Jumat, 08 Agustus 2014

Terjebak Friendzone


TUNG!!
Sebuah pesan Blackberry Messanger muncul disaat aku menguap lebar. Aku melirik dosen yang tengah sibuk memberikan uraian materi.  Uh, untung saja volume suara notifikasinya tidak kencang. Aku pun mengambil handphone yang berada di saku celanaku.

‘Pagi ini aku sarapan nasi goreng buatan Mommy ku, Ol. Bagaimana dengan sarapanmu? Ah, aku lupa. kamu kan tidak pernah sarapan ya. *tepukjidat*’

Aku tersenyum tipis membacanya. Remy Anggara. Entah sejak kapan orang itu kembali  mengisi kekosongan hatiku.

‘Kau itu pemuda payah, Rem. Pelupa. Pikun. Ufufufuu, not cool!’

Klik send. Kemudian aku cengar-cengir sendiri menunggu balasan berikutnya.

TUNG!! Balasan dari Remy.

‘Hey, aku ini cool tau. Aku cool kayak Tsubasa!’

‘Apah? Tsubasa? Tsubasa oon aja dibanggakan. Kamu itu sama sekali tidak cool, Rem. Percayalah..’

‘Kamu jahat, Ol. *mrengut*’

Aku menahan tawa geliku sendiri. Dia selalu saja seperti itu, penyakit narsisnya memang nggak ketulungan. Tapi itulah yang unik dari dia.  Yah, karena akhirnya Remy yang berhasil mengusir rasa kantukku di kelas. Bukan Cuma hari ini, tapi hampir setiap hari.
Aku nggak pernah menyangka, tiba-tiba saja aku kembali dekat dengan Remy setelah beberapa bulan aku nggak pernah berkomunikasi dengannya. Mungkin kali ini aku harus berterimakasih kepada fitur Broadcast Messages, karena berkat itulah aku kembali berkomunikasi dengan Remy.
Yap, sebuah Broadcat Messages dari dia waktu itu mengawali kembali kedekatan kami. Saat itu aku sedang dalam kondisi rentan galau gara-gara kekosongan hati. Dan saat Broadcast itu datang, aku sebenarnya nggak ada niat untuk meladeni. Tapi daripada aku terus-terusan melamunkan hal yang tidak penting akupun mencoba membalasnya. Bak gayung bersambut, dia pun membalas kembali. Entah kenapa aku merasa senang bisa berbalas pesan lagi dengannya setelah sekian lama lost contact.  Gaya berbalas pesan kami pun masih sama seperti saat dulu sebelum berjauhan, kami sering menggunakan kata-kata baku seperti percakapan yang ada di komik Jepang. Sesekali menggunakan istilah-istilah aneh yang Cuma diketahui sama pencinta manga.
Dan akhirnya kegiatan berbalas pesan itu pun sampai pada di detik ini. Detik dimana detak jantungku akan berdebar sangat kencang saat bertemu dengannya.
Sepertinya perasaanku yang dulu sempat pudar padanya muncul kembali tanpa diminta. Aku jatuh cinta.
*
“Rem!”, panggilku dengan suara lantang. Remy terkaget lalu mencari-cari sosok yang memanggilnya. Akupun melambaikan tangan agar Remy melihatku. Beruntung mata Remy bisa cepat melihat lambaian tanganku. Diapun menghampiriku di salah satu bangku kafetaria.
“Udah nggak ada kelas lagi, Ol?”, tanya cowok berambut ikal itu sambil menarik bangku.
“Enggak. Niatnya abis ini mau pulang sih, kalau kamu?”
“Aku masih ada kelas sebenarnya, tapi dosennya absen tuh katanya.”
“Ah, pulang aja kalau gitu mah.”
“Tugas Ol, tugas. Meskipun dosennya absen tapi tugas ya tetep jalan keleus.” Ujarnya sambil sedikit memonyongkan bibirnya dengan gaya alayers. Aku spontan menepuk bahunya pelan.
“Itu bibirnya tolong dikondisikan ya!”
Remy tertawa. Aku langsung tertegun melihatnya. Dia tampan sekali kalau sedang tertawa begitu. Ah, aku meleleh dibuatnya.
“Ol, lihat deh,” Remy menunjukkan sebuah kertas berisi tugas yang harus dia selesaikan hari ini juga.  Aku tercengang, itu tugas dalam sehari segitu banyaknya?
“Terlalu ya? Bener-bener ribet nih jadi anak hukum.” Remy menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
“Lah, salah siapa milih fakultas hukum. Lagian ya Rem, tampangmu itu nggak cocok jadi anak hukum tau.”
“Kenapa nggak cocok? Terus cocoknya jadi apa dong?”

‘Cocoknya jadi pacar aku, Rem..’

Woh! Hampir aja aku kelepasan mengucapkan kalimat konyol itu. Apa yang kamu pikirkan Olla?!

“Aku kan cool, cocok buat jadi apa aja kali.” Ucapnya dengan pede. Aku mencibir.
“Kamu itu nggak cool.” Padahal sih cool banget.
“Aku cool, Olla.”
“Enggak, Rem. Pede bener sih jadi orang?”
“Pede itu penting, Ol.”
“Iya tapi kan..”
“Plis Ol, kamu ngalah ya kali ini. Plis Ol, plis!”, Remy pasang tampang memelas.
Aku menghela napas pendek. “Iya deh..”
“Yes!”, seru Remy puas.
Aku tertawa pelan.
*

TUNG!!
Aku buru-buru mengambil handphone ku diatas meja belajar ditengah kegiatan gosok gigi yang belum kelar. Berharapnya sih itu pesan BBM dari Remy.

‘La, aku main ke kosan kamu yak. Sekalian numpang mandi. Air di kosan aku mati nih.’

Sialan. Ternyata dari temanku, Riris.

Aku pun membalas dengan sedikit kecewa. ‘Dateng aja. Sekalian aku mau curhat.’

Setelah klik send aku pun melempar handphone ku ke meja dan kembali ke kamar mandi, melanjutkan kegiatan gosok gigiku yang tertunda.

Gara-gara Remy, setiap ada bunyi notifikasi dari handphone ku, aku selalu deg-degan dibuatnya. Setiap ada bunyi TUNG!! aku selalu berpikir kalau itu pesan dari Remy. Tapi ternyata dugaanku sering salah, Remy tidak seintensif itu menghubungiku lewat pesan. Kami memang lumayan sering chatting, tapi itupun karena aku yang memulainya duluan. Atau Remy yang mengawali tapi karena membalas pesanku di malam sebelumnya. Dia memang cowok yang tergolong cuek, bukan tipe cowok yang suka tebar pesona, cari perhatian atau semacamnya.  Namun ketika mengobrol dengannya, keramahan dan kesupelannya terlihat sangat jelas. Dia bisa jadi teman ngobrol yang asik. Cuma ya itu, dia kurang peka. Makanya aku selalu dibuat penasaran oleh sikapnya. Bikin aku sering bertanya sendiri, sebenarnya dia itu, tertarik padaku atau tidak?
 *
“Remy Anggara, anak fakultas hukum? Siapa tuh? Aku nggak paham.”, tanya Riris begitu selesai mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.
Aku menepuk dahiku sendiri. “Buset deh masa nggak tau sih?”
“Olla, aku kan anak teknik, ya mana paham sama anak hukum, ih.” Riris melempar handuknya kearahku.
“Eh sialan!”, aku balik melempar handuk pada Riris. “Tapi pacar kamu kan anak hukum, Ris. Ya siapa tau kenal.”
“Aku mah nggak pernah kenal sama teman-teman pacarku, La.”
“Loh kok gitu?”, aku tercenung.
“Lebih tepatnya sih nggak paham ya, mungkin aja aku pernah lihat orangnya Cuma nggak tau namanya. Lagian Aldi itu orangnya cemburuan banget, mana mungkin dia ngenalin aku ke temen-temennya. Dia udah terlalu takut duluan aku bakal dilirik sama temennya, aku kan cakep La. Wajar.”
Aku memasang tampang ingin muntah. Riris ternyata sama narsisnya dengan Remy.
“Emang kayak gimana anaknya?”, tanya Riris setelah mencubitku gara-gara melihat tampang mau muntahku.
“Ya cakep lah, Ris. Tinggi, kulitnya lumayan putih kalau untuk ukuran cowok, rambutnya ikal, hidungnya mancung. Dia juga jago main bola, dan jago bikin karakter manga Jepang gitu. Keren deh pokoknya.”, jawabku dengan wajah berapi-api. Seperti ingin meyakinkan Riris kalau aku tidak jatuh cinta dengan orang yang salah.
“Sifatnya gimana?”, tanyanya lagi.
“Sifatnya lucu, konyol, dan kalau lagi ngobrol sama dia tuh rasanya kayak sebentar banget tau nggak. Asik banget soalnya, orangnya supel banget sih.”, aku menyuap chips kentang ke mulutku, mengunyahnya pelan. “Eh tapi, aku tuh jarang banget curhat-curhat sama dia, lho Ris. Kami ini kalau ngobrol ya ngobrolin hal-hal yang jauh banget dari masalah pribadi. Kami lebih banyak ngobrolin soal kuliah, masalah tugas, tentang bola, tentang manga Jepang, sampe ngobrolin hal absurd yang Cuma kami sendiri yang paham. Gitu-gitu lah. Aku nggak pernah tau gimana sama masalah pribadi dia, dia lagi dekat sama siapa. Dia nggak pernah curhat sama sekali, pernah sih curhat tapi curhat masalah mau beli sepatu. Nah, akupun sendiri juga jadi nggak enak dong kalau curhat masalah pribadi sama dia.”
“Itu artinya dia cowok introvert, La. Nggak suka ngumbar masalah ke khalayak ramai. Emangnya kamu tuh, apapun di share. Di twitter, facebook, sampe di PM.”
“Yaelah Ris, wajar kali. Aku kan bergolongan darah B, dan yang bergolongan B itu tipikal orang yang cerewet dan blak-blakan.” Ujarku ngeles.

Eh tunggu. Bukannya Remy juga bergolongan darah B ya?

“Percaya kok sama ramalan golongan darah. Percaya tuh sama sikap, fakta dan bukti, coy.”
“Lah, tapi kan bener, Gimana dong?”
“Emang kamu suka banget sama dia?”, Riris kembali ke topik utama.
“Remy? Iyalah. Dulu aku sempat ngejauhin dia gara-gara mantannya yang rese, tapi sekarang aku kayak dikasih kesempatan kedua. Aku nggak bakal menyia-nyiakannya dong, Ris.”
“Yakin kamu suka beneran sama dia?”
“Yakin lah!”
“Kamu yakin nggak kalau dia juga suka sama kamu?”

JLEB!! Pertanyaan Riris membuatku bergeming. Menusuk sekali. Tapi benar juga, dan begonya aku baru sempat terpikir oleh sesuatu yang telah kulewatkan itu. Sebuah pertanyaan; Apakah dia juga menyukaiku?

*
Aku melirik handphoneku. Sempat terpikir untuk mengirim pesan ke Remy tapi berkali aku urungkan. Sebenarnya aku ingin berbincang dengannya lewat chat, tapi aku takut dia akan bosan kalau terlalu sering mendapat pesan dariku. Ah, ini membuat bimbang. Aku mau, tapi malu. Aku rindu, tapi gengsi.

TUNG!! Sebuah pesan BBM.

‘Hi, Ol! Lagi ngapain?’

Satu-satunya manusia yang memanggilku ‘Ol’ adalah Remy. Aku kontan melonjak kegirangan. Remy baca pikiranku! Remy baca pikiranku!
Aku membalasnya dengan jari bergetar hebat.

‘Hi, Rem. Lagi santai nih. What Can I do for you?’ Klik send.

Remy membalas dengan cepat. ‘Wah, nganggur nih? Mending nonton futsal aja yuk, gimana? ntar aku jemput kamu.’

Aku terperangah. Diajak nonton futsal? Boleh juga. Kapan lagi bisa keluar bareng Remy.

‘Oke. Ayok.’

Aku pun bergegas mengganti bajuku dengan jersey kesayanganku; jersey Manchester City.  Yeah, aku ini tipe orang yang suka mencocokan pakaian dengan jenis kegiatan. Kalau mau kuliah ya pakai kemeja, kalau mau hangout ya pake kaos dan jeans. Dan kali ini nonton futsal, ya jelas pake jersey bola dong. Beruntung aku termasuk cewek yang suka bola, bahkan punya klub andalan. Ya meski awalnya aku suka Manchester City gara-gara itu klub favoritnya Irham.
Eh tunggu. Kok tiba-tiba ingat Irham lagi?

*
Dan disinilah aku dan Remy, duduk bersebelahan di tepi lapangan futsal seperti pasangan yang terlihat tak kompak. Lebih tepatnya seperti pasangan yang punya klub andalan masing-masing. Aku penggemar liga Inggris, Remy penggemar Serie A Italia. Eh tapi, aku sama Remy kan memang bukan pasangan.
Aku melirik Remy yang fokus menonton teman-temannya bertanding. Dia tampan sekali dengan jersey favoritnya itu. Kulitnya yang lumayan putih terlihat cocok dengan jersey merah-hitam khas AC Milan itu. Rambut ikalnya yang dipangkas pendek macam model rambutnya Al Ghazali itu terlihat makin mempesona tiap harinya. Sesekali dia terlihat menggumam sendiri sambil matanya tak lepas dari lapangan. Dalam diamnya itu dia sungguh terlihat menawan dimataku, seperti tidak punya cacat sama sekali. Tak salah jika dia selalu menganggap dirinya keren, lah memang nyatanya dia keren sih. Terlalu keren malah. Ah ya ampun, kenapa aku begitu menyukainya begini?
“GOOOLLLL!!!!” Remy bersorak girang seraya berdiri sambil bertepuk tangan dengan heboh. Aku sedikit terkaget karena semenjak tadi kurang fokus dengan pertandingan, aku malah fokus memandang wajah tampan Remy. Dan sepertinya Remy tidak sadar kalau aku terus memandanginya dari tadi. Satu kelemahan dia adalah, ya itu, dia kurang peka.
Aku lalu ikut bertepuk tangan dengan sedikit kikuk.
*
“Cieeh, yang musim ini juara BPL. Selamat ya!”, celetuk Remy setelah memberikan minuman soda kaleng kepadaku. Sekarang kami sudah duduk-duduk di sebuah taman kecil yang tak jauh dari lapangan futsal.
Aku melirik pakaianku sendiri. “Iya dong juara! Akhirnyaa nggak sia-sia juga perjuangan mereka setelah lama bertahan di tempat ketiga klasemen mulu. Eh, malah yang diposisi puncak terus malah terlempar, hahaha.” Aku terkekeh. “City keren kan?”
Remy mengangguk. “Iya keren. Andai aja Milan bisa keren begitu. Eh, enggak. Milan tetep keren. Selamanya tetep keren. Kayak aku.”
Dia mulai lagi narsisnya. Aku menepuk jidatku sendiri.
“Masih ada musim depan, Rem. Pasti bakal ada perubahan kok, masa iya mau terpuruk terus.”
“Sebenarnya mereka tidak terpuruk Ol. Mereka hanya tidak beruntung.”
“Apapun itu yang penting tetep support.”
“Jelas iya lah! Milanisti sejati!”, ucapnya sambil menepuk dadanya sendiri.
“Eh Rem, kok tumben bener ngajakin nonton pertandingan futsal?” tanyaku iseng. Tadi waktu berangkat aku belum sempat menanyakan ini karena terlalu senang diajak pergi oleh Remy.
“Oh itu, aku sih Cuma iseng aja. Ini kebetulan yang main teman-teman akrabku waktu SMA, jadi harus nonton.”
Cuma itu, Rem? Cuma iseng doang? Nggak ada alasan lain macam ‘karena aku mau lebih dekat sama kamu’ atau apa? Tanyaku dalam hati. Tapi mendadak aku jadi ingat pertanyaan Riris kemarin malam; “Kamu yakin nggak kalau dia juga suka sama kamu?”

Aku menghela napas pendek. Andai aja aku bisa baca pikiran dan hati kamu, Rem..

*
Sebuah kalimat yang tertera di display BBM ku membuatku tercengang tak percaya. Apa ini? Ini serius?

‘Pending sayaaaa~ng. #uhuk’

Itu adalah PM (Personal Message, semacam status dalam Blackberry Messangers seperti Facebook) dari Remy. Oke. Aku harus tenang. Aku harus berpikir jernih. Aku nggak boleh buru-buru terpancing. Tapi siapa yang dia sebut ‘sayang’ itu? Setahuku selama ini Remy jomblo, lah terus buat siapa dong? Aku berusaha untuk lebih tenang. Tapi sayangnya aku udah terlanjur terpancing! Apa ini, Tuhan? Apakah Remy udah punya pacar?!

Seketika tangan dan lututku lemas dengan serempak.
*
Riris memandangku dengan tampang iba. “Jadi kamu pikir dia udah punya pacar? Kasian, berarti kamu kurang beruntung La. Kesempatan kedua yang kamu ambil buat dekat lagi sama Remy ternyata nggak menunjukkan hasil yang kamu mau.”
Aku menutup mukaku dengan bantal, menahan tangis yang hampir saja pecah. Kenapa sakit sekali begini?
“Aku udah terlanjur suka banget sama Remy, Ris. Aku mesti gimana?”
“Harusnya kamu nggak naruh banyak harap dulu sama dia, La. Dekat itu bukan berarti ngebet tau.”
“Tapi kan aku udah dekat sama dia lama, Ris. Cuma sempat hilang komunikasi aja beberapa waktu. Harusnya dia peka dong sama semua sikap aku selama ini ke dia.”
“Cowok kok disuruh peka sih, La? Cowok itu nggak bisa membaca kode dari cewek. Dia bakalan tau kalau dikasih tau.” Ucapan Riris lagi-lagi membuat hatiku ter-JLEB!
“Selama ini dia baik banget sama aku, Ris. Dia kayak nunjukin kalau dia juga punya perasaan yang sama.”
“Lah, kan kamu sendiri yang bilang kalau dia orangnya emang ramah, baik dan perhatian ke semua teman-temannya.”
“Iya tapi aku melihatnya tuh lain soal Ris. Aku selalu ngerasa segala perhatiannya itu ya...”
“Mungkin kamunya aja yang keburu GR kali, La.”, Riris memotong. “Kan aku uda bilang, deket itu bukan berarti ngebet. Nih aku kasih tau. Kalian kan sama-sama tau seberapa jauh kedekatan kalian, kalau dia juga punya rasa yang sama pasti dia akan bertindak La. Nembak kek atau ungkapin perasaannya ke kamu. Tapi nyatanya dia nggak ngelakuin kan? Itu artinya apa coba? Ya  berarti dia Cuma menganggap kamu teman biasa.”
Aku bergeming.
“Kamu terjebak sama yang namanya Friendzone, La. Itu adalah ‘suatu keadaan dimana kamu dekat sama seseorang kemudian merasa kedekatan itu sebagai sesuatu yang berharga dan penuh harapan, tapi disisi lain orang yang dekat sama kamu Cuma menganggap itu pertemanan’ (Analogi Cinta Sendiri, Dara Prayoga)

Aku tertegun. Bagus Ris. Kamu bikin hati aku ter-JLEB untuk kesekian kali.
“Intinya ya, Olla sayang. Kalau dia suka kamu, ya dia bertindak. Kalau dia nggak suka, ya dia ga bakal ngapa-ngapain selain nganggap kamu temannya doang. Simpel.”
“Intinya aku kena PHP?”
Riris menepuk bahuku pelan. “Bukan kamu yang terkena PHP,  juga bukan Remy yang nge-PHP kamu, , tapi kamu yang secara nggak langsung udah menikmati PHP itu sendiri. PHP artinya ‘Penikmat Harapan Palsu’ kan?”
“Sejak kapan istilah itu ganti?”, aku mengusap air mata di ujung mata kiriku.
“Udahlah, La. Jangan bikin ribet perasaanmu sendiri. Kamu suka dia, tapi dia gak suka kamu ya udah lupain aja. Ini buat pelajaran kamu juga, biar nggak terlalu menaruh banyak harap sama orang. Tuh!”

Oke. Riris berhasil banget bikin air mataku tumpah malam ini. Yang sangat memungkinkan besok pagi aku bangun dengan mata sembab, atau lebih parah ada lingkaran hitam dibawah mataku seperti panda. Makasih Ris!
*
Seseorang berdiri di depanku dengan membawa satu buket mawar merah muda lengkap dengan jas putih yang dikenakannya. Wajahnya tampan sekali bak pangeran negeri dongeng. Siapa dia? Pandanganku mendadak buram, tak bisa menatap wajahnya dengan jelas.
“Olla, ini buat kamu. Simpan baik-baik ya. Semoga kamu sehat selalu.”, ucap lelaki itu dengan nada lembut.
Tunggu. Aku paham suaranya. Suaranya seperti...
Pandanganku kembali jernih dan aku mampu melihatnya dengan jelas. Aku terperangah tak percaya. Ini serius? Ini bukan sedang bermimpi kan?
“Irham....”
Lelaki dengan jas putih itu pun lenyap dengan perlahan. Aku terperanjat dan kontan menjerit.
“Irham!!!”

Hening. Aku celingukan. Yang kulihat hanya meja belajar di kamar kosku.

Ah sial. Ternyata Cuma mimpi. Tapi kok aneh ya, kenapa disaat aku sering memikirkan Remy malah justru Irham yang muncul dalam mimpiku? Pertanda apa ya? Padahal sudah lama aku tidak memikirkan orang itu, bahkan saat dia tiba-tiba muncul di baris komentar di facebook ku, aku merasa biasa saja. Tidak merasa senang atau mendadak kepikiran dia lalu terjebak nostalgia. Tidak ada perasaan seperti itu sama sekali. Ini aneh.
*

“Hei, Ol!”. Sapa cowok berambut ikal itu dengan wajah ramahnya yang sulit aku lupakan.
“Hei, Rem. Udah nggak ada kelas?”
Remy menggeleng. “Hari ini aku Cuma satu makul, Ol. Kamu udah mau pulang?” tanya Remy balik.
“Iya. Dosennya absen, mending pulang aja.” Jawabku seadanya.
“Eh,  aku duluan ya,  mau main futsal nih.”
“Oh gitu. Ya udah, take care ya.”
Aku pun berlalu meninggalkan Remy tanpa menoleh lagi.
Sejak aku membaca PM Remy dan disadarkan oleh berbagai kalimat Riris yang membuatku ter-JLEB, aku akhirnya memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan Remy. Bukan hal mudah, tapi aku harus berusaha menghilangkan perasaan ini sesegera mungkin. Aku nggak mau stuck dengan perasaan yang (sepertinya) tidak berbalas ini, aku harus segera membuangnya. Meski sebenarnya aku masih sangat penasaran dengan isi hati Remy, aku ingin sekali tau sebenarnya apa yang dia pikirkan tentang aku. Aku ingin sekali tau apa dia juga punya perasaan yang sama terhadap aku atau tidak. Penasaran itu candu, dan juga menyebalkan.
Tapi pada akhirnya kupikir segala rasa penasaran itu lebih baik aku campakan saja. Tidak berguna lagi rasanya. Benar yang dikatakan Riris, kalau Remy juga menyukaiku dia akan bertindak. Tapi nyatanya dia tak bertindak yang semestinya orang jatuh cinta lakukan. Dia tidak terlihat menyukaiku seperti aku menyukai dia. Dia hanya menganggapku teman biasa. Aku harus sadari bahwa segala perhatiannya, segala kebaikannya padaku mungkin selalu aku salah artikan. Aku harusnya tidak terlalu GR dulu. Harusnya..
Mungkin setelah ini hubunganku dengan Remy akan kembali renggang seperti sebelumnya. Bukan karena Remy yang sengaja menjauh, tapi akulah yang harus lebih tahu diri. Aku juga takut kalau terus intensfif menghubunginya atau sekedar menyapanya saat bertemu dikampus, aku akan semakin sulit melupakannya. Padahal sih sebenarnya tidak ingin, tapi apakah aku harus bertahan dengan perasaan yang bertepuk sebelah tangan lagi? Itu melelahkan.
Sudah cukup cintaku tak terbalas dengan tragis oleh Irham. Aku nggak mau itu terulang kembali, aku nggak mau merasakan sakit yang lebih pahit lagi. Hubunganku dengan Remy masih belum ada apa-apanya, kami hanya berhubungan selayaknya teman. Tapi ketika dulu bersama Irham, aku tidak begini. Hubungan kami lebih cenderung ke TTM. Teman Tapi Menjurus.
Itulah mengapa aku butuh waktu lama untuk melupakan Irham, bahkan sangat lama. Dan kalau soal Remy, sepertinya tak akan selama itu selagi aku masih menahan ego untuk tak menghubunginya. Ya, aku akan segera melupakannya.
Ah, terjebak friendzone itu menyedihkan, kawan. Hati-hatilah!

Lalu bagaimana dengan Irham? Ah entahlah, mungkin aku Cuma sedikit kangen padanya.

Pada akhirnya.. Kini hatiku kosong kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar