Jumat, 29 Agustus 2014

Terjebak Friendzone 2



Akhir pekan yang membosankan. Seharian ini aku Cuma menghabiskan waktu dengan berbaring di tempat tidur, mendengarkan musik lewat laptop yang kubiarkan menyala, berkali-kali mengecek handphone yang sunyi senyap tiada bunyi. Kemana semua temanku? Kenapa tidak ada satupun yang mengajakku pergi keluar atau sekedar mengirimiku pesan. Menyebalkan.
Aku kembali membuka akun Facebook dan melihat lihat isi timeline. Ternyata banyak juga yang mengalami hal serupa sepertiku. Kulihat banyak status yang berisi keluhan karena akhir pekan yang dilalui sendiri, tanpa pacar, tanpa teman karena sibuk dengan pacar. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah postingan foto dari sebuah akun yang aku kenal. Aku sedikit tercengang melihat itu. Foto sepasang cincin lengkap dengan caption ‘Tinggal menghitung hari saja. Sah!’ oleh akun bernama Adi Hariawan. Aku tersenyum sendiri. Akhirnya dia benar-benar menemukan jodohnya sekarang.
Melihat postingan foto itu mendadak ingatanku seperti kembali ke masalalu, ke masa SMA ku lima tahun lalu. Masa dimana aku pernah menyukai orang bernama Adi Hariawan.

Agustus 2009.

‘Oke. Kita ketemu hari ini sepulang sekolah ya!’

Aku melonjak kegirangan begitu membaca pesan singkat dari Awan. Tidak kusangka akhirnya dia mau bertemu denganku setelah cukup lama berkenalan lewat dunia maya.
Aku pun membalas dengan cepat.

‘Oke! Aku tunggu kamu dirumah aku!’ klik send.

Aku pun bergegas lari keluar kelas tanpa menghiraukan panggilan temanku. Aku ingin cepat cepat sampai dirumah dan mempersiapkan diri untuk pertemuan pertamaku dengan Awan. Dan begitu sampai dirumah aku langsung membasuh mukaku, mengganti seragam sekolahku dengan pakaian yang menurutku paling bagus, dan menyiapkan camilan untuk dia. Ya ampun, kenapa aku begitu bersemangat begini? Aku sampai heran sendiri.
Ketika aku sedang menyapu ruang tamu handphone ku berbunyi menandakan ada SMS masuk.

‘Kamu dimana dek? Aku udah di deket gang komplek kamu. Kesini dong!’

Aku terperanjat kaget. Cepat sekali dia sampai? Padahal jarak sekolahnya dengan rumahku cukup jauh. Apakah dia membawa motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa segera bertemu aku? Aku tersipu sendiri.
Aku pun membalas

‘Tunggu ya Mas, aku kesana.’

Ya, aku memang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ karena umurnya memang selisih dua tahun lebih tua dariku. Dia sudah duduk di kelas 3 SMA, sedangkan aku masih di kelas 1 SMA.
Aku pun berlari kecil menuju gang komplek rumahku, dan menemukan dia berdiri tak jauh dari bengkel mobil. Aku melambaikan tangan padanya, dia melihatku lalu menghampiriku.
Dan inilah Adi Hariawan atau yang akrab dipanggil Awan. Postur tinggi dengan kulit hitam manis, rambut hitam yang tebal, mata bulat, dan sebuah tai lalat kecil diatas bibir mungilnya yang semakin membuatku terpesona. Rasanya senang sekali begitu melihat sosoknya langsung dengan kedua mataku.  Namun ada rasa sedikit kecewa karena dia datang tidak seorang diri.
“Nggak apa-apa kan aku sama temanku? Habisnya aku nggak bawa motor sendiri sih, jadi nebeng sama dia. Sekalian mau kenalan sama kamu juga tuh, Dek.”, ucapnya setelah kami saling berjabat tangan. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum.
“Nggak apa-apa Mas, santai aja. Ya udah ayok kerumah aku.”, ajakku kemudian.
“Ada peyek nggak, Dek?”, tanya Awan sambil berjalan beriringan denganku.
“Mas Awan suka banget peyek ya? Duh, sayang banget lagi nggak ada tuh.”, jawabku.
Dia mengangguk mengerti. “Kalo opak?” tanyanya lagi.
“Nggak ada juga.”
“Kalo rengginang?”
“Enggak juga.”
“Ketan? Dodol? Wajik?”
Aku tertawa kecil menanggapinya. Dia mencubit lenganku.
“Kok malah ketawa?”
“Kamu kayaknya kebanyakan main di tempat orang hajatan deh, sukanya makanan begitu.”, kataku sambil menahan tawa.
“Lah, kamu sih nggak gaul. Itu baru namanya makanan enak, dari pada apa tuh namanya, Burger, Pizza. Lebih enak peyek sama opak, apalagi kalau dimakan sama nasi. Nah kalau burger emang bisa dimakan sama nasi?”
“Tapi kalau ada yang nawarin burger gratis ke kamu juga nggak bakal nolak kan, Wan?”. Celetuk Rendi, temannya dengan setengah mengejek.
Awan tersipu. “Iya sih, hehehee.”
Aku tertawa lagi.
*
Setelah pertemuan pertama itu hubunganku dengan Awan semakin dekat. Dia jadi lebih sering mengirimiku pesan, memberi perhatian, bahkan dia sudah beberapa kali menyambangi rumahku. Pernah suatu hari dia mengirimiku pesan ketika menjelang Magrib, dia ingin bertemu denganku sebentar dengan alasan bosan dirumah karena sedang ada acara. Aku agak terkesima melihatnya, dia mengorbankan waktu kumpul keluarganya demi menemuiku? Aku langsung berpikir kalau ini adalah sebuah sinyal untuk kelanjutan hubungan kami ke depan. Mungkin tak akan lama lagi Awan akan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya padaku.

‘Selamat pagi Mami. Selamat belajar ya!’

Sebuah pesan dari Awan yang langsung menggetarkan hatiku pagi itu. Apa artinya ini? Dia sudah mulai berani memanggilku dengan sebutan seperti itu. Bukankah sebutan itu biasanya dipakai oleh sepasang kekasih? Lalu apa artinya.. Ah sudahlah. Aku tunggu saja apa yang akan terjadi berikutnya. Semoga harapku tidak meleset.
Ketika hendak membalas aku baru ingat kalau pulsaku belum kuisi ulang semalam. Aku menepuk jidatku sendiri. Kenapa bisa sampai lupa begini?
“Olla, PR Matik kamu udah kelar belom?”, tanya Nindy teman sebangku yang baru datang di kelas.
“Udah. Nih.”, jawabku sekenanya seraya melempar buku Matematikaku padanya. Aku tau persis jika Nindy bertanya demikian, artinya dia mau menyalin PRku. Kemudian muncul ide dibenakku.
“Eh, Nin, pinjem hapemu bentar dong. Aku mau bales SMS gebetan aku tapi pulsanya abis.”, kataku sambil merogoh saku roknya.
“Ih Olla sabar napa sih! Lagian itu hapeku ada di tas tuh.”, kata Nindy sambil tetap menyalin PR Matematikaku.
Aku pun mengambil handphone Nindy dari tasnya dan segera menggunakannya untuk membalas SMS dari Awan.

‘Mas, Ini Olla pake nomornya temen. Pulsa aku abis, nanti aku SMS lagi kalau udah beli pulsa ya. Mas jangan balas lagi ke nomor ini. oke? Selamat belajar juga Papi.’

Aku menggigit bibir bawahku. Ya ampun, apa yang kuketik barusan? Kira-kira akan seperti apa reaksinya membaca SMSku tadi?
“Kamu barusan SMS siapa sih?”, tanya Nindy begitu selesai menyalin PR.
“Cowok. Hihi.”, jawabku sambil terkikik.
“Ciyee, udah jadian?”, Nindy mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja. “Eh dia bakal balas lagi nggak nih? Kalau masih SMSan pake aja dulu.”
“Ah udah nggak usah. Eh makasih ya Nin.”, kataku.
“Eh, udah jadian belom? Kayak gimana sih orangnya? Cakep?”, Nindy bertanya dengan lebih antusias.
“Ya belom sih, tapi udah suka sukaan gitu. Orangnya nggak terlalu cakep, tapi imut-imut, kulitnya hitam manis.”
“Coba mana liat fotonya sini? Ada nggak?”
“Ada sih tapi di Facebook. Kalau mau lihat ya cek aja sendiri. Tapi jangan sampai naksir ya, awas lo!”
“Duh, iya iya deh. Apa nama Facebooknya?”
*
Ada yang aneh. Ini sudah hari kedelapan Awan tidak menghubungiku secara intens seperti sebelumnya. Aku ingin bertanya apa ada sesuatu yang terjadi padanya, namun aku terlalu canggung untuk mengiriminya pesan dulu. Karena selama ini dialah yang selalu mengirimiku pesan dengan rutin. Namun kali ini berbeda sekali.
Tak lama kemudian handphoneku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Jangan-jangan dari dia!

‘Olla aku mau minta ijin ketemuan sama Awan. boleh kan?’ Nindy.

Aku tercengang membacanya. Apa maksudnya?

‘Kok kamu kenal Awan?’ balasku.

‘Iya udah lama juga aku sama dia SMSan. Dan dia mau ketemuan sama aku hari ini. Tapi aku nggak enak sama kamu, makanya aku minta ijin.’

Aku semakin tercengang membacanya. Jadi selama ini mereka saling berkirim pesan? Kenapa aku baru tau? Otakku merespon cepat, jangan-jangan alasan kenapa Awan jadi jarang menghubungiku karena ada Nindy?

‘Ya udah sana ketemuan. Titip salam ya buat dia.’, balasku dengan perasaan campur aduk.

Aku merasa bingung dengan perasaanku sekarang. Sebenarnya aku tidak ingin Nindy bertemu dengan Awan, namun apa hakku melarangnya? Aku bukan siapa-siapanya Awan. Aku hanya seorang yang menyukainya diam-diam. Namun aku juga takut jika akhirnya Awan memiliki perasaan pada Nindy atau sebaliknya. Aku takut jika pada akhirnya Awan meninggalkan aku yang sudah terlalu menyukainya ini.
*
Suatu siang di tanggal 16, Awan akhirnya mengirimiku pesan.

‘Dek, kita ketemu yuk. Tapi jangan dirumah kamu. Kita janjian di alun-alun aja gimana?’

Aku membalasnya dengan singkat . ‘Oke.’
Entah kenapa ada firasat buruk. Aku merasa kali ini Awan bukanlah Awan yang kukenal dulu. Bukan Awan yang perhatian dan suka melucu di depanku. Bukan Awan yang suka menggombal dan membuatku tersipu malu. Entah apa yang membuat suasana ini berubah. Atau aku yang sudah terlalu tinggi berharap?

30 menit kemudian aku menghampirinya di salah satu bangku kafe tak jauh dari alun-alun kota. Dia tersenyum melihatku. Senyum  yang sama seperti saat pertemuan pertama kami dulu.
“Kamu sehat kan?”, tanyanya seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku balas uluran tangannya.
“Sehat kok. Kamu juga keliatannya sehat terus ya.”, Aku pun mengambil kursi dan duduk disebelahnya. “Ada apa nih ngajak aku ketemu disini? Tumben.”
Awan seperti tahu maksudku, dia pun memandangku dengan mata serius.
“Aku jadian sama Nindy, La.”
Mendengar itu aku seperti tersambar petir di siang bolong. Dadaku sesak, jantungku berdebar tidak menentu. Sekujur tubuhku kaku, lidahku ngilu. Dan mulai kurasakan ada genangan kecil di pelupuk mataku.
“Maaf ya baru bilang ke kamu, habisnya Nindy nggak berani bilang sih. Katanya nggak enak.”, Awan berucap dengan santai, seolah diantara kami tidak pernah terjadi apa-apa. Dia terlihat tenang, berbeda denganku yang terlihat sangat kacau.
“Kamu.. kenapa tega?”, tanyaku dengan suara lirih. Mencoba menahan genangan di pelupuk mataku yang tinggal menunggu waktu untuk menetes.
Awan menaikkan alisnya. “Aku tega? Tega gimana ya?”
Aku mendengus. “Masih tanya kenapa? Kamu nggak mikirin perasaan aku gimana, hah?”
“La..”
“Aku tuh suka sama kamu, Mas! Aku suka kamu sebelum kamu kenal Nindy. Tapi kenapa kamu malah jadian sama dia?!”, aku tak lagi mampu menahan emosiku yang meninggi. Air mataku jatuh saat itu juga.
Awan terlihat kaget mendengar pengakuanku. Dia memandangku dengan tatapan tak percaya.
“Aku pikir kita teman biasa, La.”, ucapnya pelan.
“Teman biasa? kalau Cuma teman biasa kenapa kamu memperlakukan aku dengan spesial?”, tanyaku ketus sambil menyeka air mata dipipiku.
“Olla, kayaknya kamu salah paham. Selama ini aku Cuma menganggap kamu sebagai adikku. Bukan berarti aku nggak suka sama kamu, aku suka kok. Tapi sama Nindy aku punya perasaan lebih.”
Aku bergeming. Mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkannya dengan baik. Hanya dianggap adik? Jadi selama ini aku menunggunya dengan sia-sia? Selama ini aku salah menaruh harap padanya? Tapi kenapa dia harus memperlakukan aku begitu baik kalau pada akhirnya terjadi seperti ini?
“Aku minta kamu jangan marah sama Nindy ya. Kalau kamu mau marah, marah aja sama aku. Kamu harus tetap baik-baik sama dia. Oke?”, pintanya sambil memandangku, kali ini dengan senyum tipis.
Aku menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang.
“Makasih buat kejujuran kamu, aku pulang dulu.”
Aku pun bangkit dari tempat dudukku, berlalu meninggalkannya dengan membawa segala sesak menumpuk di dada.
*
Agustus 2014

“Nindy!”, panggilku dengan volume pelan pada Nindy yang tengah menyalami para tamu. Dia menolehku dan langsung menghampiriku.
“Olla, aku kira kamu nggak bakal dateng ke nikahan aku.”, katanya setengah tidak percaya.
“Maaf ya aku datengnya telat. Maklum banyak tugas kuliah.”, ucapku beralasan.
Nindy tersenyum sambil merangkul lenganku, mengajakku untuk bertemu dengan suaminya.
“Acaranya kok kelar cepet banget sih, Nin? Cuma akad nikah doang?”, tanyaku sambil melirik Nindy yang belum membersihkan make-up namun masih mengenakan kebaya pengantinnya.
“Iya, baru akad nikah doang, resepsinya besok siang. Kamu harus dateng lho, La.”
“Besok siang? Wah, aku nggak janji ya Nin. Ada kelas deh kayaknya.”
“Ah, aku ngambek pokoknya kalau kamu nggak dateng!”, Nindy memasang tampang cemberut. Aku menoyor hidungnya.
“Dasar manja! Eh mana suami tercintamu? Nggak nyangka ya akhirnya kamu nikah sama dia juga.”
Nindy tersenyum. “Nah, tuh dia orangnya.”, tunjuknya pada lelaki tinggi yang tengah berbincang dengan beberapa tamu.
“Mas Afan! Sini ada yang mau kenalan sama kamu.”, panggil Nindy pada laki-laki itu. Diapun menoleh kemudian menghampiri kami.
“Nah, Olla. Ini suami aku, namanya Rifandi, tapi dipanggil Afan. Sayang, dia temen sebangku aku waktu SMA, namanya Olla.
Aku dan Afan pun bersalaman.
*
“La, kamu tau kalau mas Awan juga mau nikah?”, tanya Nindy sambil memberikan minuman padaku.
Aku sedikit tercengang. Ini agak aneh, karena dulu kami memiliki persoalan asmara dan kini dia menanyakan orang yang sama-sama kami sukai dulu.
“Iya aku udah tau dari Facebooknya. Calonnya cantik juga ya.”, jawabku seadanya. “Aku kira dia bakal nikahnya sama kamu.”
Nindy tertawa kecil. “Yaelah, jodoh mah nggak ada yang tau, La.”
Aku ikut tertawa kecil menanggapinya. Dan kini aku merasa ada kelegaan yang luar biasa. Ya, karena aku masih bisa tetap berteman baik dengan Nindy setelah semua yang terjadi. Aku pun masih sempat beberapa kali bertemu Awan, namun kami hanya sekadar menyapa seadanya. Tapi tidak masalah, perasaanku pada Awan hanyalah perasaan lama yang harusnya tidak perlu diumbar lagi. Kisahku dengan Awan dan Nindy kini hanyalah kenangan masa SMAku. Aku pun tidak perlu menoleh kebelakang lagi, aku tidak perlu mempermasalahkan apa-apa lagi. Karena nyatanya kini baik Awan maupun Nindy telah memiliki jodohnya masing-masing.
Lalu, kapan jodohku akan tiba?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar