Apa yang
kurasa selama ini mungkin palsu. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam benakku
yang menjerit minta keluar. Topeng tak mampu lagi untuk menutupi kenyataan yang
ada. Biar dikata riya rasanya pun sudah biasa. Lalu kenapa baru sekarang keluar
dari persembunyian? Kurasa dia lelah menutupi segala kenyataan. Sebelumnya lebih
asyik membohongi dunia luar dengan senyum, lebih menikmati tawa palsu yang
menyenangkan. Namun ternyata menyiksa.
Sesuatu yang
tersembunyi itu bernama luka.
Aku lelah. Hatiku
menjerit lemah. Selalu berkata tak apa namun yang ada luka makin menganga. Dilema.
Aku harus bisa memilih untuk mengikuti kata hatiku, atau menuruti kemauan
logikaku. Senyumku tak lagi berguna kini, tawaku tak mampu membantu. Aku merasa
kacau dengan diriku. Aku gelisah dengan perasaan yang memenuhi dinding hatiku.
Kau, adalah
alasanku menipu segala rasa yang ada. Kau, yang membuat topeng ini tak sanggup
lagi menutupi kenyataan. Aku benci mengatakan ini, namun Kau juga lah yang
membuat perih kian pedih. Kuakui pada awalnya aku memang merasa semuanya akan
berjalan baik-baik saja. Tak mendapat cintamu namun masih dekat denganmu
sebagai teman itu sudah cukup bagiku. Tak bisa rasakan cintamu namun masih bisa
berbincang denganmu sudah sangat terasa menyenangkan. Namun kian hari apa yang
kurasakan semakin berbeda. Aku tak bisa tertawa lepas lagi, aku merasa sangat
jengah pada senyum ini. Apa kau tau bahwa sebenarnya aku kesal?
Aku kesal
jika menghubungimu duluan namun kau hanya membalas seadanya dan mengakhirinya
dengan cepat. Aku kesal jika kau tak juga menghubungiku selama beberapa hari. Aku
kesal setiap harus menahan ego untuk menghubungimu dulu. Aku kesal jika harus
memancingmu agar mau menghubungiku dulu. Aku kesal hanya bisa melihat fotomu
tanpa bisa menemuimu dan berbincang langsung denganmu. Aku kesal setiap aku
meminta berbincang lewat telepon kau selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku
kesal jika hanya bisa membaca status di media sosialmu, namun aku tak mampu
membalasnya. Aku kesal setiap aku menahan gengsiku agar tidak terlihat agresif
dimatamu. Aku kesal karena aku harus terus tersenyum di depanmu, agar kau tau
bahwa aku tidak sedih. Aku kesal jika ada air mataku yang jatuh ketika
mengingat ucapanmu yang tak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku kesal
jika kulihat kau dekat dengan gadis lain. Aku kesal mengatakan ‘tak apa’ namun
nyatanya aku kecewa. Aku kesal karena tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku sangat
kesal dengan semua yang kututupi dengan topeng itu!
Aku kesal
pada diriku sendiri. Aku marah atas sikapku sendiri. Kenapa aku membuat kau
tidak menoleh padaku? Kenapa aku tak mampu membuat ikatan itu ada diantara
kita? Kenapa banyak kekurangan yang tak bisa kututupi dengan kelebihanku? Kenapa
aku mempersulit keadaan ini dengan celotehan dan sikapku yang tak berguna?
Namun pada akhirnya,
aku harus sadari satu hal.
Siapalah aku
ini dimatamu? Hanya seorang teman biasa. Mungkin hanya sebatas itu, dan tak
akan pernah bisa menjadi sesuatu yang lebih. Lantas bolehkah aku meminta
sesuatu yang lebih itu kelak? Kurasa tidak. Mungkin baiknya aku tidak berharap
apapun padamu. Karena semakin aku berharap, aku akan semakin kesal pada diriku
sendiri. Akan semakin banyak luka yang kubuat sendiri. Akan semakin sering
kugunakan topeng untuk menutupi rasa yang sebenarnya.
Apa sikapku
ini aneh? Aku hanya berusaha untuk selalu jujur pada diriku sendiri. Aku lelah
menjadi orang munafik. Aku lelah dengan topeng yang kugunakan selama ini. Namun
aku tak bermaksud menjadi riya, yang gemar mengumbar perasaannya sendiri tanpa
malu. Aku hanya ingin jujur, aku hanya ingin melepas topengku selama ini. Sekali
lagi, ini bukan perbuatan riya, namun kejujuran.
Setelah mengatakan
ini semua, aku merasa lega. Kesalku sudah jauh berkurang, meski mungkin tak akan
ada perbedaan yang berarti. Mungkin juga tak akan merubah situasi, tak merubah
apapun yang sudah ada.
Dan kini aku
harus lebih banyak tahu diri. Cukup dengan menjadi teman baikmu, cukup dengan
melihatmu dari kejauhan, cukup dengan sekilas kabar yang tak datang setiap
waktu. Aku harus bisa merasa cukup dengan semua itu. Akan terdengar egois jika
aku meminta lebih padamu. Ku sadari sikapku ini sudah cukup menyebalkan, aku
tidak boleh membuatnya makin menyebalkan. Aku harus bisa menjadi teman yang
baik untukmu. Dan kali ini aku berusaha tak lagi menghindari hatiku. Aku hanya
perlu mengalihkannya ke sesuatu yang lebih sederhana dan apa adanya.
Aku
menyayangimu, karena kita adalah teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar