius itu muncul kembali.
“Jun,
ceritain gimana akhirnya kamu sama Adel? Lanjut nggak?”, tanyaku dengan sedikit
gemas.
“Penasaran
bener sih? Apa kisah sepeleku ini begitu menarik buat kamu, Ndi?”, Arjuna balik
bertanya.
Aku sedikit
terhenyak. “E-engg, nggak gitu juga. Aku Cuma pengin dengar kisah asmaramu itu
aja, Jun. Kamu ini jangan terlalu introvert lah jadi orang, masa sama teman
sendiri main rahasia-rahasiaan segala.”
“Tapi
kisahku ini tidak seindah puisi WS Rendra, Ndi. Aku Cuma tidak ingin kamu jenuh
mendengarnya, terlalu klise dan kekanakan.”, Arjuna beralasan.
“Aku tidak
peduli dengan seberapa indah atau klise kisahmu itu, yang hanya ingin aku
dengar adalah kisah asmaramu yang tidak pernah kamu ceritakan padaku selama
ini. Aku Cuma ingin kamu sedikit lebih terbuka dengan urusan yang satu itu,
Jun. Ayolah, untuk apa pula kamu rahasiakan segala?”
Arjuna diam
sebentar, memandangku tanpa ekspresi. Kemudian meneguk kopinya kembali.
“Pada
akhirnya, Adelia yang berbalik menggantungkan hubungan kami. Dia berpaling
kepada yang lain tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal padaku. Miris ya?”
Aku membetulkan
posisi dudukku, dan memasang telingaku baik-baik.
*
Arjuna Cuma bisa
melengos begitu melihat sosok Adelia di kantin sekolah tengah duduk berdua
dengan seorang siswa laki-laki yang dirasanya adalah adik kelas.
“Kamu nggak
cemburu, Jun?”, Ahmad yang saat itu tepat disampingnya bertanya. Arjuna Cuma menggeleng
pelan dan kembali ke kelasnya.
Ada perasaan
aneh yang mengusik hatinya ketika melihat pemandangan di kantin tadi. Arjuna mulai
gelisah dan kesal terhadap dirinya sendiri. Dia sadar bahwa apa yang dilakukan
Adelia itu wajar, karena selama ini dia sendiri tidak pernah ada niat untuk
menemui gadis itu. Tidak masalah jika akhirnya Adelia memilih untuk jalan
dengan laki-laki lain, sekalipun itu adik kelas.
Yang Arjuna
sesali adalah sikapnya selama ini, dia terlalu bingung dengan apa yang akan
dilakukannya. Dia sama sekali tidak mengerti bagaimana menghadapi persoalan
seperti ini. Arjuna merasa membuang waktunya, dan masa mudanya akan sia-sia
jika dipenuhi masalah seperti ini. Dia pun bertekad tidak akan melakukan
kesalahan yang sama.
Namun suatu
ketika, dia menjumpai permasalahan serupa di bangku kelas 3 SMP. Semua berawal
saat pelajaran Bahasa Indonesia.
“Arjuna,
silahkan maju ke depan kelas dan ceritakan pengalaman pribadi kamu pada
teman-teman kamu.”, tunjuk Bu Siti, Guru Bahasa Indonesia.
Arjuna pun
bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan kelas dengan santai.
“Ini adalah
pengalaman saya kemarin, yang sebenarnya saya private pada kalian. Tapi tidak
apa, akan saya bagi dengan teman-teman agar kita semua bisa belajar dari
pengalaman saya ini.”, kata Arjuna sedikit grogi akibat semua mata teman
sekelasnya menatapnya tanpa berkedip.
Termasuk siswi
perempuan itu, dia menatap Arjuna penuh antusias.
“Kemarin sore
ketika saya bermain bola, saya berlari sampai kehabisan nafas. Saat itu
tiba-tiba ada serangga kecil entah apa itu muncul melewati ruang diantara
hidung dan bibir saya. Saya yang saat itu tengah mencoba mengatur nafas tidak
berdaya ketika akhirnya serangga kecil itu masuk ke dalam lubang hidung saya!”
Suara gelak
tawa memenuhi ruang kelas. Bu Siti pun tak mampu menahan tawanya.
“Lalu yang
terjadi selanjutnya begini deh..”, Arjuna menggosok pelan hidungnya sambil
bergaya seperti orang pilek.
Seisi kelas
masih dipenuhi gelak tawa mendengar cerita konyol Arjuna. Namun yang tiba-tiba
menarik perhatian Arjuna adalah sosok siswi perempuan cantik yang semenjak tadi
begitu antusias mendengar ceritanya. Gadis itu bernama Kaefa.
“Cerita kamu
lucu Jun. Lucu banget.”, katanya begitu Arjuna lewat di depan mejanya. Arjuna Cuma
menanggapinya dengan senyum tipis.
Kaefa masih
memandanginya begitu dia sampai di tempat duduknya. Matanya menunjukkan
ketertarikan yang amat sangat pada Arjuna.
*
“Sumpah,
Jun, cerita ‘pengalaman pribadi’mu itu bener-bener tidak bermutu.”, timpalku
sambil menahan tawa. Arjuna tertawa pelan.
“Aku nggak
punya cerita lain selain itu, Ndi.”
Aku meneguk
kopi mocha ku. “Lalu gimana sama si Kaefa itu? Kamu bilang dia seperti menunjukkan
ketertarikan padamu.”, tanyaku.
Arjuna mengangguk.
“Aku pikir sih begitu, melihat gelagatnya yang agak mencurigakan aku jadi
teringat Adelia. Mungkin saja hal ‘itu’ akan terjadi lagi.”
Aku tercenung,
“Hal ‘itu’?”
Arjuna
mengangguk, kembali memasang senyum misteriusnya.
*
“Hei, Juna.
PR Matematika udah kelar belum?”, sapa seorang gadis yang akhir-akhir ini
sering menyapanya. Kaefa.
Arjuna mengangguk
pelan. “Udah kok.”
Kaefa pun
tersenyum kemudian kembali ke tempat duduknya.
Ahmad, teman
sebangku Arjuna menepuk bahunya. “Ciye, kayaknya disamperin Kaefa mulu nih.”
“Terus
kenapa?”, Arjuna menaikkan alisnya.
“Kamu nggak
ngeh selama ini sering di perhatikan sama Kaefa? Matanya itu loh men,
memandangmu tanpa berkedip.”
“Masa sih?”,
Arjuna menoleh pada Kaefa yang duduk di baris sebelah kirinya. “Dia kan gadis
top five seantero SMP. Kayaknya nggak mungkin lah dia suka sama aku, aku kan
jelek, Mad.”, ucap Arjuna merendah.
Ahmad
menggelengkan kepalanya sambil berdecak. “Payah kamu, Jun. Kamu ini udah
dikasih peluang, harusnya cepat kamu sikat dong. Serius Jun, tembak dia deh.”
“Apaan sih? Nggak
ah, aku nggak berani. Nanti yang ada aku bingung harus ngapain. Aku nggak ngerti
sama beginian, Mad.”
“Ah elah,
Juna. Payah banget sih!”, Ahmad meninju lengan Arjuna, gemas dengan sikap
temannya itu.
Bel tanda
pulang sekolah berbunyi. Baru saja Arjuna beranjak dari tempat duduknya, Kaefa
memanggil.
“Ada apa,
Fa?”, tanya Arjuna.
“Anu, Jun..”
“Ciye Junaa,
Ciya Kaefaa..”, seru Ahmad, yang kontan menularkan nada serupa pada teman-teman
yang lain.
“Mad! Apa sih?”,
Arjuna mendorong bahu Ahmad, mengisyaratkan agar dia segera pergi. Ahmad pun
melengos sambil tetap menyerukan nada yang menggoda Arjuna dan Kaefa.
“Eh, sorry
ya. Ahmad emang suka rese. Kamu tadi mau bilang apa?”, Arjuna kembali pada
Kaefa.
“Ah
iya. Kita kan udah mau SMA nih, minta
nomor hp kamu boleh dong?”
Arjuna tersentak.
Namun belum sempat menjawab, teman-teman yang lain ikut menimpali.
“Iya Jun. Kasih
dong Jun, kasih dong!”
Tak lama
kemudian Arjuna mengangguk pelan kemudian menyebutkan digit nomor handphonenya.
“Makasih ya,
Jun.”, kata Kaefa lengkap dengan senyumnya yang manis.
Arjuna balas
senyumnya, “Sama-sama.”
*
Arjuna mendapati
sebuah pesan singkat dari nomor asing di handphonenya.
‘Hai, Juna. Ini
Kaefa. Kamu lagi ngapain?’
Arjuna tersenyum
tipis seraya membalas pesan itu. Dia mulai bisa menikmati tiap balasan demi
balasan pesan yang diterimanya. Entah kenapa rasa aneh yang dia rasakan dulu terhadap
Adelia tidak muncul kembali. Mungkin sudah mulai terbiasa dengan situasi
seperti ini, pikirnya.
Namun yang
tidak disangkanya, semenjak dia memiliki nomor handphone Kaefa, secara kompak
teman laki-lakinya meminta nomor Kaefa padanya. Wajar saja sih, Kaefa itu siswi
top five kategori cantik seantero sekolah, tidak mengherankan kalau banyak yang
ingin mendekatinya atau Cuma memiliki nomor handphonenya.
Namun pada
akhirnya, Arjuna tidak memberikannya pada teman-teman yang lain, dia merasa
tidak enak jika memberikan nomor gadis sembarangan.
Beberapa bulan
kemudian, Arjuna meninggalkan bangku SMP dan kini duduk di bangku SMA. Hubungannya
dengan Kaefa pun masih berjalan baik, sebagai teman. Ya, Arjuna memang
menyadari Kaefa memiliki perasaan terhadapnya, namun seperti sebelumnya, Arjuna
masih terlalu polos untuk menghadapi perasaanya sendiri. Dia masih terlalu
bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Dia tidak pernah mencoba untuk
berbicara masalah hubungan dengan Kaefa, dia hanya nyaman berbalas pesan dengan
Kaefa sebagai teman biasa. Sempat terfikir bahwa dia juga memiliki ketertarikan
pada Kaefa, namun dia ragu. Daripada dia harus kembali menggantungkan hubungan seperti
yang dia lakukan terhadap Adelia, lebih baik tetap berteman biasa saja,
pikirnya.
Namun yang
terjadi malah Kaefa tiba-tiba menjauhinya setelah beberapa bulan kemudian. Arjuna
tidak mengerti apa yang salah selama ini, karena yang dia tau semuanya berjalan
baik-baik saja. Dia tidak pernah merasa memiliki permasalahan serius dengan
Kaefa.
Suatu
ketika, Satrio, sahabat Arjuna semasa SMA mencoba menganalisis apa yang terjadi
pada Kaefa. Satrio mengetahui secara persis bagaimana Kaefa memberi perhatian
lebih pada Arjuna baik itu lewat pesan maupun ketika mereka bertemu.
“Sederhana
aja, Jun. Mungkin saja dia lelah.”, ucap Satrio dengan nada serius.
Arjuna menaikkan
alisnya. “Lelah? Capek? Maksudnya capek SMSan sama aku? Kok bisa? Dia kan Cuma pijit
pijit handphone.”
Satrio menepuk
dahinya sendiri. “Kau itu ya, benar-benar keterlaluan. Kau sama sekali tidak
mengerti perasaan wanita.”
“K-Kau?”,
Arjuna tercengang mendengar ucapan Satrio yang dirasanya seperti dialog dalam
drama korea.
Satrio berdecak
pelan. “Heh, Jun. Apa kau itu homo?”
*
Aku tertawa geli
sambil memegang perutku sendiri.
“Gila itu si
Satrio. Kenapa bisa berpikiran kalau kamu itu homo? Hahaha, bener-bener gila!”
Arjuna menutup
wajahnya menahan tawa. “Ya wajar aja sih, aku ini tidak pernah keliatan punya
pacar. Aku tidak pernah ketauan lagi nembak cewek. Tapi pertanyaannya itu bikin
shock juga sih, hahaha.”
“Lalu gimana
nyatanya, Jun?”
“Hah? Nyatanya
apa?”
“Kamu itu..
homo apa bukan?”
Arjuna tersedak.
Aku tertawa lantang kembali.
Arjuna Wibowo
memang teman paling unik yang pernah kukenal. Dia masih mempertahankan sisi
polosnya hingga kini, setelah 8 tahun sejak aku berteman dengannya sewaktu SMP.
Aku bahkan tidak bisa menebak, akan seperti apa jadinya bila dia benar-benar
memiliki pasangan hidup. Apakah dia akan bersikap polos dan lugu bak anak kecil
ini?
Aku benar-benar
tidak bisa membayangkan.
“Hei, Andi. Aku
ini bukan pria homo, tau?”, Arjuna menepuk bahuku, sambil melototiku yang
semenjak tadi tertawa tanpa henti.
“Lalu apa? Hobimu
aja menggantukan perasaan perempuan, ya jelas aja membuat pikiran lain, Jun. Kamu
gantungin Adelia tanpa kejelasan hubungan, dan kamu juga nggak menanggapi Kaefa
yang menaruh perhatian lebih padamu. Hatimu dimana, Jun? Beralih pada
laki-laki? Aku jadi takut, serius.”, spontan aku memegang tengkuk leherku. Sedikit
merinding.
Arjuna merangkul
pundakku. “Percaya Ndi, suatu hari nanti aku akan kenalkan kamu sama
pasanganku. Tunggu saja.”, ucap Arjuna yakin.
Aku mencibir.
“Emang kamu punya?”
Arjuna tidak
menyahut, dia hanya memasang senyum misteriusnya. Seperti biasa.
Pada akhirnya
aku masih akan terus dibuat penasaran olehnya, aku akan terus penasaran dengan
kisah asmaranya. Dan aku masih akan menunggu ceritanya. Kalau dia tidak mau
bercerita, biarlah aku sedikit memaksanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar