TUNG!!
Sebuah pesan
Blackberry Messanger muncul disaat aku menguap lebar. Aku melirik dosen yang
tengah sibuk memberikan uraian materi.
Uh, untung saja volume suara notifikasinya tidak kencang. Aku pun
mengambil handphone yang berada di saku celanaku.
‘Pagi ini
aku sarapan nasi goreng buatan Mommy ku, Ol. Bagaimana dengan sarapanmu? Ah,
aku lupa. kamu kan tidak pernah sarapan ya. *tepukjidat*’
Aku
tersenyum tipis membacanya. Remy Anggara. Entah sejak kapan orang itu
kembali mengisi kekosongan hatiku.
‘Kau itu
pemuda payah, Rem. Pelupa. Pikun. Ufufufuu, not cool!’
Klik send.
Kemudian aku cengar-cengir sendiri menunggu balasan berikutnya.
TUNG!!
Balasan dari Remy.
‘Hey, aku
ini cool tau. Aku cool kayak Tsubasa!’
‘Apah?
Tsubasa? Tsubasa oon aja dibanggakan. Kamu itu sama sekali tidak cool, Rem.
Percayalah..’
‘Kamu jahat,
Ol. *mrengut*’
Aku menahan
tawa geliku sendiri. Dia selalu saja seperti itu, penyakit narsisnya memang
nggak ketulungan. Tapi itulah yang unik dari dia. Yah, karena akhirnya Remy yang berhasil
mengusir rasa kantukku di kelas. Bukan Cuma hari ini, tapi hampir setiap hari.
Aku nggak
pernah menyangka, tiba-tiba saja aku kembali dekat dengan Remy setelah beberapa
bulan aku nggak pernah berkomunikasi dengannya. Mungkin kali ini aku harus
berterimakasih kepada fitur Broadcast Messages, karena berkat itulah aku
kembali berkomunikasi dengan Remy.
Yap, sebuah
Broadcat Messages dari dia waktu itu mengawali kembali kedekatan kami. Saat itu
aku sedang dalam kondisi rentan galau gara-gara kekosongan hati. Dan saat
Broadcast itu datang, aku sebenarnya nggak ada niat untuk meladeni. Tapi
daripada aku terus-terusan melamunkan hal yang tidak penting akupun mencoba
membalasnya. Bak gayung bersambut, dia pun membalas kembali. Entah kenapa aku
merasa senang bisa berbalas pesan lagi dengannya setelah sekian lama lost
contact. Gaya berbalas pesan kami pun
masih sama seperti saat dulu sebelum berjauhan, kami sering menggunakan
kata-kata baku seperti percakapan yang ada di komik Jepang. Sesekali menggunakan
istilah-istilah aneh yang Cuma diketahui sama pencinta manga.
Dan akhirnya
kegiatan berbalas pesan itu pun sampai pada di detik ini. Detik dimana detak
jantungku akan berdebar sangat kencang saat bertemu dengannya.
Sepertinya
perasaanku yang dulu sempat pudar padanya muncul kembali tanpa diminta. Aku
jatuh cinta.
*
“Rem!”,
panggilku dengan suara lantang. Remy terkaget lalu mencari-cari sosok yang
memanggilnya. Akupun melambaikan tangan agar Remy melihatku. Beruntung mata
Remy bisa cepat melihat lambaian tanganku. Diapun menghampiriku di salah satu
bangku kafetaria.
“Udah nggak
ada kelas lagi, Ol?”, tanya cowok berambut ikal itu sambil menarik bangku.
“Enggak.
Niatnya abis ini mau pulang sih, kalau kamu?”
“Aku masih
ada kelas sebenarnya, tapi dosennya absen tuh katanya.”
“Ah, pulang
aja kalau gitu mah.”
“Tugas Ol,
tugas. Meskipun dosennya absen tapi tugas ya tetep jalan keleus.” Ujarnya
sambil sedikit memonyongkan bibirnya dengan gaya alayers. Aku spontan menepuk
bahunya pelan.
“Itu
bibirnya tolong dikondisikan ya!”
Remy
tertawa. Aku langsung tertegun melihatnya. Dia tampan sekali kalau sedang
tertawa begitu. Ah, aku meleleh dibuatnya.
“Ol, lihat
deh,” Remy menunjukkan sebuah kertas berisi tugas yang harus dia selesaikan
hari ini juga. Aku tercengang, itu tugas
dalam sehari segitu banyaknya?
“Terlalu ya?
Bener-bener ribet nih jadi anak hukum.” Remy menggeleng-gelengkan kepalanya
sendiri.
“Lah, salah
siapa milih fakultas hukum. Lagian ya Rem, tampangmu itu nggak cocok jadi anak
hukum tau.”
“Kenapa
nggak cocok? Terus cocoknya jadi apa dong?”
‘Cocoknya
jadi pacar aku, Rem..’
Woh! Hampir
aja aku kelepasan mengucapkan kalimat konyol itu. Apa yang kamu pikirkan Olla?!
“Aku kan
cool, cocok buat jadi apa aja kali.” Ucapnya dengan pede. Aku mencibir.
“Kamu itu nggak
cool.” Padahal sih cool banget.
“Aku cool,
Olla.”
“Enggak,
Rem. Pede bener sih jadi orang?”
“Pede itu
penting, Ol.”
“Iya tapi
kan..”
“Plis Ol,
kamu ngalah ya kali ini. Plis Ol, plis!”, Remy pasang tampang memelas.
Aku menghela
napas pendek. “Iya deh..”
“Yes!”, seru
Remy puas.
Aku tertawa
pelan.
*
TUNG!!
Aku
buru-buru mengambil handphone ku diatas meja belajar ditengah kegiatan gosok
gigi yang belum kelar. Berharapnya sih itu pesan BBM dari Remy.
‘La, aku
main ke kosan kamu yak. Sekalian numpang mandi. Air di kosan aku mati nih.’
Sialan. Ternyata
dari temanku, Riris.
Aku pun
membalas dengan sedikit kecewa. ‘Dateng aja. Sekalian aku mau curhat.’
Setelah klik
send aku pun melempar handphone ku ke meja dan kembali ke kamar mandi,
melanjutkan kegiatan gosok gigiku yang tertunda.
Gara-gara
Remy, setiap ada bunyi notifikasi dari handphone ku, aku selalu deg-degan dibuatnya.
Setiap ada bunyi TUNG!! aku selalu berpikir kalau itu pesan dari Remy. Tapi
ternyata dugaanku sering salah, Remy tidak seintensif itu menghubungiku lewat
pesan. Kami memang lumayan sering chatting, tapi itupun karena aku yang
memulainya duluan. Atau Remy yang mengawali tapi karena membalas pesanku di malam
sebelumnya. Dia memang cowok yang tergolong cuek, bukan tipe cowok yang suka
tebar pesona, cari perhatian atau semacamnya. Namun ketika mengobrol dengannya, keramahan
dan kesupelannya terlihat sangat jelas. Dia bisa jadi teman ngobrol yang asik.
Cuma ya itu, dia kurang peka. Makanya aku selalu dibuat penasaran oleh
sikapnya. Bikin aku sering bertanya sendiri, sebenarnya dia itu, tertarik
padaku atau tidak?
*
“Remy Anggara,
anak fakultas hukum? Siapa tuh? Aku nggak paham.”, tanya Riris begitu selesai
mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.
Aku menepuk
dahiku sendiri. “Buset deh masa nggak tau sih?”
“Olla, aku
kan anak teknik, ya mana paham sama anak hukum, ih.” Riris melempar handuknya
kearahku.
“Eh
sialan!”, aku balik melempar handuk pada Riris. “Tapi pacar kamu kan anak
hukum, Ris. Ya siapa tau kenal.”
“Aku mah
nggak pernah kenal sama teman-teman pacarku, La.”
“Loh kok
gitu?”, aku tercenung.
“Lebih
tepatnya sih nggak paham ya, mungkin aja aku pernah lihat orangnya Cuma nggak
tau namanya. Lagian Aldi itu orangnya cemburuan banget, mana mungkin dia
ngenalin aku ke temen-temennya. Dia udah terlalu takut duluan aku bakal dilirik
sama temennya, aku kan cakep La. Wajar.”
Aku memasang
tampang ingin muntah. Riris ternyata sama narsisnya dengan Remy.
“Emang kayak
gimana anaknya?”, tanya Riris setelah mencubitku gara-gara melihat tampang mau
muntahku.
“Ya cakep
lah, Ris. Tinggi, kulitnya lumayan putih kalau untuk ukuran cowok, rambutnya
ikal, hidungnya mancung. Dia juga jago main bola, dan jago bikin karakter manga
Jepang gitu. Keren deh pokoknya.”, jawabku dengan wajah berapi-api. Seperti ingin
meyakinkan Riris kalau aku tidak jatuh cinta dengan orang yang salah.
“Sifatnya
gimana?”, tanyanya lagi.
“Sifatnya
lucu, konyol, dan kalau lagi ngobrol sama dia tuh rasanya kayak sebentar banget
tau nggak. Asik banget soalnya, orangnya supel banget sih.”, aku menyuap chips
kentang ke mulutku, mengunyahnya pelan. “Eh tapi, aku tuh jarang banget
curhat-curhat sama dia, lho Ris. Kami ini kalau ngobrol ya ngobrolin hal-hal
yang jauh banget dari masalah pribadi. Kami lebih banyak ngobrolin soal kuliah,
masalah tugas, tentang bola, tentang manga Jepang, sampe ngobrolin hal absurd
yang Cuma kami sendiri yang paham. Gitu-gitu lah. Aku nggak pernah tau gimana
sama masalah pribadi dia, dia lagi dekat sama siapa. Dia nggak pernah curhat
sama sekali, pernah sih curhat tapi curhat masalah mau beli sepatu. Nah, akupun
sendiri juga jadi nggak enak dong kalau curhat masalah pribadi sama dia.”
“Itu artinya
dia cowok introvert, La. Nggak suka ngumbar masalah ke khalayak ramai. Emangnya
kamu tuh, apapun di share. Di twitter, facebook, sampe di PM.”
“Yaelah Ris,
wajar kali. Aku kan bergolongan darah B, dan yang bergolongan B itu tipikal
orang yang cerewet dan blak-blakan.” Ujarku ngeles.
Eh tunggu.
Bukannya Remy juga bergolongan darah B ya?
“Percaya kok
sama ramalan golongan darah. Percaya tuh sama sikap, fakta dan bukti, coy.”
“Lah, tapi
kan bener, Gimana dong?”
“Emang kamu
suka banget sama dia?”, Riris kembali ke topik utama.
“Remy?
Iyalah. Dulu aku sempat ngejauhin dia gara-gara mantannya yang rese, tapi
sekarang aku kayak dikasih kesempatan kedua. Aku nggak bakal menyia-nyiakannya
dong, Ris.”
“Yakin kamu
suka beneran sama dia?”
“Yakin lah!”
“Kamu yakin
nggak kalau dia juga suka sama kamu?”
JLEB!!
Pertanyaan Riris membuatku bergeming. Menusuk sekali. Tapi benar juga, dan
begonya aku baru sempat terpikir oleh sesuatu yang telah kulewatkan itu. Sebuah
pertanyaan; Apakah dia juga menyukaiku?
*
Aku melirik
handphoneku. Sempat terpikir untuk mengirim pesan ke Remy tapi berkali aku
urungkan. Sebenarnya aku ingin berbincang dengannya lewat chat, tapi aku takut
dia akan bosan kalau terlalu sering mendapat pesan dariku. Ah, ini membuat
bimbang. Aku mau, tapi malu. Aku rindu, tapi gengsi.
TUNG!!
Sebuah pesan BBM.
‘Hi, Ol!
Lagi ngapain?’
Satu-satunya
manusia yang memanggilku ‘Ol’ adalah Remy. Aku kontan melonjak kegirangan. Remy
baca pikiranku! Remy baca pikiranku!
Aku
membalasnya dengan jari bergetar hebat.
‘Hi, Rem.
Lagi santai nih. What Can I do for you?’ Klik send.
Remy
membalas dengan cepat. ‘Wah, nganggur nih? Mending nonton futsal aja yuk,
gimana? ntar aku jemput kamu.’
Aku
terperangah. Diajak nonton futsal? Boleh juga. Kapan lagi bisa keluar bareng
Remy.
‘Oke. Ayok.’
Aku pun
bergegas mengganti bajuku dengan jersey kesayanganku; jersey Manchester City. Yeah, aku ini tipe orang yang suka mencocokan
pakaian dengan jenis kegiatan. Kalau mau kuliah ya pakai kemeja, kalau mau
hangout ya pake kaos dan jeans. Dan kali ini nonton futsal, ya jelas pake
jersey bola dong. Beruntung aku termasuk cewek yang suka bola, bahkan punya
klub andalan. Ya meski awalnya aku suka Manchester City gara-gara itu klub
favoritnya Irham.
Eh tunggu.
Kok tiba-tiba ingat Irham lagi?
*
Dan
disinilah aku dan Remy, duduk bersebelahan di tepi lapangan futsal seperti
pasangan yang terlihat tak kompak. Lebih tepatnya seperti pasangan yang punya
klub andalan masing-masing. Aku penggemar liga Inggris, Remy penggemar Serie A
Italia. Eh tapi, aku sama Remy kan memang bukan pasangan.
Aku melirik
Remy yang fokus menonton teman-temannya bertanding. Dia tampan sekali dengan
jersey favoritnya itu. Kulitnya yang lumayan putih terlihat cocok dengan jersey
merah-hitam khas AC Milan itu. Rambut ikalnya yang dipangkas pendek macam model
rambutnya Al Ghazali itu terlihat makin mempesona tiap harinya. Sesekali dia
terlihat menggumam sendiri sambil matanya tak lepas dari lapangan. Dalam
diamnya itu dia sungguh terlihat menawan dimataku, seperti tidak punya cacat
sama sekali. Tak salah jika dia selalu menganggap dirinya keren, lah memang
nyatanya dia keren sih. Terlalu keren malah. Ah ya ampun, kenapa aku begitu
menyukainya begini?
“GOOOLLLL!!!!”
Remy bersorak girang seraya berdiri sambil bertepuk tangan dengan heboh. Aku
sedikit terkaget karena semenjak tadi kurang fokus dengan pertandingan, aku
malah fokus memandang wajah tampan Remy. Dan sepertinya Remy tidak sadar kalau
aku terus memandanginya dari tadi. Satu kelemahan dia adalah, ya itu, dia
kurang peka.
Aku lalu ikut
bertepuk tangan dengan sedikit kikuk.
*
“Cieeh, yang
musim ini juara BPL. Selamat ya!”, celetuk Remy setelah memberikan minuman soda
kaleng kepadaku. Sekarang kami sudah duduk-duduk di sebuah taman kecil yang tak
jauh dari lapangan futsal.
Aku melirik
pakaianku sendiri. “Iya dong juara! Akhirnyaa nggak sia-sia juga perjuangan
mereka setelah lama bertahan di tempat ketiga klasemen mulu. Eh, malah yang
diposisi puncak terus malah terlempar, hahaha.” Aku terkekeh. “City keren kan?”
Remy
mengangguk. “Iya keren. Andai aja Milan bisa keren begitu. Eh, enggak. Milan
tetep keren. Selamanya tetep keren. Kayak aku.”
Dia mulai
lagi narsisnya. Aku menepuk jidatku sendiri.
“Masih ada
musim depan, Rem. Pasti bakal ada perubahan kok, masa iya mau terpuruk terus.”
“Sebenarnya
mereka tidak terpuruk Ol. Mereka hanya tidak beruntung.”
“Apapun itu
yang penting tetep support.”
“Jelas iya
lah! Milanisti sejati!”, ucapnya sambil menepuk dadanya sendiri.
“Eh Rem, kok
tumben bener ngajakin nonton pertandingan futsal?” tanyaku iseng. Tadi waktu
berangkat aku belum sempat menanyakan ini karena terlalu senang diajak pergi
oleh Remy.
“Oh itu, aku
sih Cuma iseng aja. Ini kebetulan yang main teman-teman akrabku waktu SMA, jadi
harus nonton.”
Cuma itu,
Rem? Cuma iseng doang? Nggak ada alasan lain macam ‘karena aku mau lebih dekat
sama kamu’ atau apa? Tanyaku dalam hati. Tapi mendadak aku jadi ingat
pertanyaan Riris kemarin malam; “Kamu yakin nggak kalau dia juga suka sama
kamu?”
Aku menghela
napas pendek. Andai aja aku bisa baca pikiran dan hati kamu, Rem..
*
Sebuah
kalimat yang tertera di display BBM ku membuatku tercengang tak percaya. Apa
ini? Ini serius?
‘Pending
sayaaaa~ng. #uhuk’
Itu adalah
PM (Personal Message, semacam status dalam Blackberry Messangers seperti
Facebook) dari Remy. Oke. Aku harus tenang. Aku harus berpikir jernih. Aku
nggak boleh buru-buru terpancing. Tapi siapa yang dia sebut ‘sayang’ itu?
Setahuku selama ini Remy jomblo, lah terus buat siapa dong? Aku berusaha untuk
lebih tenang. Tapi sayangnya aku udah terlanjur terpancing! Apa ini, Tuhan?
Apakah Remy udah punya pacar?!
Seketika
tangan dan lututku lemas dengan serempak.
*
Riris
memandangku dengan tampang iba. “Jadi kamu pikir dia udah punya pacar? Kasian,
berarti kamu kurang beruntung La. Kesempatan kedua yang kamu ambil buat dekat
lagi sama Remy ternyata nggak menunjukkan hasil yang kamu mau.”
Aku menutup
mukaku dengan bantal, menahan tangis yang hampir saja pecah. Kenapa sakit
sekali begini?
“Aku udah
terlanjur suka banget sama Remy, Ris. Aku mesti gimana?”
“Harusnya
kamu nggak naruh banyak harap dulu sama dia, La. Dekat itu bukan berarti ngebet
tau.”
“Tapi kan
aku udah dekat sama dia lama, Ris. Cuma sempat hilang komunikasi aja beberapa
waktu. Harusnya dia peka dong sama semua sikap aku selama ini ke dia.”
“Cowok kok
disuruh peka sih, La? Cowok itu nggak bisa membaca kode dari cewek. Dia bakalan
tau kalau dikasih tau.” Ucapan Riris lagi-lagi membuat hatiku ter-JLEB!
“Selama ini
dia baik banget sama aku, Ris. Dia kayak nunjukin kalau dia juga punya perasaan
yang sama.”
“Lah, kan
kamu sendiri yang bilang kalau dia orangnya emang ramah, baik dan perhatian ke
semua teman-temannya.”
“Iya tapi
aku melihatnya tuh lain soal Ris. Aku selalu ngerasa segala perhatiannya itu
ya...”
“Mungkin
kamunya aja yang keburu GR kali, La.”, Riris memotong. “Kan aku uda bilang,
deket itu bukan berarti ngebet. Nih aku kasih tau. Kalian kan sama-sama tau
seberapa jauh kedekatan kalian, kalau dia juga punya rasa yang sama pasti dia
akan bertindak La. Nembak kek atau ungkapin perasaannya ke kamu. Tapi nyatanya
dia nggak ngelakuin kan? Itu artinya apa coba? Ya berarti dia Cuma menganggap kamu teman
biasa.”
Aku
bergeming.
“Kamu
terjebak sama yang namanya Friendzone, La. Itu adalah ‘suatu keadaan dimana
kamu dekat sama seseorang kemudian merasa kedekatan itu sebagai sesuatu yang
berharga dan penuh harapan, tapi disisi lain orang yang dekat sama kamu Cuma
menganggap itu pertemanan’ (Analogi Cinta Sendiri, Dara Prayoga)
Aku
tertegun. Bagus Ris. Kamu bikin hati aku ter-JLEB untuk kesekian kali.
“Intinya ya,
Olla sayang. Kalau dia suka kamu, ya dia bertindak. Kalau dia nggak suka, ya
dia ga bakal ngapa-ngapain selain nganggap kamu temannya doang. Simpel.”
“Intinya aku
kena PHP?”
Riris
menepuk bahuku pelan. “Bukan kamu yang terkena PHP, juga bukan Remy yang nge-PHP kamu, , tapi
kamu yang secara nggak langsung udah menikmati PHP itu sendiri. PHP artinya
‘Penikmat Harapan Palsu’ kan?”
“Sejak kapan
istilah itu ganti?”, aku mengusap air mata di ujung mata kiriku.
“Udahlah,
La. Jangan bikin ribet perasaanmu sendiri. Kamu suka dia, tapi dia gak suka
kamu ya udah lupain aja. Ini buat pelajaran kamu juga, biar nggak terlalu
menaruh banyak harap sama orang. Tuh!”
Oke. Riris
berhasil banget bikin air mataku tumpah malam ini. Yang sangat memungkinkan
besok pagi aku bangun dengan mata sembab, atau lebih parah ada lingkaran hitam
dibawah mataku seperti panda. Makasih Ris!
*
Seseorang
berdiri di depanku dengan membawa satu buket mawar merah muda lengkap dengan
jas putih yang dikenakannya. Wajahnya tampan sekali bak pangeran negeri
dongeng. Siapa dia? Pandanganku mendadak buram, tak bisa menatap wajahnya
dengan jelas.
“Olla, ini
buat kamu. Simpan baik-baik ya. Semoga kamu sehat selalu.”, ucap lelaki itu
dengan nada lembut.
Tunggu. Aku
paham suaranya. Suaranya seperti...
Pandanganku
kembali jernih dan aku mampu melihatnya dengan jelas. Aku terperangah tak
percaya. Ini serius? Ini bukan sedang bermimpi kan?
“Irham....”
Lelaki
dengan jas putih itu pun lenyap dengan perlahan. Aku terperanjat dan kontan
menjerit.
“Irham!!!”
Hening. Aku
celingukan. Yang kulihat hanya meja belajar di kamar kosku.
Ah sial.
Ternyata Cuma mimpi. Tapi kok aneh ya, kenapa disaat aku sering memikirkan Remy
malah justru Irham yang muncul dalam mimpiku? Pertanda apa ya? Padahal sudah
lama aku tidak memikirkan orang itu, bahkan saat dia tiba-tiba muncul di baris
komentar di facebook ku, aku merasa biasa saja. Tidak merasa senang atau
mendadak kepikiran dia lalu terjebak nostalgia. Tidak ada perasaan seperti itu
sama sekali. Ini aneh.
*
“Hei, Ol!”.
Sapa cowok berambut ikal itu dengan wajah ramahnya yang sulit aku lupakan.
“Hei, Rem.
Udah nggak ada kelas?”
Remy
menggeleng. “Hari ini aku Cuma satu makul, Ol. Kamu udah mau pulang?” tanya
Remy balik.
“Iya. Dosennya
absen, mending pulang aja.” Jawabku seadanya.
“Eh, aku duluan ya, mau main futsal nih.”
“Oh gitu. Ya
udah, take care ya.”
Aku pun
berlalu meninggalkan Remy tanpa menoleh lagi.
Sejak aku
membaca PM Remy dan disadarkan oleh berbagai kalimat Riris yang membuatku
ter-JLEB, aku akhirnya memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan Remy. Bukan
hal mudah, tapi aku harus berusaha menghilangkan perasaan ini sesegera mungkin.
Aku nggak mau stuck dengan perasaan yang (sepertinya) tidak berbalas ini, aku
harus segera membuangnya. Meski sebenarnya aku masih sangat penasaran dengan
isi hati Remy, aku ingin sekali tau sebenarnya apa yang dia pikirkan tentang
aku. Aku ingin sekali tau apa dia juga punya perasaan yang sama terhadap aku
atau tidak. Penasaran itu candu, dan juga menyebalkan.
Tapi pada
akhirnya kupikir segala rasa penasaran itu lebih baik aku campakan saja. Tidak
berguna lagi rasanya. Benar yang dikatakan Riris, kalau Remy juga menyukaiku dia
akan bertindak. Tapi nyatanya dia tak bertindak yang semestinya orang jatuh
cinta lakukan. Dia tidak terlihat menyukaiku seperti aku menyukai dia. Dia
hanya menganggapku teman biasa. Aku harus sadari bahwa segala perhatiannya,
segala kebaikannya padaku mungkin selalu aku salah artikan. Aku harusnya tidak
terlalu GR dulu. Harusnya..
Mungkin
setelah ini hubunganku dengan Remy akan kembali renggang seperti sebelumnya.
Bukan karena Remy yang sengaja menjauh, tapi akulah yang harus lebih tahu diri.
Aku juga takut kalau terus intensfif menghubunginya atau sekedar menyapanya
saat bertemu dikampus, aku akan semakin sulit melupakannya. Padahal sih
sebenarnya tidak ingin, tapi apakah aku harus bertahan dengan perasaan yang
bertepuk sebelah tangan lagi? Itu melelahkan.
Sudah cukup
cintaku tak terbalas dengan tragis oleh Irham. Aku nggak mau itu terulang
kembali, aku nggak mau merasakan sakit yang lebih pahit lagi. Hubunganku dengan
Remy masih belum ada apa-apanya, kami hanya berhubungan selayaknya teman. Tapi
ketika dulu bersama Irham, aku tidak begini. Hubungan kami lebih cenderung ke
TTM. Teman Tapi Menjurus.
Itulah
mengapa aku butuh waktu lama untuk melupakan Irham, bahkan sangat lama. Dan
kalau soal Remy, sepertinya tak akan selama itu selagi aku masih menahan ego
untuk tak menghubunginya. Ya, aku akan segera melupakannya.
Ah, terjebak
friendzone itu menyedihkan, kawan. Hati-hatilah!
Lalu
bagaimana dengan Irham? Ah entahlah, mungkin aku Cuma sedikit kangen padanya.
Pada
akhirnya.. Kini hatiku kosong kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar