Saat kutulis ini, aku sedang dalam suasanan hati yang
kacau. Aku bingung, aku cemas, aku panik, aku takut. Campuraduk. Aku seperti
orang yang tersesat di gang dan kebingungan mencari jalan keluar. Kepalaku
pusing sekali, seperti ada banyak bom bom car yang saling tabrak disana.
Padahal sebenarnya ini bukan masalah yang rumit, bukan juga masalah yang
harusnya dibesar-besarkan. Aku sendiri lah yang dengan tidak sengaja membuatnya
menjadi rumit untukku sendiri. Aku yang membuat, aku sendiri pula yang terkena
imbasnya. Pusing sendiri. Ini agak aneh, aku hanya mendapatkan ketenangan saat
aku beribadah saja, lalu setelah itu? Aku kembali pusing lagi kalau pikiranku
sedang kosong. Mungkin memang harusnya aku tidak boleh membiarkan pikiranku
kosong, aku harus melakukan sesuatu!
Dan yang kulakukan adalah.... ya sekarang ini. Aku
menulis, menuangkan apapun yang ada dalam kepalaku. Mencurahkan semua yang ada
dalam pikiranku. Aku mau menulis semua yang ingin aku tulis, menulis semua yang
menjadi uneg-unegku saat ini.
Baiklah,
akan kuawali dengan bercerita sedikit tentang kehidupanku saat ini. Aku
sekarang tinggal diluar pulau Jawa, tempat dimana Papaku lahir dan dibesarkan.
Kampung halaman Papaku, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Aku tinggal bersama
keluarga intiku, Papa, Mama dan adik perempuanku satu-satunya. Aku meninggalkan
kampung halamanku di Jawa demi hidup bersama mereka. Ya, karena setelah Papa
menjemput Mama untuk ikut ke Sulawesi pada saat aku kelas 1 SMP, aku tinggal
bersama Nenekku di Jawa. Beliaulah yang merawatku selama lima tahun lamanya,
sejak Mama dan adikku mengikuti Papa tinggal di Sulawesi. Sejak aku SMP sampai
aku lulus SMK. Selama lima tahun itulah aku hidup mandiri tanpa Mama.
Awalnya aku
merasa sedih sekali saat Mama memutuskan tinggal di Sulawesi dengan Papa, aku
tidak terima dan sempat marah kepada beliau. Tapi setelah kupikir lagi, mungkin
inilah yang Mama inginkan selama ini; hidup bersama Suami. Ya, karena selama
bertahun-tahun orangtuaku menjalani Long Distance Relationship. (Emang Cuma anak pacaran doang yang bisaaa??)
Mama dan
Papa hidup terpisah bertahun-tahun, tapi bukan karena ada problem atau apa.
Semua ini terpaksa mereka lakukan agar bisa mencukupi kebutuhan. Dulu Papa
tidak punya pekerjaan yang tetap, beliau berpindah-pindah tempat kerja. Pernah
di Jakarta, Semarang, sampai Kalimantan. Sedangkan Mama dan aku tinggal dirumah
Nenek di Jawa, sampai akhirnya saat umurku 12 tahun adik perempuanku lahir. Dan
di pertengahan 2007 itulah saat aku berpisah dengan Mama dan adikku. Aku sih
tidak masalah kembali ditinggal Papa, karena aku sudah terbiasa jauh dengan
beliau. Tapi Mama? Bayangkan saja, selama 12 tahun kamu hidup kamu hanya
dirawat oleh Mama dan Nenekmu, lalu setelah itu kamu ditinggalkan dan terpaksa
hidup mandiri tanpa orang yang merawatmu, membiayai hidupmu, dalam waktu yang
tidak ditentukan. Bagaimana coba rasanya? Sedih kan? Dan taukah apa yang paling
membuatku sedih? Pertama adalah saat Hari Raya umat Islam sedunia, Hari Raya
Idul Fitri. Aku tidak bisa meminta maaf langsung pada Mama, padahal selama 12
tahun kami selalu merayakan Lebaran bersama. Jangan tanya soal Papa, kan sudah
kubilang aku sudah terbiasa hidup terpisah dengan beliau. Yang kedua saat
kelulusan SMP atau SMK, Mama tidak menyaksikan perjuanganku secara langsung, juga
tidak bisa melihatku saat di wisuda. Momen yang harusnya tidak dilewatkan oleh
anak dan orangtuanya itu malah kujalani tanpa Mama. Aku tidak bisa melihat
langsung bagaimana bangganya Mama melihatku lulus dengan nilai yang cukup baik.
Aku tidak bisa merasakan pelukan Mama saat kelulusan itu. Sedih sekali...
Dan.. Itulah alasan mengapa aku akhirnya memutuskan untuk
tinggal di Sulawesi setelah lulus SMK, karena aku ingin hidup bersama
orangtuaku. Dengan terpaksa aku meninggalkan Nenekku, saudara-saudaraku, juga
teman-temanku yang ada disana.
Namun yang
anehnya... setelah dua tahun tinggal di Sulawesi, aku malah ingin sekali
kembali ke Jawa. Ya memang bukan kembali untuk tinggal lagi disana, aku Cuma
ingin kerja disana agar lebih mudah bertemu teman dan saudaraku. Tapi yang
namanya keinginan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Karena nyatanya aku
dilarang kembali kesana oleh Papa. Aku tidak diberi izin untuk mencari
pekerjaan disana, padahal berkali-kali aku merengek sambil memelas. Tapi beliau
tetap tidak memberikanku izin dengan berbagai alasan. Tega sekali.
Inilah salah satu hal yang membuatku galau
berlarut-larut. Dan itu membuatku terus-terusan gelisah, malas melakukan ini
itu, enggan keluar rumah, dan cenderung gampang sakit kepala karena pikiranku
hanya ‘ingin ke Jawa’ terus. Padahal disana banyak teman-teman yang
merindukanku, mereka selalu menanyakan kapan aku pulang kesana, tak jarang
memintaku untuk cepat-cepat kesana, paling tidak saat lebaran. Tapi apa daya,
aku bisa apa tanpa izin dari Papaku yang galak itu.
Oke, sepertinya sudah cukup tentang masalahku dengan
Papaku itu.
Kali ini aku akan bercerita tentang masalahku yang lain.
Tentang kisah asmaraku yang selalu saja berujung galau. Kenapa selalu berujung
galau? Entahlah, mungkin sudah jadi nasibku begini. Mungkin kini aku memang
belum ditakdirkan untuk berjodoh dengan siapapun. Mungkin aku harus melalui
banyak fase untuk benar-benar menemukan jodohku yang sebenarnya. Hei, apa aneh
kalau berbicara soal jodoh? Aku kan sudah 20 tahun, toh banyak juga temanku
yang sudah menemukan jodoh mereka masing-masing.
Aku yang
sekarang ini adalah orang yang dengan mudah meluapkan emosi juga perasaan. Aku
seakan tidak peduli dengan anggapan dan penilaian orang terhadapku. Apalagi
mereka yang tiap hari membaca status Facebook atau Timeline Twitterku, yang
sering penuh dengan celotehan galauku yang membosankan itu. Banyak dari mereka
pasti memakiku dalam hati. Ini bukan suudzon, tapi memang begitu kan? Mengaku
saja.
Aku yang
sekarang ini juga adalah orang yang tidak bisa diam saja jika mengalami
masalah. Aku perlu bercerita dengan seseorang, atau kalau tidak ada yang mau
mendengarkan aku luapkan saja pada timeline Twitter, atau membuat cerpen lewat
notes di Facebook.
Aku yang sekarang ini juga adalah orang yang mudah sekali
berubah emosi. Kadang dalam sehari aku bisa tertawa, cekikikan, dan tidak
merasa sedih sama sekali. Namun saat ada suatu hal yang membuatku sedih, aku
langsung down. Aku tiba-tiba berubah
menjadi orang yang marah dengan norak. Sasaran kemarahanku tentu saja media
sosial. Tentu saja sikapku itu membuat banyak orang merasa terganggu, risih
atau menganggapku aneh. Tapi bukankah itu hak pribadi? Selama bisa
dipertanggungjawabkan sendiri kenapa dibikin pusing?
Jadi intinya
mau ngomongin soal apa sih? Intermezzo mulu.
Ehm. Jadi begini.
Dua tahun
belakangan hatiku selalu dipenuhi oleh satu nama yang sulit sekali enyah dari
sana. Nama itu seakan enggan pergi sebelum aku usir paksa dengan meminta
bantuan orang lain. Maksudnya disini adalah, aku mungkin akan melupakan nama
itu setelah ada orang lain yang berhasil membuatku benar-benar jatuh cinta. Dan
kurasa itu terjadi sekarang.
Orang kurang
beruntung yang aku sukai itu sebenarnya bukan orang baru dalam kisahku. Dia
seorang teman yang sudah cukup lama kukenal, yang sebenarnya sudah kusukai dari
dulu. Tapi aku tak berhasil mendapatkan hatinya. Meski begitu kami tetap
berteman baik sampai sekarang.
Masalahnya disini adalah, aku tidak tahu harus berbuat
apa dengan perasaan ini.
Ada banyak orang
baik di dunia ini. Tipe orang baik itupun beragam. Ada yang baik karena modus.
Ada juga yang baik karena mengharap imbalan. Tak jarang juga ada yang
benar-benar baik karena memang dia tulus. Terkadang aku tidak bisa membedakan
semua itu, entah karena aku yang terlalu polos atau aku yang mudah dibodohi.
Begitupun dengan masalah hati, aku kadang tidak bisa membedakan mana yang
benar-benar menyukaiku, atau yang sekedar main-main. Padahal dulu aku cukup
handal dalam hal ini, aku bisa peka dengan orang yang sedang dekat denganku.
Aku bisa tahu dengan mudah apakah orang itu benar menyukaiku atau tidak. Apakah
orang itu tulus atau Cuma modus. Tapi sekarang? Entahlah. Kemampuan kepekaanku
sekarang menjadi samar. Aku tidak bisa lagi menerka, tak mampu melihat hitam
atau putih, hanya ada abu-abu.
Melihat
orang yang aku sukai, aku jadi ingat pada karakter manga Nisekoi yang bernama
Ichijou Raku. Dia adalah tokoh protagonis dalam cerita manga itu. Karakternya baik,
suka menolong teman-temannya, juga pandai memasak. Namun dalam soal cinta, dia
sangat payah. Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya pada gadis yang dia
suka. Dia pun tidak bisa peka dengan perasaan gadis yang menyukai dia. Disisi
lain, banyak gadis yang dekat dengan dia yang
diam-diam menyukainya karena kebaikan hatinya yang luar biasa. Dia perhatian
pada temannya, rela berkorban demi temannya, selalu membantu temannya dengan
tulus. Yang mungkin kalau di realitanya ada orang seperti itu, pasti sikapnya
suka disalahartikan. Oleh orang yang mudah GR.
Selama aku
hidup, aku jarang sekali dekat dengan teman laki-laki. Kalaupun dekat, itupun
karena dalam masa-masa PDKT. Selain itu, jarang sekali teman laki-laki yang
dekat denganku. Dekat disini adalah akrab seperti sahabat, bukan dekat karena
sedang modus. Jarang sekali ada teman laki-laki yang menaruh perhatian padaku.
Jarang sekali ada teman laki-laki yang instensif berkomunikasi denganku lewat
chatting atau media sosial.
Kecuali orang
itu. Dia adalah satu-satunya teman laki-laki yang dimataku begitu baik dan
perhatian. Dan seperti tokoh Ichijou Raku, dia perhatian kepada siapapun
temannya. Dia siap membantu teman jika memang diperlukan. Tapi juga tidak peka
dengan perasaan orang yang menyukainya. Aku.
Disinilah
kebodohanku yang baru aku sadari. Aku sering mengira segala perhatiannya adalah
bentuk perasaannya padaku, aku sering merasa kalau dia juga diam-diam
menyukaiku. Karena dia selalu bisa membuatku merasa spesial. Dan akupun berharap
jika aku juga spesial dihatinya.
Tapi sepertinya aku salah besar. Mungkin selama ini aku
Cuma terlalu GR dan menaruh banyak harap pada dia. Karena segala perhatiannya
itu hanya sekedar simpati, bukan rasa cinta. Dia menganggapku seperti dia
menganggap teman-temannya yang lain. Dia memperlakukanku seperti dia
memperlakukan temannya yang lain. Seperti Ichijou Raku yang selalu baik kepada
temannya tanpa pamrih. Seperti Ichijou Raku yang tak mengerti bahwa disana ada
gadis yang begitu menyukai juga mengharapkannya.
Itulah
mengapa kukatakan bahwa kemampuan kepekaanku sudah tidak berfungsi lagi. Aku
tidak bisa melihat hitam atau putih. Aku tidak bisa melihat apakah dia baik
karena sekedar simpati atau karena rasa cinta. Aku merasa sangat payah disini.
Lagi-lagi aku tidak bisa meraihnya, aku tidak bisa meraih dia yang kucintai
selama ini. Lagi-lagi aku harus terus memendam luka. Lagi-lagi cintaku tak terbalas sebelum
kuungkapkan langsung kepadanya.
Tak mengapa
jika dia tidak memiliki rasa yang lebih dari sekedar teman, tapi yang kurasa
pedih adalah kebodohanku sendiri. Harusnya aku jangan dulu merasa GR dan
menaruh banyak harap pada dia yang belum tentu juga menyukaiku. Harusnya aku
bisa berkaca pada pengalaman cintaku yang sudah-sudah.
Lalu aku
harus apa sekarang? Aku sudah meluapkan segala uneg-uneg ini dimana-mana. Aku
sudah mencurahkan isi hatiku pada sahabatku. Tapi kenapa hatiku belum
sepenuhnya lega? Aku merasa masih ada yang mengangguku disana. Mungkin aku
perlu ketegasan langsung darinya. Aku mungkin harus dengar langsung dari dia,
apakah dia benar hanya menganggapku teman atau.. ah sudahlah. Aku malah justru
akan semakin berharap jika seperti itu. Harusnya sekarang aku bisa lebih kalem,
lebih tenang menghadapi masalahku sendiri. Toh sebenarnya ini masalah sepele,
bisa jadi rumit karena aku sendiri yang membuatnya rumit.
Jadi inti
dari semua ini apa?
Aku Cuma
ingin berbagi cerita. Aku Cuma ingin mengungkapkan perasaanku. Sudah kubilang kan
kalau aku tidak bisa memendam perasaanku. Bisa bikin stres.
Juga
sekaligus memberi pesan pada orang yang juga tidak bisa membedakan mana simpati
mana cinta, untuk jangan GR terlebih dulu. Karena belum tentu yang kamu sukai merasakan
apa yang kamu rasakan. Mungkin segala perhatiannya Cuma sekedar modus. Atau mungkin
dia benar-benar baik padamu karena cuma simpati.
Setelah
merasakan semua ini, aku jadi sadar satu hal. Cinta itu bukan hanya sekedar
perhatian atau kata-kata gombal. Cinta itu sebuah ketulusan. Cinta itu yang
tidak memaksakan. Dan cinta itu adalah putih, bukan hitam. Apalagi abu-abu.
Lalu kapan
aku akan menemukan Si Putih ini? Lalu kapan aku akan diberi izin untuk kembali
ke Jawa?
Sebuah
ungkapan hati. Sebuah kejujuran perasaan. Sebuah penggalan kisah yang belum
selesai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar