Kamis, 07 Agustus 2014

Love Live Loneliness



Saat kutulis ini, aku sedang dalam suasanan hati yang kacau. Aku bingung, aku cemas, aku panik, aku takut. Campuraduk. Aku seperti orang yang tersesat di gang dan kebingungan mencari jalan keluar. Kepalaku pusing sekali, seperti ada banyak bom bom car yang saling tabrak disana. Padahal sebenarnya ini bukan masalah yang rumit, bukan juga masalah yang harusnya dibesar-besarkan. Aku sendiri lah yang dengan tidak sengaja membuatnya menjadi rumit untukku sendiri. Aku yang membuat, aku sendiri pula yang terkena imbasnya. Pusing sendiri. Ini agak aneh, aku hanya mendapatkan ketenangan saat aku beribadah saja, lalu setelah itu? Aku kembali pusing lagi kalau pikiranku sedang kosong. Mungkin memang harusnya aku tidak boleh membiarkan pikiranku kosong, aku harus melakukan sesuatu!
Dan yang kulakukan adalah.... ya sekarang ini. Aku menulis, menuangkan apapun yang ada dalam kepalaku. Mencurahkan semua yang ada dalam pikiranku. Aku mau menulis semua yang ingin aku tulis, menulis semua yang menjadi uneg-unegku saat ini.
Baiklah, akan kuawali dengan bercerita sedikit tentang kehidupanku saat ini. Aku sekarang tinggal diluar pulau Jawa, tempat dimana Papaku lahir dan dibesarkan. Kampung halaman Papaku, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Aku tinggal bersama keluarga intiku, Papa, Mama dan adik perempuanku satu-satunya. Aku meninggalkan kampung halamanku di Jawa demi hidup bersama mereka. Ya, karena setelah Papa menjemput Mama untuk ikut ke Sulawesi pada saat aku kelas 1 SMP, aku tinggal bersama Nenekku di Jawa. Beliaulah yang merawatku selama lima tahun lamanya, sejak Mama dan adikku mengikuti Papa tinggal di Sulawesi. Sejak aku SMP sampai aku lulus SMK. Selama lima tahun itulah aku hidup mandiri tanpa Mama.
Awalnya aku merasa sedih sekali saat Mama memutuskan tinggal di Sulawesi dengan Papa, aku tidak terima dan sempat marah kepada beliau. Tapi setelah kupikir lagi, mungkin inilah yang Mama inginkan selama ini; hidup bersama Suami. Ya, karena selama bertahun-tahun orangtuaku menjalani Long Distance Relationship. (Emang Cuma anak pacaran doang yang bisaaa??)
Mama dan Papa hidup terpisah bertahun-tahun, tapi bukan karena ada problem atau apa. Semua ini terpaksa mereka lakukan agar bisa mencukupi kebutuhan. Dulu Papa tidak punya pekerjaan yang tetap, beliau berpindah-pindah tempat kerja. Pernah di Jakarta, Semarang, sampai Kalimantan. Sedangkan Mama dan aku tinggal dirumah Nenek di Jawa, sampai akhirnya saat umurku 12 tahun adik perempuanku lahir. Dan di pertengahan 2007 itulah saat aku berpisah dengan Mama dan adikku. Aku sih tidak masalah kembali ditinggal Papa, karena aku sudah terbiasa jauh dengan beliau. Tapi Mama? Bayangkan saja, selama 12 tahun kamu hidup kamu hanya dirawat oleh Mama dan Nenekmu, lalu setelah itu kamu ditinggalkan dan terpaksa hidup mandiri tanpa orang yang merawatmu, membiayai hidupmu, dalam waktu yang tidak ditentukan. Bagaimana coba rasanya? Sedih kan? Dan taukah apa yang paling membuatku sedih? Pertama adalah saat Hari Raya umat Islam sedunia, Hari Raya Idul Fitri. Aku tidak bisa meminta maaf langsung pada Mama, padahal selama 12 tahun kami selalu merayakan Lebaran bersama. Jangan tanya soal Papa, kan sudah kubilang aku sudah terbiasa hidup terpisah dengan beliau. Yang kedua saat kelulusan SMP atau SMK, Mama tidak menyaksikan perjuanganku secara langsung, juga tidak bisa melihatku saat di wisuda. Momen yang harusnya tidak dilewatkan oleh anak dan orangtuanya itu malah kujalani tanpa Mama. Aku tidak bisa melihat langsung bagaimana bangganya Mama melihatku lulus dengan nilai yang cukup baik. Aku tidak bisa merasakan pelukan Mama saat kelulusan itu. Sedih sekali...
Dan.. Itulah alasan mengapa aku akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sulawesi setelah lulus SMK, karena aku ingin hidup bersama orangtuaku. Dengan terpaksa aku meninggalkan Nenekku, saudara-saudaraku, juga teman-temanku yang ada disana.
Namun yang anehnya... setelah dua tahun tinggal di Sulawesi, aku malah ingin sekali kembali ke Jawa. Ya memang bukan kembali untuk tinggal lagi disana, aku Cuma ingin kerja disana agar lebih mudah bertemu teman dan saudaraku. Tapi yang namanya keinginan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Karena nyatanya aku dilarang kembali kesana oleh Papa. Aku tidak diberi izin untuk mencari pekerjaan disana, padahal berkali-kali aku merengek sambil memelas. Tapi beliau tetap tidak memberikanku izin dengan berbagai alasan. Tega sekali.
Inilah salah satu hal yang membuatku galau berlarut-larut. Dan itu membuatku terus-terusan gelisah, malas melakukan ini itu, enggan keluar rumah, dan cenderung gampang sakit kepala karena pikiranku hanya ‘ingin ke Jawa’ terus. Padahal disana banyak teman-teman yang merindukanku, mereka selalu menanyakan kapan aku pulang kesana, tak jarang memintaku untuk cepat-cepat kesana, paling tidak saat lebaran. Tapi apa daya, aku bisa apa tanpa izin dari Papaku yang galak itu.
Oke, sepertinya sudah cukup tentang masalahku dengan Papaku itu.
Kali ini aku akan bercerita tentang masalahku yang lain. Tentang kisah asmaraku yang selalu saja berujung galau. Kenapa selalu berujung galau? Entahlah, mungkin sudah jadi nasibku begini. Mungkin kini aku memang belum ditakdirkan untuk berjodoh dengan siapapun. Mungkin aku harus melalui banyak fase untuk benar-benar menemukan jodohku yang sebenarnya. Hei, apa aneh kalau berbicara soal jodoh? Aku kan sudah 20 tahun, toh banyak juga temanku yang sudah menemukan jodoh mereka masing-masing.
Aku yang sekarang ini adalah orang yang dengan mudah meluapkan emosi juga perasaan. Aku seakan tidak peduli dengan anggapan dan penilaian orang terhadapku. Apalagi mereka yang tiap hari membaca status Facebook atau Timeline Twitterku, yang sering penuh dengan celotehan galauku yang membosankan itu. Banyak dari mereka pasti memakiku dalam hati. Ini bukan suudzon, tapi memang begitu kan? Mengaku saja.
Aku yang sekarang ini juga adalah orang yang tidak bisa diam saja jika mengalami masalah. Aku perlu bercerita dengan seseorang, atau kalau tidak ada yang mau mendengarkan aku luapkan saja pada timeline Twitter, atau membuat cerpen lewat notes di Facebook.
Aku yang sekarang ini juga adalah orang yang mudah sekali berubah emosi. Kadang dalam sehari aku bisa tertawa, cekikikan, dan tidak merasa sedih sama sekali. Namun saat ada suatu hal yang membuatku sedih, aku langsung down. Aku tiba-tiba berubah menjadi orang yang marah dengan norak. Sasaran kemarahanku tentu saja media sosial. Tentu saja sikapku itu membuat banyak orang merasa terganggu, risih atau menganggapku aneh. Tapi bukankah itu hak pribadi? Selama bisa dipertanggungjawabkan sendiri kenapa dibikin pusing?
Jadi intinya mau ngomongin soal apa sih? Intermezzo mulu.
Ehm. Jadi begini.
Dua tahun belakangan hatiku selalu dipenuhi oleh satu nama yang sulit sekali enyah dari sana. Nama itu seakan enggan pergi sebelum aku usir paksa dengan meminta bantuan orang lain. Maksudnya disini adalah, aku mungkin akan melupakan nama itu setelah ada orang lain yang berhasil membuatku benar-benar jatuh cinta. Dan kurasa itu terjadi sekarang.
Orang kurang beruntung yang aku sukai itu sebenarnya bukan orang baru dalam kisahku. Dia seorang teman yang sudah cukup lama kukenal, yang sebenarnya sudah kusukai dari dulu. Tapi aku tak berhasil mendapatkan hatinya. Meski begitu kami tetap berteman baik sampai sekarang.
Masalahnya disini adalah, aku tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaan ini.
Ada banyak orang baik di dunia ini. Tipe orang baik itupun beragam. Ada yang baik karena modus. Ada juga yang baik karena mengharap imbalan. Tak jarang juga ada yang benar-benar baik karena memang dia tulus. Terkadang aku tidak bisa membedakan semua itu, entah karena aku yang terlalu polos atau aku yang mudah dibodohi. Begitupun dengan masalah hati, aku kadang tidak bisa membedakan mana yang benar-benar menyukaiku, atau yang sekedar main-main. Padahal dulu aku cukup handal dalam hal ini, aku bisa peka dengan orang yang sedang dekat denganku. Aku bisa tahu dengan mudah apakah orang itu benar menyukaiku atau tidak. Apakah orang itu tulus atau Cuma modus. Tapi sekarang? Entahlah. Kemampuan kepekaanku sekarang menjadi samar. Aku tidak bisa lagi menerka, tak mampu melihat hitam atau putih, hanya ada abu-abu.
Melihat orang yang aku sukai, aku jadi ingat pada karakter manga Nisekoi yang bernama Ichijou Raku. Dia adalah tokoh protagonis dalam cerita manga itu. Karakternya baik, suka menolong teman-temannya, juga pandai memasak. Namun dalam soal cinta, dia sangat payah. Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya pada gadis yang dia suka. Dia pun tidak bisa peka dengan perasaan gadis yang menyukai dia. Disisi lain, banyak gadis yang dekat dengan dia yang  diam-diam menyukainya karena kebaikan hatinya yang luar biasa. Dia perhatian pada temannya, rela berkorban demi temannya, selalu membantu temannya dengan tulus. Yang mungkin kalau di realitanya ada orang seperti itu, pasti sikapnya suka disalahartikan. Oleh orang yang mudah GR.
Selama aku hidup, aku jarang sekali dekat dengan teman laki-laki. Kalaupun dekat, itupun karena dalam masa-masa PDKT. Selain itu, jarang sekali teman laki-laki yang dekat denganku. Dekat disini adalah akrab seperti sahabat, bukan dekat karena sedang modus. Jarang sekali ada teman laki-laki yang menaruh perhatian padaku. Jarang sekali ada teman laki-laki yang instensif berkomunikasi denganku lewat chatting atau media sosial.
Kecuali orang itu. Dia adalah satu-satunya teman laki-laki yang dimataku begitu baik dan perhatian. Dan seperti tokoh Ichijou Raku, dia perhatian kepada siapapun temannya. Dia siap membantu teman jika memang diperlukan. Tapi juga tidak peka dengan perasaan orang yang menyukainya. Aku.
Disinilah kebodohanku yang baru aku sadari. Aku sering mengira segala perhatiannya adalah bentuk perasaannya padaku, aku sering merasa kalau dia juga diam-diam menyukaiku. Karena dia selalu bisa membuatku merasa spesial. Dan akupun berharap jika aku juga spesial dihatinya.
Tapi sepertinya aku salah besar. Mungkin selama ini aku Cuma terlalu GR dan menaruh banyak harap pada dia. Karena segala perhatiannya itu hanya sekedar simpati, bukan rasa cinta. Dia menganggapku seperti dia menganggap teman-temannya yang lain. Dia memperlakukanku seperti dia memperlakukan temannya yang lain. Seperti Ichijou Raku yang selalu baik kepada temannya tanpa pamrih. Seperti Ichijou Raku yang tak mengerti bahwa disana ada gadis yang begitu menyukai juga mengharapkannya.
Itulah mengapa kukatakan bahwa kemampuan kepekaanku sudah tidak berfungsi lagi. Aku tidak bisa melihat hitam atau putih. Aku tidak bisa melihat apakah dia baik karena sekedar simpati atau karena rasa cinta. Aku merasa sangat payah disini. Lagi-lagi aku tidak bisa meraihnya, aku tidak bisa meraih dia yang kucintai selama ini. Lagi-lagi aku harus terus memendam luka.  Lagi-lagi cintaku tak terbalas sebelum kuungkapkan langsung kepadanya.
Tak mengapa jika dia tidak memiliki rasa yang lebih dari sekedar teman, tapi yang kurasa pedih adalah kebodohanku sendiri. Harusnya aku jangan dulu merasa GR dan menaruh banyak harap pada dia yang belum tentu juga menyukaiku. Harusnya aku bisa berkaca pada pengalaman cintaku yang sudah-sudah.

Lalu aku harus apa sekarang? Aku sudah meluapkan segala uneg-uneg ini dimana-mana. Aku sudah mencurahkan isi hatiku pada sahabatku. Tapi kenapa hatiku belum sepenuhnya lega? Aku merasa masih ada yang mengangguku disana. Mungkin aku perlu ketegasan langsung darinya. Aku mungkin harus dengar langsung dari dia, apakah dia benar hanya menganggapku teman atau.. ah sudahlah. Aku malah justru akan semakin berharap jika seperti itu. Harusnya sekarang aku bisa lebih kalem, lebih tenang menghadapi masalahku sendiri. Toh sebenarnya ini masalah sepele, bisa jadi rumit karena aku sendiri yang membuatnya rumit.

Jadi inti dari semua ini apa?
Aku Cuma ingin berbagi cerita. Aku Cuma ingin mengungkapkan perasaanku. Sudah kubilang kan kalau aku tidak bisa memendam perasaanku. Bisa bikin stres.
Juga sekaligus memberi pesan pada orang yang juga tidak bisa membedakan mana simpati mana cinta, untuk jangan GR terlebih dulu. Karena belum tentu yang kamu sukai merasakan apa yang kamu rasakan. Mungkin segala perhatiannya Cuma sekedar modus. Atau mungkin dia benar-benar baik padamu karena cuma simpati.
Setelah merasakan semua ini, aku jadi sadar satu hal. Cinta itu bukan hanya sekedar perhatian atau kata-kata gombal. Cinta itu sebuah ketulusan. Cinta itu yang tidak memaksakan. Dan cinta itu adalah putih, bukan hitam. Apalagi abu-abu.

Lalu kapan aku akan menemukan Si Putih ini? Lalu kapan aku akan diberi izin untuk kembali ke Jawa?

Sebuah ungkapan hati. Sebuah kejujuran perasaan. Sebuah penggalan kisah yang belum selesai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar